Saya justru berpikir, dua fenomena peti mati yang menggemparkan jakarta itu sedang mengisyaratkan kematian akal sehat. Fenomena pertama yang disebut penggagasnya sebagai simbol kematian marketing konvensional, di sisi lain mengisyaratkan bahwa marketing telah menjadi penentu kebutuhan manusia, bahkan menjadi pendorong manusia untuk berbuat. Marketing adalah industri kebutuhan, ia tidak memproduksi barang tetapi memproduksi kebutuhan orang, begitu kata salah seorang ahli yang aku lupa namanya (maafkan aku wahai para ahli ilmu, karena sesungguhnya aku durhaka mengenal ilmumu tanpa mengenal dirimu).
Pengirim peti mati yang memproklamirkan kematian marketing itu sebenarnya sedang melakukan langkah marketing. Dia melakukan langkah spektakuler yang murah tetapi berdampak luas yang berbeda dengan langkah marketing konvensional yang menelan biaya ratusan juta sampai milyaran. Hal ini diakui sendiri oleh penggagas fenomena peti mati yang pertama. Berarti ia sebenarnya telah bertindak sebagai industri keinginan seperti saya sebutkan di atas.
Cobalah kita pikirkan bagaimana iklan-iklanĀ seperti pemutih kulit, deterjen rambut dan berbagai produk kecantikan lainnya. Ia telah menciptakan kebutuhan orang untuk menjadi putih. Marketing telah menciptakan kebutuhan orang untuk memiliki rambut lurus berkilau. Padahal orang-orang lahir dan menajadi dirinya dengan kulit bermacam warna, begitupun dengan rambut ada yang keriting, ada yang ikal dan ada yang berwarna selain hitam. Semua itu bawaan genetik. Lalu bagaimana mereka mengaku bisa merubahnya hanya dengan formula yang mereka tawarkan? Inilah kematian akal sehat.
Lihatlah iklan-iklan operator seluler yang menawarkan sms gratis dan nelpon gratis. Ada juga yang menawarkan kecepatan browsing luar biasa dan internetan tak terbatas. Padahal kita tak pernah tahu apakah kita benar-benar membutuhkan ribuan SMS yang ditawarkan itu. Kita juga tak pernah tahu apakah memang kecepatan browsing yang dijanjikan itu benar adanya, serta internetan tak terbatas itu sebenarnya ada batasnya setidaknya dengan catatan tambahan yang biasa mereka tulis kecil: 'syarat dan ketentuan berlaku'. Begitulah akal sehat diberangus oleh marketing, dan semakin gencar dengan kehadiran teknologi dunia maya.
Lalu, fenomena peti mati yang kedua berbau politis. Hal ini karena pengirimnya mengakui bahwa mereka sebagai LSM yang memantau pembangunan di Jakarta bermaksud mengekspresikan kekecewaan mereka dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Dengan mudah dapat ditafsirkan bahwa pengiriman peti mati bisa berarti bahwa langkah pemerantasan korupsi telah mati. Atau bisa jadi sebuah seruan agar para koruptor dihukum mati. Apakah ekspresi atau seruan para penggiat LSM ini yang mencerminkan kematian akal sehat? Bukan, bukan itu maksud saya.
Sesungguhnya yang maksud adalah bahwa dalam aksi-aksi pemberantasan korupsi di Indonesia telah mematikan akal sehat. Lihatlah, semakin banyak LSM teriak anti korupsi sejak reformasi namun hasilnya pelaku korupsi pun tetap banyak. Aneh.
Tindakan penegakan hukum yang penuh kepura-puraan telah menempatkan rakyat sebagai orang bodoh yang tak punya akal sehat sehingga aparat sering melakukan cara akal-akalan. Bukankah tidak masuk akal sehat kalau Bu Nunun bisa menahun sakit lupa danberada di luar negeri hampir setahun? Bukankah tidak masuk akal sehat kalau Nazarudin bisa lolos keluar negeri sementara penyidikan sebuah kasus sedang mengarah kepadanya?
Satu hal lagi yang tak masuk akal sehat, masyarakat berdemo meminta seorang terangka korupsi dibebaskan. Kenapa semua ini bisa terjadi? Salah satu alasannya menurut saya adalah karena penegekan hukumnya memang tidak sehat sehingga menghasilkan hasil dan reaksi yang tidak masuk akal sehat.
Jadi, peti mati pertama yang disusul peti mati kedua adalah pertanda buat kita semua. Bukan hanya kepada para pelaku marketing, bukan hanya kepada koruptor, juga bukan hanya pertanda kepada para penegak hukum. Karena akal sehat telah mati maka yang ada sekarang adalah akal sakit atau lebih tepatnya sakit akal... Gila.***