by Iwan Fals
Kawanku punya teman temannya punya kawan
Mahasiswa terakhir fakultas dodol
Lagaknya bak professor pemikir jempolan
Selintas seperti sibuk mencari bahan skripsi
Kacamata tebal maklum kutu buku
Ngoceh paling jago banyak baca Kho Ping Hoo
Bercerita temanku tentang kawan temannya
Nyatanya skripsi beli oh di sana
Buat apa susah susah bikin skripsi sendiri
Sebab ijazah bagai lampu kristal yang mewah
Ada di ruang tamu hiasan lambang gengsi
Tinggal membeli tenang sajalah
Saat wisuda datang
Dia tersenyum tenang
Tak nampak dosa di pundaknya
Sarjana begini
Banyakkah di negeri ini
Tiada bedanya dengan roti
Menangis orang tua
Lihat anaknya bangga
Lahirlah sudah si jantung bangsa
Aku hanya terdiam
Sambil kencing diam diam
Dengar kisah temanku punya kawan
****
Tertegun membaca dan mendengar berita sukses adek-adek sekolah menengah kejuruan di Solo yang berhasil membut mobil laik jalan, saya teringat lirik Lagu Iwan Fals ini. Lagu ini dirilis lebih dua puluh tahun yang lalu, mengingatkan saya pada fenomena pendidikan yang asal-asalan, yang menghasilkan sarjana yang jumlahnya hampir sama dengan jumlah roti yang beredar di pasar dan warung. Kenyataannya hingga hari ini, fenomena ini masih menjadi fakta yang menyelimuti dunia pendidikan dan generasi kita.
Terpetakan pula dalam benak saya betapa pendidikan telah menjadi industri, diiklankan secara massal dan dikemas sehingga laris manis walau tanpa isi. Ada perguruan tinggi swasta yang menempel stiker di badan angkot menjanjikan "sarjana kilat tanpa uang kuliah dan hanya bayar biaya SKS". Ada perguruan tinggi yang mengirim surat ke rumah-rumah anak kelas tiga SMA/SMK dengan iming-iming yang sedikit menipu: PUTRA/PUTRI ANDA ADALAH SALAH SEORANG YANG TERPILIH MENDAPATKAN BEASISWA. Padalah surat serupa dikirimkan kepada ratusan atau bahkan ribuan calon mahasiswa yang jadi target.
Di sisi lain saya menemukan sebuah perguruan tinggi yang gedung kuliahnya menyebar di penjuru kota karena menyewa beberapa rumah di lokasi berbeda untuk ruang kuliah. Ada pula yang hanya menyewa dua atau tiga petak ruko dengan billboard yang mentereng. Anehnya perguruan tinggi macam begini banyak pula peminatnya. Dapat akreditasi A+ pula dari Badan Akreditasi Perguruan Tinggi.
Pemerintah terlalu gampang memberi ijin penyelenggaraan pendidikan tinggi serta sekolahan di jenjang pendidikan dasar maupun menengah. Pemerintah tak memperhatikan kesiapan infrastruktur seperti persyaratan minimal gedung perkuliahan. Pada kenyataannya, perguruan tinggi yang gedung belajarnya menyebar di penjuru kota juga masih bisa mendapat akreditasi A+, bukankah ini gombal? Tamu atau teman saya dari luar kota yang menanyakan sedang apa orang yang kelur berdesakan dari sebuah rumah yang dipakai sebagai kampus itu, kadang saya jawab: "ah... itu rumah bordil, kawan".
Belakangan ini, banyak sekolah maupun perguruan tinggi sejenis fakultas dodol bertebaran. Bahkan untuk sekolah tingkat menengah, selain fasilitas dan penyelenggaraan yang asal-asalan ditambah pula ada fasilitas tunai dari dinas pendidikan. Entah itu dana BOS (Biaya Operasional Sekolah) atau bentuk pendanaan lainnya yang bersumber dari anggaran negara atau anggaran daerah. Dana ini sering menjadi bancakan antara oknum dinas dan oknum pengelola sekolah swasta (entah itu dari pihak yayasan atau pun dari pihak manajemen sekolah).
Bercermin dari prestasi anak sekolahan SMK di Solo, saya ingin mengatakan bahwa yang kita harapkan dari anak-anak kita yang bersekolah adalah agar mereka bisa menyelesaikan urusan kehidupannya dan kehidupan masyarakatnya. Bersekolah bukanlah untuk bersekolah lagi. Berhentilah memaksakan diri untuk harus berkuliah atau melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Sehingga perguruan tinggi yang asal-asalan didirikan dan penuh tipu daya komersial itu tidak laku sehingga bisa segera bubar atau setidaknya membenahi diri.
Saya tidak ingin mengatakan bahwa sekolah kejuruan adalah sekolah yang paling tepat buat anak-anak dan generasi bangsa kita. Tulisan ini ingin mengigatkan bahwa selera bersekolah kita jangan terserap dalam kaidah industri pendidikan yang mempengaruhi pilihan untuk bersekolah dan menyekolahkan anak.
Industrialiasi pendidikan adalah hasil persekongkolan antara pemodal dan pemerintah yang selama ini membiarkan sekolah yang semula dikelola dengan motif sosial telah berubah menjadi motif bisnis, sehingga segala bentuk iming-iming, bentuk promosi dan janji-janji dihalalkan. Penyelenggaraannya pun dilakukan sekedar memenuhi persyaratan administrasi perijinan tanpa menimbang apakah lembaga pendidikan tersebut didukung infrastruktur yang memadai atau tidak.