Namanya juga gosip, cuma sepenggal informasi tak lengkap. Walau tak meyakinkan, menggoda orang ikut nimbrung. Siang ini aku posting gosip penting. Bukan gosip sembarang gosip, bukan gosip selebriti yang bikin pening para ulama. Bukan gosip tentang nikah siri, juga bukan gosip tentang selingkuhan politisi.Ini gosip bisikan gaib, gosip politik tingkat tinggi dibalik polemik Keistimewaan Yogyakarta.
Aku mulai dari mana ya? Pada jaman dahulu kala.... Ah, tak tepat kumulai dengan kalimat ini. Baiklah, aku mulai dari kata 'konon'. Nah, ini lebih tepat, karena kata konon memang mencerminkan gosip.
Konon.... Tuan Presiden yang ganteng dan santun itu percaya pada hal mistik. Termasuk tentang angka sembilan yang dianggap bertuah melejitkan partainya menjadi partai terbesar di negeri ke tiga terbesar di bola dunia ini. Konon, keyakinan ini pula yang mengantarkan Tuan Presiden bertahta di negri demokrasi terbesar di dunia melalui pemilu yang penuh hingar bingar dan berseliweran gosip. Sudah banyak gosip tentang angka sembilan ini, ga usahlah kita bahas pada gosip kali ini. Supaya seru, gosip kita mestilah memasuki isu yang memang lagi seru. Isu apakah itu?
Tak lain tak bukan, gosip ini tentang nasi keistimewaan wilayah pemerintahan Yogyakarta. Tentu penggosip sejati tak perlu saya ingatkan, tak perlu saya tuturkan ulang perseteruan antara Tuan Presiden dengan rakyat Yogya. Intinya mereka berseteru. Belum sampai gontok-gontokan memang. Istilah gosipnya, pro-kontra, gitulah.
Memang aneh bin ajaib, tak ada angin tak ada hujan tak ada badai yang bikin masalah. Tuan presiden mengatakan bahwa monarki tak sesuai dengan demokrasi bahkan bertentangan dengan konstitusi. Pernyataan Tuan Presiden ini bertepatan dengan diajukannya Rancangan Undang Undang tentang Daerah Istimewa Yogyakarta. Singkat gosip, presiden tak setuju Yogya dipimpin keluarga kesultanan yang turun temurun. 'Ketinggalan jaman', begitulah versi gosip menyimpulkan alasan Tuan Presiden.
Ada gosip yang bilang bahwa Tuan Presiden tersinggung saat mengunjungi Korban Merapi karena Sri Sultan menghimbau agar jangan bawa-bawa bendera partai kalau mau membantu para korban. Nah, ini dianggap menegur partainya Tuan Presiden. Karena menegur partainya Tuan Presiden, tentunya dianggap menegur langsung kepada Tuan Presiden. Terus terang, saya kurang yakin dengan gosip ini. Terlalu menyederhanakan masalah dan terlalu kelihatan kepentingannya.
Sementara penggosip lain berpendapat bahwa lontaran gosip dari Tuan Presiden ini disengaja untuk pengalihan perhatian rakyat se-Nusantara. Mengalihkan dari apa? Mengalihkan perhatian rakyat dari agenda dan isu besar tentang Century dan Gayus yang melibatkan perseteruan dua partai besar dan dua tokoh besar. Gosip ini agak meyakinkan saya. Cara macam ini sering terjadi dalam persilatan politik.
Penggosip di sudut lain mengatakan, pernyataan Tuan Presiden ini untuk menggulung ormas besar didirikan Sri Sultan bersama seorang pemilik media televisi. Ah, gosip macam ini terlalu sederhana dan tak mengundang greget spekulasi. Sangat menarik untuk dibincang di warung kopi, tapi untuk penggosip tingkat tinggi kurang seru.
Ada penggosip lain yang mengatakan bahwa keinginan Tuan Presiden untuk mencabut keistimewaan Yogyakarta, adalah untuk memangkas logistik Sri Sultan. Konon, salah satu keistimewaan Yogyakara adalah bahwa setiap ijin investasi di tanah-tanah dalam lingkung Daerah Istimewa Yogyakarta tidak perlu melalui pemerintahan pusat yang tampuk kekuasaannya ada di tangan Tuan Presiden. Bukannya Tuan Presiden ngiri dengan pendapatan yang menjadi PAD daerah Yogya itu. Kalau ngiler sih mungkin saja. Tapi yang sebenarnya, menurut penggosip ini menegaskan, adalah untuk memotong logisitik sri sultan sebagai salah satu kandidat dalam persaingan pilpres pada tahun 2014 mendatang. Ah,,,, ada-ada aja.....
Ada gosip lain yang tak kalah panas, tapi masih beredar di seputur pembisik gaib lingkung istana kepresidenan. Gosip satu ini - kalau pun beredar ke luar istana - melalui frekuensi khusus sehingga tak mungkin disadap, bahkan oleh teknologi canggih CIA sekalipun. Frekuensi khusus ini adalah gelombang khusus yang biasa digunakan oleh orang-orang tertentu yang dikenal sebagai ahli supranatural alias spiritual. Entah apa sebutan resmi profesi satu ini, akan tetapi dari era ke era presiden peran profesi satu ini konon sering menempati posisi sentral dalam lingkungan kekuasaan. Bahkan, pada jaman kekuasaan Presiden Soeharto (alm), konon intelijen terpercaya dipimpin oleh seorang supranatural. Makin seruh deh gosip satu ini. Maklum, dibumbui kepercayaan dan kegaiban. Bahkan sering mengutip istilah ilmiah seperti istilah 'makrokosmos', dan istilah lainnya.
Menurut gosip terakhir ini, Tuan Presiden berketetapan hati 'mengakhiri monarki' di Yogyakarta adalah guna memenuhi tenggang 500 tahun yang diultimatum oleh Sabdo Palon Nayon Genggong. Menurut cerita ini, saat Brawijaya VI menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan modern Raden Fatah, kerajaan tradisional Majapahit sirna. Akan tetapi penasehat spiritual Prabu Brawijaya VI, memberi peringatan bahwa setelah 500 tahun, jika pemerintahan dengan sistem baru itu menyengsarakan rakyat maka ia akan kembali mengambil alih kerajaannya. Kedatangannya kelak akan ditandai dengan letusan Gunung Merapi, sebagai salah satu syarat.
Nah, waktu 500 tahun ini menurut hitungan tahun jawa ada dalam kisaran waktu antara tahun 2000 -2018. Behubung Gunung Merapi sudah meletus sebulan yang lalu, fenomena ini dianggap sebagai pertanda sudah waktunya sabdo pandita Sabdo Palon digenapi. Ini merupakan tanda bahwa leluhur Brawijaya, menagih janji akan mengambil alih kekuasaan. Kekuasaan harus dikembalikan kepada Wangsa Tunggul Sejati. Konon, Wangsa Tunggul Sejati itu ditafsirkan sebagai kekuasaan dari, oleh, dan untuk rakyat. Kekuasaan Wangsa Tunggul Sejati itu adalah Demokrasi. Makanya Tuan Presiden begitu yakin dan ngotot menyudahi kekuasaan keraton Yogyakarta Hadiningrat. Tuan Presiden ingin memenuhi amanah leluhur. Katanya.
Konon pula - menurut gosip ini - bila keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tidak menyerahkan dengan cara-cara yang konstitusional dan demokratis maka Merapi sendirilah yang datang menagih janji dan meratakan Yogyakarta hingga lenyap. Begitulah gosip yang beredar.
Pertanyaan lain yang menyeruak di sela gosip ini adalah: apakah Tuan Presiden menganggap diri dan partainya mewakili Wangsa Tunggul Sejati? Sebuah gosip beredar bahwa anggapan ini konyol. Mekanisme demokratis juga bukan cerminan Wangsa Tunggul Sejati. Gosip ini mengatakan bahwa isyarat dari Gunung Merapi adalah tertuju kepada keadaan di seluruh nusantara yang telah mengabaikan nilai-nilai asli, serta mengabaikan penduduk asli semacam komunitas adat Samin, komunitas adat Tengger, dan berbagai komunitas adat lainnya yang tersebar di pelosok nusantara.
Begitulah, cerita seputar gosip.