Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Artikel Utama

Praduga Tak Bersalah yang Salah Kaprah

5 Mei 2010   13:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:23 758 0
[caption id="attachment_134058" align="alignright" width="212" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Sebagai Tameng Politik

Lagi-lagi, asas praduga tak bersalah menjadi dalih. Tanggal 3 Mei 2010 lalu Ruhut Sitompul dalam agenda pengesahan RAPBN Perubahan tahun 2010 sidang paripurna DPR meneriakkan dalih praduga tak bersalah ketika Fraksi PDI Perjuangan menolak kehadiran Menkeu Sri Mulyani Indrawati mewakili pemerintah. Fraksi PDI Perjuangan menilai Sri Mulyani terkait masalah hukum dalam perkara bail out bank century, sedangkan Ruhut Sitompul anggota Fraksi Partai Demokrat berpendapat bahwa anggota dewan harus menghormati asas praduga tak bersalah dalam menilai posisi Sri Mulyani.

Bukan hanya dalam persoalan bail out bank century ini saja asas praduga tak bersalah dipakai sebagai penangkis serangan di arena politik. Dalih asas praduga tak bersalah telah sering digunakan saat ada anggota dewan atau politisi yang terkena masalah hukum atau diterpa gosip panas. Jika ada kelompok yang meminta politisi mengundurkan diri dari jabatannya karena adanya kasus hukum (korupsi) atau gosip panas (perzinahan di ruang kerja gedung DPR, misalnya), tameng penolak gagasan tersebut adalah asas praduga tak bersalah.

Dengan dalih asas praduga tak bersalah ini banyak pula anggota DPRD yang tetap menerima gaji sebagai anggota DPRD sekalipun telah mendekam dipenjara karena tuduhan korupsi. Bahkan ada juga yang telah divonis bersalah oleh pengadilan negeri, tetap menyandang status sebagai anggota dewan yang terhormat dan masih juga menerima gaji, hanya karena mereka masih menempuh upaya banding dan/atau kasasi. Dengan alasan bahwa putusan hakim belum memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht), maka demi menghormati asas praduga tak bersalah para tervonis ini masih tetap terhormat dan tergaji dari APBD/APBN pula.

Penggunaan asas praduga tak bersalah pernah menjadi tameng politik pada kasus penggunaan dana Yanatera Bulog yang melibatkan Akbar Tanjung sebagai tersangka. Vonis di tingkat pengadilan negeri menyatakan Akbar Tanjung bersalah dan mengganjarnya 3 tahun penjara. Vonis ini kemudian dikuatkan di tingkat Banding di Pengadilan Tinggi DKI. Lalu di tingkat kasasi di Mahkamah Agung, permohonan kasasi dikabulkan dan ia pun dibebaskan.

Saat kasus Yayasan Dana Kesejahteraaan Karyawan Bulog ini berlangsung, Akbar Tanjung sebagai terdakwa sedang dalam posisi sebagai Ketua DPR. Maka, banyak pihak baik dari kalangan pesaingnya di internal Partai Golkar maupun yang dari luar Golkar menuntut Akbar mengundurkan diri dari jabatan terhormat itu. Untuk melawan tuntutan pengunduran diri tersebut pihak Akbar Tanjung dan pendukungnya mengingatkan para lawannya bahwa ’negara kita adalah negara hukum dan menganut asas praduga tak bersalah’.

Begitulah sedikit riwayat asas praduga tak bersalah yang telah lama menjadi tameng para pelaku korupsi di negeri ini. Bahkan menjadi tameng atas kebejatan para pejabat publik yang terlibat skandal sex. Menjadi tameng dalam mempertahankan jabatan.

Praduga Tak Bersalah Dalam Penegakan Hukum Pidana

Kesesatan penggunaan dalih praduga tak bersalah, bukan terletak pada peristiwa-peristiwa parsial dan penggunaannya sebagai tameng para koruptor untuk menngamankan diri, kehormatan, dan jabatannya. Hal ini hanyalah ekses.

Kesesatannya yang utama terletak pada kesalahan pemahaman bahwa asas praduga tak bersalah adalah asas yang berlaku pada setiap dimensi persoalan. Padahal asas praduga tak bersalah adalah asas yang berlaku dalam proses penegakan hukum (due process of law), khususnya dalam ranah hukum pidana. Dalam sejarah dan latar belakang filosofinya, asas ini adalah sebagai bentuk perlindungan hak-hak seseorang yang dihadapkan pada kekuasaan wewenang instrumen penegakan hukum. Asas ini juga adalah penerapan dari paradigma: ‘lebih baik seribu orang bersalah bebas dari pada seorang tidak bersalah dijatuhi hukuman’.

Singkatnya, asas praduga tak bersalah adalah penegakan hak-hak seseorang (baik sebagai terperiksa, tersangka, maupun sebagai tedakwa) ketika berhadapan dengan instrumen penegakan hukum mulai dari tingkat penyidikan (polisi), proses penuntutan (jaksa), maupun di depan pengadilan (hakim). Kepada seseorang itu diberlakukan ketentuan-ketentuan diantaranya: berhak tidak memberi keterangan yang justru memberatkannya, yang membuktikan kesalahannya adalah penuntut, berhak didampingi penasehat hukum, serta berbagai ketentuan lainnya yang diatur dalam hukum acara.

Ruang sidang parlemen bukanlah ruang sidang pengadilan, juga bukan ruang kerja penyidik. Tentu saja parlemen punya mekanisme yang diatur oleh undang-undang dalam melakukan dengar pendapat, penyelidikan, maupun melakukan penilaian tehadap sesuatu persoalan. Akan tetapi parlemen tidaklah tunduk pada asas praduga tak bersalah. Bukan berarti bahw karena para politisi dan anggota parlemen tak tunduk pada asas praduga tak bersalah lalu mereka bisa asal menuding dan menyalahkan sembarang pihak dalam persoalan yang mereka bahas. Akan tetapi dalam melakukan penilaian dan penyimpulan atas suatupersoalan mereka harus melakukan penalaran yang tidak terikat pada mekanisme due process of law.

Demikian pula hanya pada aparat penyelengara negara lainnya di level birokrasi, mereka tidak perlu ikut-ikutan menganut asas praduga tak bersalah dalam menjatuhkan sanksi kepada oknum-oknum yang melakukan pelanggaran. Untuk memecat seorang pegawai negeri yang telah melakukan pemerkosaan atau korupsi, misalnya, tak perlu menunggu putusan pengadilan atas perbuatannya tersebut untuk dapat dijatuhkan sanksi sesuai dengan aturan disiplin pegawai negeri sipil.

Kelucuan Yang Menyesatkan

Hidup bermasyarakat tidaklah melulu menyangkut dimensi hukum (pidana), tetapi multi dimensi dimana kita terkait juga dengan dimensi politik, ekonomi dan bahkan religi. Asas hukum hanya diberlakukan pada persoalan hukum, tidak harus diterapkan pada dimensi atau persoalan lainnya. Serinkali kesesatan ini bermula dari nalar umum bahwa muatan prinsip dan asas tersebut adalah baik dan perlu. Padahal walaupun baik dan perlu, belum tentu harus diterapkan pada setiap masalah.

Bukankah lucu, misalnya kalau seorang seorang ustad mengatakan bahwa siapa yang makan tengah hari di bulan puasa maka puasanya batal, dan si batal puasa berkata: ‘jangan sembarang omong dong tad, hargai dong asas praduga tak bersalah’; padahal konteksnya adalah dimensi religi.

Atau seorang pedagang yang tak dikirimi lagi barang oleh mitranya karena selama ini merasa dibohongi terus dalam jadwal pembayaran, lalu ia menuding mitranya mengabaikan asas praduga tak bersalah dengan keputusan sepihak tak lagi mengiriminya barang tersebut; padahal konteks masalahnya berada dalam dimensi kepercayaan bisnis.

Kesesatan di negeri ini sudah begitu banyak. Karena banyaknya berubah menjadi lelucon. Sehingga seorang Dedy Mizwar dalam perenungannya terinspirasi bikin film berjudul ‘Alangkah Lucunya Negeri Ini’.***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun