Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Jadi Gubernur Bukan Amanah tapi Ambisi (Catatan Khusus Pilgub Jabar)

3 Januari 2013   17:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:33 973 1
Saya bukan penganut Machiavelian, namun saya tidak juga sepenuhnya menolak dalil-dalil Machiaveli.

Nicolo Machiaveli, tokoh filsafat politik abad 15 yang lahir di Florence, Italia, dalam bukunya "Sang Penguasa" diantaranya mengatakan bahwa 'Tujuan Menghalal Cara".  Tokoh ini mengingatkan pula para penguasa dengan mengatakan bahwa 'manusia pada dasarnya tidak tahu terimakasih, pembohong yang lihai, sangat ingin menghindari bahaya dan iri dengan hasil yang dicapai orang lain'.

Melihat keadaan yang terus berlangsung dewasa ini di panggung politik, dalil-dalil Machiveli sangat cocok sebagai penggambaran. Sebaliknya, basa-basi para politisi yang mengatakan bahwa kekuasaan atau jabatan adalah amanah, sering membuat saya ingin meludahi layar kaca televisi usang di ruang makan keluarga saya. Bahkan hampir-hampir saya tak sadar mencopot sandal jepit yang saya pakai ingin melempar tepat dibagian muka orang yang tampil di layar TV itu. Untunglah saya segera sadar bahwa saya belum punya uang untuk beli TV baru seandainya layar TV itu pecah kena sandal saya. Saya buru-buru menaruh kembali sandal jepit dilantai dan membiarkannya tergeletak tanpa saya kenakan lagi.

Kenyataan yang terjadi sesungguhnya adalah para politisi merebut kedudukan yang mereka dapatkan dengan penuh persaingan, penuh permainan intrik, dan tak jarang pula saling serang secara terbuka. Di era demokrasi langsung yang difasilitsi oleh gearkan reformasi, uang menjadi sarana vital pemenangan setiap kontestasi politik. Jika tak punya uang tunai milik pribadi, tak jarang para kontestan yang bertarung menjual benda tak bergerak atau warisan orang tua mereka untuk mencukupi modal pertarungan politik. Jika tak punya cukup harta benda, maka mereka mengundang sponsor dari para pengusaha yang punya ambisi kepentingan bisnis namun selalu pasang citra sebagai pengusaha budiman yang peduli perubahan.

Pilgub Jabar yang diramaikan oleh kontestasi politik para artis, tentunya tak lepas pula dari fenomena ini. Keartisan dan popularitas adalah modal awal. Sedangkan dua kandidat yang lain yang bukan artis mesti merogoh rekening (sendiri maupun orang lain) lebih dalam bahkan sampai kandas, jika serius bertarung menjadi Gubernur Jabar. Uang, uang, uang dan uang sangatlah penting untuk bertarung. Saat nurani sudah buntu, tak ada orang yang sukarela melakukan sesuatu tanpa imbalan. Maka dalam Pilkada, untuk mengadakan saksi untuk sekitar 75.000 tempat pemungutan suara (TPS), seandainya saksi mau dibayar Rp 25.000,- saja maka diperlukan sekitar 1,875 milyar rupiah. Ini baru biaya saksi, belum biaya lain-lain seperti kampanye yang sering kali jauh lebih besar dari biaya saksi.

Jika seseorang yang tak punya ambisi maka tak akan ada yang mau mengeluarkan uang sebesar itu hanya untuk memperebutkan kursi Gubernur. Terlepas apakah uang itu hasil dari rekening sendiri, maupun dari rekening orang lain yang menjadi sponsor.

Menurut para ekonom, manusia adalah mahluk ekonomi. Sedang dimata para ilmuwan politik dan para filsuf manusia adalah mahluk politik. Maka perkawinan kedua pandangan itu tak syak lagi akan terjadi dalam momen Pilkada dan pil pil lainnya. Maka terjadilah perkawinan campuran antara politik dan ekonomi (politik yang seharunya untuk kepentingan umum sedangkan ekonomi bertujuan mencari untung). Perkawinan beda spesies inilah yang  menghasilkan keturunan serakah yang memiliki nama generik: KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme).

Apakah dengan tulisan ini saya ingin mengatakan kepada para pemilih agar jangan memilih? Tentu tidak, saya justru ingin mengatakan agar memilihlah sesuai dengan kepentingan Anda masing-masing. Jika Anda diam maka Anda tersisih. Berdamailah dengan keadaan, karena masih belum ada celah untuk melihat cahaya gemilang keadilan. Karena, dalam iklim dan sistem yang tidak baik maka jangan berharap ada orang baik yang bisa berbuat baik. Hanya kualitas seorang nabi yang bisa keluar dari sistem yang tidak baik itu dan mengubahnya menjadi baik.

Apakah saya memandang sebelah mata kepada Jokowi dan Ahok yang terus saja memperlihatkan kebaikan dan kearifan seorang pemimpin? Tidak. Saya tak meragukan kualitas Jokowi dan Ahok. Tetapi saya melihat bahwa Jokowi masih berada dalam pergumulan melawan kejahatan yang belum tentu akan mereka menangkan. Duet orang baik ini belum tentu bisa mengalahkan para birokrat pencuri uang rakyat. Mereka telah memenangkan hati banyak orang tapi belum bisa mengalahkan kejahatan segelintir orang. Pemberlakuan nomor ganjil-genap untuk mengatasi kemacetan DKI adalah salah satu arena pertarungan yang masih tanda tanya apakah akan mereka menangkan atau justru sebaliknya.

Apakah dengan demikian Jokowi Ahok tak berhak mengklaim diri sebagai Gubernur yang amanah? Jelas tidak. Jika mereka menganggap diri sebagai pemegang amanah atau titipan maka mereka akan cepat menyerah dengan berbagai kepentingan. Mereka haruslah ada di dalam jalannya ambisi dan tekad, yakni ambisi mereka menjadikan DKI sebagaimana telah mereka mulai perlihatkan. Jika merkea melemah dengan dalih amanah maka mereka akan terurai dan larut dalam titipan kepentingan bisnis maupun para birokrat jahat.***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun