Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

"KPK Perampok", Kata Nazaraudin

21 Juli 2011   04:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:30 146 0
"KPK juga manusia", adalah jawaban yang sering saya dapat kalau mempertanyakan apakah di KPK juga ada suap menyap dalam pengurusan perkara. Rentetan kata ini kembali terngiang di telinga saya ketika mendengar teriakan Nazarudin: "KPK Perampok....".

Masih terngiang di telinga saya ucapan Nazarudin di Metro TV dua hari lalu. "KPK perampok", katanya. Saat itu saya sedang melintas di ruang keluarga dengan belitan handuk, saya baru selesai mandi. Semula saya mengacuhkan tayangan Metro TV yang sekilas sepertinya sedang menayangkan berita sore seperti biasanya (akhir-akhir ini tontonan favorit saya adalah Ipin-Upin dan Spongebob Squarepant). Tapi, begitu saya mendengar "KPK perampok", saya langsung duduk mencoba menyimak siapa gerangan yang ngomong 'ngelantur' itu. Sejenak saya terbengong-bengong sebelum membaca teks di sudut kiri bawah layar kaca. Saya pikir yang ngomong Ruhut Sitompul, yang sering bicara seenaknya tanpa pikir perasaan orang. Dengan pikiran bahwa suara di seberang telepon adalah suara Ruhut, saya mau cuekin tuh berita. Tapi, sejenak kemudian ketika saya baca di layar bahwa suara itu milik Nazarudin, saya pun bertahan mendengar sampai ia tutup telepon walaupun sering kali suara mereka terputus-putus.

Saya sempat ketinggalan beberapa penggal informasi. Di beberapa media on line saya kemudian baru mendapat informasi bahwa tudingan 'rampok' itu dialamatkan pada Chandra M Hamzah terkait pengadaan baju hansip menjelang Pemilu 2009.

Pikiran saya jadi ngelantur. 'jangan-jangan.... jangan-jangan..... jangan-jangan....' Ya, kasus Bibit-Chandra. Ya, anak Bibit Samad Rianto yang pernah disebut-sebut jadi makelar. Kenapa Bibit dan Chandra tempo hari dijebloskan oleh Mabes Polri dalam sengketa 'cicak-buaya'? Ah, jangan-jangan..... Tak ada asap kalau tak ada api.

Kenapa pula KPK bisa jadi buta dalam kasus century? Sampai hari ini mereka tidak menemukan unsur pidana dalam pengocoran dana bail out Bank Century? Bagaimana dengan Ade Raharja (Direktur Penindakan KPK yang juga disebut Nazarudin ikut bikin deal dengan Anas), bukankah dia disebut-sebut pernah 'bertransaksi' dengan Ari Muladi dalam kasus Anggoro?

Teka teki itu semakin memutar di kepala saya mengingat Februari lalu tiga orang petugas KPK digelandang polisi ke Mapolrestabes Bandung. Staf KPK itu dituduh memeras Sekretaris Daerah Kota Bandung. Ketiga orang itu diakui oleh Humas KPK, Johan Budi, adalah staf Dumas (Pengaduan Masyarakat) yang bermaksud mengadan klarifikasi dan telaah atas laporan masyarakat mengenai penyelewengan dana hibah Pemkot Bandung kepada PMI. Setelah diperiksa dan tidak terbukti memeras ketiga staf KPK itu kemudian dilepas. Untuk lebih jelas, beritanya bisa dibaca  disini.

'Klarifikasi' dan 'telaah', sobat. Dua istilah inilah yang sering menelikung proses penegakan hukum. Dalam term KUHAP tidak ada istilah itu. 'Klarifikasi' dan 'Telaah' bukanlah tindakan pro justisia. Kedua istilah ini adalah produk improvisasi penegak hukum (baik kepolisian maupun kejaksaan, dan terakhir ternyata dipake juga oleh KPK) untuk nakut-nakuti calon target. Targetnya adalah orang-orang atau pejabat yang diisukan atau dilaporkan seseorang, namun niatnya adalah untuk memeras. Kalau 'klarifikasi' dan 'telaah' ini sudah  deal dengan nilai tertentu maka penegak hukum yang melakukan klarifikasi bisa cuci tangan karena memang tidak perlu ada mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban.

Bagaiman mungkin melakukan klarifikasi dan telah dengan mendatangi dan meminta sejumlah data atau dokumen ke kantor atau kepada orang yang diduga berbuat pidana? Kalau mau meinta keterangan seharusnya mereka melakukan pemanggilan secara resmi. Kalau mereka sudah tahu benda apa yang menjadi alat perbuatan pidana yang dimaksudkan, maka mereka bisa melakukan penyitaan dan kalau barang/dokumen atau benda tersebut harus diambil paksa maka mereka bisa melakukan penggeledahan. Ketiga hal inilah yang diatur dalam KUHAP.

Sering kali terjadi, 'klarifikasi' dan 'telaah' ini dilakukan dengan komunisi lewat telepon. Lagi-lagi karena memang tidak diatur, mereka bisa sesukanya melakukan panggilan dengan cara yang mereka mau. Padahal kalau pemanggilan haruslah dilakukan dengan surat dan harus pula secara sah dan patut (patut, misalnya tenggang waktu menghadiri panggilan dengan penyampaian surat harus cukup). Setelah panggilan yang aneh ini biasanya diikuti dengan rumors dan manuver untuk membuat takut target sehingga terjadi deal.

Apakah KPK juga menggunakan modus yang sama dalam memeras calon tersangka koruptor? Saya tak bisa memastikan. Dalam beberapa kali seminar yang saya hadiri biasanya bahkan mereka tak mau diajak makan oleh panitia penyelenggara seminar dengan alasan menjaga citra agar tidak menumbuhkan hubungan pribadi yang bisa bermuara pada sekongkol. Akan tetapi dari bisik-bisik tetangga, termasuk aparat penegak hukum baik kejaksaan maupun kepolisian, kalau bicara soal apakah di KPK bisa delapan anam (istilah untuk penyelesaian perkara dengan sejumlah uang) mereka cuma menjawab: "KPK juga manusia".

Kalau KPK juga manusia, dan tak bisa lepas keculasan yang melanda negeri ini, jadi siapa lagi yang diharapkan? Haruskah turun malaikat agung untuk membereskan? Hati kecil saya sebenarnya ingin berharap dan berkata: "tinggal KPK lah secuil harapan di tengah korupnya penegak hukum". Tapi, kali ini harapan itu mulai sirna.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun