Indonesia sempat ditawarkan pula menjadi tuan rumah penyelenggara puncak acara pemilihan yang semula direncanakan tahun 2010 itu. Akan tetapi Indonesia melalui Kementerian Pariwisata mundur karena tak mau dibebani uang sejumlah 89,7 milyar rupiah. Mungkin pemerintah kita berpikir, uang sebesar itu lebih baik digunakan beli makanan buat mengasuh komodo dari pada bayar ke N7W. Barangkali....
Uang sejumlah itu katanya sebagai biaya lisensi. Apakah N7W memang telah memiliki hak istimewa yang terdaftar secara sah atas kontes-kontas itu atau tidak, tak pula diceritakan dalam hasil investigasi Duta Besar Kita di Swiss. Tuduhan abal-abal berdasarkan hasil investigasi pemerintah Indonesia dengan melibatkan kantor hukum Todung Mulya Lubis tak juga mengungkap banyak fakta. Hanya fakta bahwa mereka tak menemukan orang yang ngantor pada alamat yang tertera di kop surat N7W serta ada perbedaan nomor kode pos yang tertera dari yang seharusnya, inilah yang menajadi dasar tuduhan abal-abal. Jangan-jangan lembaga N7W memang abal-abal, tapi tuduhannya lebih abal-abal lagi. ha ha ha ha...
Lamanya kontes yang sampai menahun bikin saya wonder. Minta duit sebagai syarat menjadi tuan rumah, juga bikin saya wonder. Lebih wonder lagi, hasil investigasi pemerintah yang dangkal dan lalu mengeluarkan tuduhan abal-abal. Saya juga wonder, bahwa kali ini pemerintah kok sangat berhati-hati merespon iming-iming sebuah lembaga. Wonder sekaligus salut saya dibuatnya. Biasanya pemerintah gampang urat mengeluarkan duit, kali ini agak pelit. Kalau saja pemerintah selalu jeli dan investigasi dulu sebelum terima tawaran IMF dan Bank Dunia, tentu akan lebih salut lagi. Tapi aku ragu dan agak wonder juga, apakah mungkin pemerintah kita ini berani? Semoga saja sikap kritis kepada si-7Wonder bisa merembet pada IMF dan WB. Ya, semoga.....
Aku juga wonder, walau sedikit masuk akal. Ternyata ada lembaga internasional yang punya alamat nyata tapi berkantor secara maya. Sungguh, ini bikin wonder aku. Dulu aku pernah dengar istilah "kantor di dalam tas" bagi lembaga -- entah itu LSM ataupun Ormas -- yang para pengurus atau aktifisnya memang ga punya kantor khusus buat kerja. Lembaga yang "berkantor di dalam tas" ini biasanya dalam kartu namanya tertera alamat rumah dan nomor telepon rumah pengurus atau aktivisnya. Para aktifis atau pengurusnya berkeliling membawa kartu nama menawarkan program ini dan itu kepada banyak pihak di banyak kesempatan, entah itu pada kesempatan sebuah seminar atau pertemuan-pertemuan lainnya. Kadang mereka mendatangi sebuah lembaga atau pejabat atau tokoh tertentu memaparkan program atau cerita sana-sini untuk mendapatkan pendanaan. Itu dulu.....
Dengan bantuan teknologi sekarang ini mungkin istilah "berkantor di dalam tas" telah diganti dengan istilah "berkantor di dunia maya". Entahlah, aku sungguh wonder...
Biarlah yang wonder tetap wonder, yang penting marilah berbuat untuk komodo sebagai salah satu karunia Tuhan di tanah air kita. Mari berjuang buat komodo bukan buat N7Wonder.
salam wonder.