Permainan kucing-kucingan, saat dilakoni anak dilakukan dengan spontan dan penuh kebahagiaan. Sedangkan kucing-kucingan yang dilakoni Prita tentu tak spontan, apa lagi kalau dibilang penuh kebahagiaan. Prita tentulah tegang, mungkin sedih. Sedang kita yang menonton permainan ini, jengkel. Akal sehat kita dipermainkan, atas nama hukum pula (dalam tulisan saya sebelumnya: Peti Mati, Simbol Kematian Akal Sehat).
Sebenarnya bukan hanya dalam kasus Prita permainan kucing-kucingan ini terjadi. Dalam banyak perkara menyangkut kepentingan rakyat dan pengelolaan negara ini sering bermain kucing-kucingan. Saat pers menyorot dan rakyat menyoal, setiap jajaran pemerintahan (legislatif, eksekutif, yudikatif) turun tangan. Namun begitu pemberitaan mereda dan orang banyak kembali sibuk dengan urusannya masing-masing, para pejabat pemerintahan itu kembali pada kelakukannya yang orisinil: menindas.
Dulu ada kasus Nenek Minah yang dituduh mencuri tiga biji kakao, lalu ada kisah Kolil dan Basar yang terancam lima tahun penjara karena dituduh mencuri semangka, dan belum lama ini kasus anak SMP bernama Deli mencuri voucher 10 ribu perak juga terancam 7 tahun penjara dan sempat ditahan tiga minggu lamanya.
Jangankan kepada rakyat kecil seperti nenek Minah, Kholil/Basar atau Deli, Bibit dan Chandra yang merupakan kru lembaga super body nyaris jadi penghuni bui kalau tak disorot pers dan dipelototin oleh rakyat banyak yang anti korupsi. Antasari yang memimpin lembaga super body itu pun tak bisa berkelit dan meranalah ia di balik jeruji.
Kucing-kucingan pengelolaan negara ini sering pula terjadi dengan modus yang lain. Saat seorang pejabat diberitakan melakukan kesalahan dan publik menyorotnya. Atasan si pejabat segera memberi sanksi, diantaranya dengan memutasi si-pejabat bermasalah. Setelah reda pemberitaan, pejabat bermasalah ini kembali mengorbit karirnya. Contoh? Ada. Ingatkah para Kompasianers seorang Kapolwil Bogor yang dilapori sekretarisnya karena melakukan pelecehan seks? Kejadian ini sekitar tahun 2005. Kapolwil ini pun kehilangan jabatannya, non-job istilahnya. Namun, sadarkah para Kompasianers yang budiman bahwa saat kasus Susno Duadji mencuat, mantan Kapolwil inilah salah seorang anggota Tim Independen bentukan Kaplri.
Ada contoh lain?
Pernah kah Sahabat Kompasianers melihat polisi berdiri beberapa meter dari sebuah rambu lalu lintas yang tak mudah dilihat dan disadari pengendara? Saya pernah melihatnya, bahkan sampai sekarang lokasinya masih ada dan sering kali menjadi killing ground bagi warga luar kota Bandung. Polisi yang abdi negara itu malah seakan sengaja bersembunyi untuk bersiap menghadang para pelanggar rambu. Yang begini ini, kucing-kucingan kelas murahan, ya kan?
Begitulah para pejabat di negeri ini bekerja. Mereka sering berpura-pura bekerja untuk rakyat. Berpura-pura menegakkan disiplin. Berpura-pura menegakkan hukum. Hanya pada saat mereka butuh perhatian dari rakyatnya. Karena kecurangan dan kemunafikan pun punya hukumnya sendiri, sebagai mana pernah saya tulis di bawah judul Sekarang Memang Jaman Curang.
Hidupnya warga Indonesia adalah di alam curang. Setiap matahari terbit, setiap warga harus rela dicurangi oleh para pegawai negeri korps abdi negara yang telah mengucap sumpah jabatan tetapi lupa menjalankan sumpahnya. Apa boleh buat, hidup harus terus berjalan sedangkan kita tak punya pilihan kecuali pasrah dan menunggu jaman berubah.
Oh ya, tadi saya menyinggung soal spontanitas anak dalam permainan kucing-kucingan. Dalam permainan kucingk-kucingan atas nasib Prita dan nasib warga Indonesia lainnya, tentulah bertolak belakang. Kucing-kucingan 'atas nama hukum', 'atas nama negara', dan atas nama - atas nama lainnya adalah permainan yang penuh skenario, perncanaan yang matang serta permainan peran yang penuh perhitungan bahkan sebelum Prita mengangkat tangan untuk ber-hompimpah.