Saya punya pengalaman masa kecil yang mengesankan nun jauh di pelosok Pulau Nias. Saya tinggal di desa yang menjadi Ibu Kota Kecamatan yang paling terisolir karena berada di tengah pulau, Kecamatan Gomo. Saat itu di kampung saya belum ada kendaraan bermotor yang masuk perkampungan kami. Sepeda juga tak bisa jadi alternatif karena jalanan bergunung dan terjal. Kuda beban tak juga berkembang mungkin karena pada rumput tak ada.
Akan tetapi di tanah kelahiran saya itu jalanan antar kampung, apa lagi kalau jalan yang memang dibuka oleh pemerintah, cukup lebar. Terlebih jalan yang menghubungkan antar kota kecamatan. Jalan yang menghubungkan ke kota Kabupaten juga luas dan terawat. Diurus dengan rutin.
Seingat saya jalan-jalan itu dirawat dengan mengerahkan tenaga gotong royong. Istilah lainnya yang dipake para pejabat kecamatan adalah 'korvey', entah ini bahasa inggris atau bahasa belanda, atau sekedar istilah supaya dianggap canggih. Untuk jalan-jalan, lapangan, di sekitar kota kecamatan, setiap desa bergiliran mengirim warganya. Got dibersihkan, rumput yang tumbuh di tengah dan sisi jalan dibersihkan secara gotong royong.
Mereka yang datang dari pedesaan yang jauh masing-masing mereka membawa bekal nasi berbungkus daun pisang. Saat mereka membuka bekel tercium bau harum bungkusan daun pisang yang melayu oleh panasnya nasi. Ingin rasanya saya meminta dan mencicipi seandainya ibu saya tidak melarang dan mengatakan hal itu tak sopan. Saya berharap kelak pada saatnya saya akan mendapat giliran mencicipi nasi bungkus itu kalau melakukan perjalanan jauh, mmmm nikmat rasanya.
Saya ingat bahwa saat itu sering kali beberapa beberapa kampung yang mendapat giliran gotong royong di kecamatan, menginap di rumah saya. Saya tidak tahu apakah ada hubungan famili dengan ibu atau ayah saya atau sekedar kenalan. Diantara mereka ada yang ikut makan di rumah kami dan ada yang hanya sekedar menginap di loteng rumah.
Ternyata gotong royong itu tak percuma. Saya sering kali disapa oleh orang-orang yang tak saya kenal ketika melintasi kampung lain yang jauh. Begitu juga kalau saya menemani ibu ke kampung kakek dengan berjalan kaki, sapaan salam khas warga nias: 'YA'AHOWU' sepanjang jalan kami dapatkan. Kadang ibu tak begitu kenal dengan orang-orang yang memberi salam takzim itu, ibu saya hanya menjawab: 'itu mungkin keluarga bapakmu'. Namun saya berpikir bahwa itu adalah orang-orang yang suka mampir di rumah kalau ada acara gotong royong.
Bapak saya adalah pegawai rendahan di pemerintahan kecamatan, saat itu pekerjaannya adalah sebagai Mantri Polisi Pamong praja yang salah satu tugasnya (sepengetahuan saya) adalah mengajak warga dan kepala desa untuk aktif dalam kegiatan gotong royong. Sering kali bapak saya menawarkan tempat di rumah kami untuk warga dari desa yang mendapat giliran bergotong royong namun tidak punya keluarga di kecamatan. Jadi orang-orang itu saya kira lebih dikenal oleh bapak saya dari pada oleh saya dan ibu.
Singkat cerita, kegiatan gotong royong itu telah menjadi jembatan untuk saling mengenal satu sama lain bagi warga kami.
Gotong royong adalah semangat yang sering didengung-dengungkan di sekolah ketika saya masih di sekolah dasar. Ketika di sekolah menengah, di kota besar saya masih sering mendengar dan kadang-kadang menyaksikan kegiatan gotong royong itu luaran kota Medan. Akan tetapi seiring waktu, istilah itu semakin asing dan hanya terdengar pada sesi seminar dan pidato acara resmi.
Gotong royong adalah semangat yang ingin dibangun oleh pendiri bangsa kita, khususnya Bung Karno yang gandrung akan persatuan dan kesatuan. Begitupun Mohmad Hatta, sampai-sampai menterjemahkan istilah koperasi sebagai bentuk perekonomian gotong royong.
Akan tetapi individualisme dan gerakan mencari untung sendiri telah menghapus semangat, konsep dan perilaku kegotong royongan itu dalam masyarakat kita. Pemerintahan di semua level menjadikan setiap kegiatan pembangunan dan perawatan sarana umum sebagai proyek, dari pada sebagai sarana interaksi ajang silaturohim antar warga. Maka jarak antar kita semakin tersekat, disekat oleh komersialisasi proyek pembangunan.
Tak ada interaksi maka tak saling kenal. Seperti kata pepatah, 'tak kenal maka tak sayang'. Ini telah menjadi kenyataan. Sehingga pergesekan kecil bisa memicu konflik besar karena tidak ada orang atau tokoh yang saling kenal untuk menjembatani percekcokan kecil.
Sekali lagi, hilangnya kegotongroyongan ini adalah masalah besar bagi bangsa kita ke depan. Oleh karenanya, sebelum terlambat marilah kita mulai lagi. Agar Indonesia kembali terjalin dari susunan berbagai perbedaan seperti tertulis di pita yang tercengkram burung garuda itu: BHINNEKA TUNGAL IKA.
Salam Damai Indonesia.***