Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Artikel Utama

Mengapa Kolonel Adjie Nekat "Bunuh Diri"?

16 September 2010   15:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:12 1623 0
[caption id="attachment_251826" align="alignright" width="360" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas/Edna Caroline Pattisina)"][/caption] Dalam tradisi militer, tidak ada tempat terhadap sikap dan perbuatan Kolonel Adjie Suradji dengan tulisannya berjudul Pemimpin, Keberanian dan Perubahan di harian Kompas 6 September 2010. Tulisan yang mengkritik panglima tertingginya secara terbuka lewat media massa tersebut dapat saja dikatagorikan sebagai sikap atau tindakan insubordinasi atau pembangkangan. Ini adalah tabu. Perbuatan paling terlarang dalam tradisi militer di negara mana pun. Dengan tradisi militer, ia tidak hanya dapat dikenai sanksi administratif melainkan juga dapat kena sanksi fisik termasuk kurungan badan dalam lingkungan militer sebagai bentuk pembinaan atas sikap membangkan tersebut. Ia pun dapat dipecat secara tidak hormat dan menjadi terasing di lingkungannya (termasuk di kalangan pensiunan kelak) karena dianggap sebagai anggota komunitas yang aneh. Menjadi terasing bukanlah hukuman yang mudah untuk diterima, terlebih ketika ia tak punya komunitas lain sebagai perwujudan eksistensi sosialnya. Ini adalah hukuman tak langsung yang tak tercantum masa berlakunya, mungkin saja selama hidupnya. Kalaupun ada kelompok oposisi terhadap SBY yang ingin mendekati dan meraih Adjie Suradji penguat corong, tentu tidaklah mudah bagi Adjie Suradji untuk menjadi bagian dari kelompok itu. Resiko seperti saya gambarkan di atas - bahkan yang lebih parah - tentu sangat disadari oleh seorang Kolonel Adji Suradji sebelum meluncurkan tulisannya ke redaksi kompas. Kenakatannya mengkritik panglima tertinggi dengan resiko yang sudah pasti menunggunya inilah yang saya sebut sebagai "kenekatan bunuh diri". Asumsi saya ini diperkuat informasi bahwa sebelum tulisan berjudul Pemimpin, Keberanian dan Perubahan tersebut ternyata seorang Adjie Suradji pernah menulis di harian Kompas juga pada 22 Mei 2009 (sumber). Tulisan pertama berjudul Hercules, Peti Mati Terbang tersebut Adji Suradji membeberkan sinyalemen pemakaian suku cadang palsu pesawat militer maupun sipil di Indonesia. Tulisan ini juga membuahkan teguran buat dirinya. Namun tulisan pertama tidak seheboh tulisan yang sekarang sedang kita perbincangkan. Lalu, kenapa Kolonel Adjie Suradji nekat? Inilah jawaban saya: 1. Terjebak Lingkaran Korup Sehari setelah pemuatan tulisan, Kapuspen TNI AU langsung mengklarifikasi.  Klarifikasi berisi "bocoran" fakta bahwa penulis sesungguhnya orang yang bermasalah. Sebuah klarifikasi yang langsung mengarah kepada diri pribadi dan kredibilitas Kolonel Adjie Suradji. Disebutkan bahwa Kolonel Adjie Suradji sedang diproses dalam kasus korupsi penjualan aset TNI AU. Tidak ada penjelasan lebih lanjut secara resmi, berapa kerugian negara, kapan dan dimana Kolonel Adji Suradji melakukannya, aset mana yang dijual sehingga ia terseret dalam perkara korupsi tersebut. Saya justru menemukan fakta tambahan dari Penulis Tamu Kompasiana, Pak Pray berjudul Ulasan Tentang Kasus Kolonel PNB Adjie Suradji. Tulisan Pak Pray menyebutkan bahwa kasus korupsi yang dituduhkan kepada Kolonel Adjie Suradji telah vonis enam bulan penjara buat sang Kolonel dan sedang dalam proses hukum lebih lanjut (mungkin maksudnya proses banding, pen). Korupsi macam apa yang mendapat vonis hukuman setara dengan vonis tindak pidana ringan? Saya menganggap bahwa korupsi yang dituduhkan adalah korupsi-korupsian atau korupsi ecek-ecek kata orang medan. Bagaimana tidak? Vonisnya cuma enam bulan penjara!? Bukan berarti saya menganggap bahwa sang kolonel ini bersih. Vonis, walau bagaimanapun tidaklah bisa diambil dari awang-awang melainkan selalu ada dasar pembenarannya. Maksud saya, fakta kecil dibesar-besarkan, dirasionalkan sedemikian rupa sehingga menjadi cukup alasan yang sah dan meyakinkan bagi hakim untuk menjatuhkan vonis. Mungkin saja Kolonel Adjie Suradji telah menikmati (menguntungkan diri sendiri atau orang lain) dari keuangan negara akan tetapi tentu bukan dialah pelaku utama. Tidak bisa ia hindari karena ia bagian dari lingkaran korup itu sendiri. Namun ketika ia berteriak lantang tentang suatu persoalan, maka fakta bahwa ia menikmati sebagian itu dijadikan sebagai alasan penjatuhan hukum dan di-perosna non grata-kan. Kolonel Adjie yang sering menulis dan punya bakat intelektual itu mungkin tak bisa menahan diri terhadap kebobrokan dan situasi yang korup. Nalurinya berontak, maka ia pun menulis. 2. Ketiadaan Katup di Institusi Dalam klarifikasi Kapuspen TNI AU dijelaskan bahwa isi tulisan tersebut bukan suara institusi TNI AU walaupun penulisnya mencantumkan identitas sebagai perwira TNI AU. Sebenarnya, hal ini tak perlu diklarifikasi karena penulisnya tidak mencantumkan institusi melainkan dirinya sebagai anggota. Banyak penulis yang mencantumkan identitasnya, dengan menyebut nama institusi tempat ia berkiprah dan tak pernah dianggap bahwa tulisannya adalah mewakili suara institusi atau atas nama institusi. Namun bagi institusi TNI AU klarifikasi ini tentunya bukan ditujukan kepada masyarakat umum melainkan sebagai pertanggunjawaban dan klarifikasi kepada Panglima Tertinggi yang menjadi objek kritik tulisan Kolonel Adji Suradji. Klarifikasi yang serta merta membuka aib si penulis sebagaimana pada poin satu di atas adalah indikasi bahwa hubungan pribadi Kolonel Adjie dengan institusinya tidak harmonis. Dia adalah sosok potensial, yang dibuktikan dengan bakat menulisnya (merujuk tulisan Pak Pray di atas) serta penerbitan bukunya tentang terorisme. Akan tetapi potensi itu tak memberi ia ruang bagi pengembangan karir maupun bakatnya. Dari posisinya yang lima tahun sebagai perwira non-job, ia justru sedang dieliminir (mungkin dengan alasan tuduhan korupsi tersebut pula). Keadaan tereliminasi dari komunitas ini menurut saya yang memicu teriakan nyaring si Kolonel. Disatu sisi ia dianggap bermasalah (dalam habitat yang memang bermasalah), di sisi lain ia punya potensi pemikiran yang bisa mengancam kemapanan sistem. Ia tak dipecat melainkan disingkir kan diam-diam. Saat ia terasing dan tak diberikan katup penyaluran aktualisasi diri sama sekali, gumpalan amarah inilah yang menghasilkan energi teriakan yang kemudian dituliskan di harian Kompas. Hal ini ia lakukan dengan segala resiko. 3. Kegelisahan Sosial Masyarakat Umum Tentang sikap ragu dan ketidaktegasan dalam kepemimpinan SBY sudah banyak disurakan. Terlebih dalam hal pemberantasan korupsi, juga sudah banyak dikritik. Ini adalah pandangan banyak masyarakat. Tiadanya kepemimpinan dan arah masa depan, adalah kekhawatiran banyak orang awam. Sehingga tidak aneh bahwa saat terjadi insiden RI-Malaysia di Perairan Pulau Bintah, banyak masyarakat bereaksi berlebih sebagai pernyataan harga diri yang terluka. Hal ini dilakukan karena pemimpin tak selaras dengan perasaan rakyatnya. Perubahan, perubahan, dan perubahan adalah harapan sejak reformasi. Ekspektasi masyarakat akan perubahan tak pernah terpuaskan, sementara pemimpin tak memberi inspirasi akan harapan baru. Korupsi hanya jadi agenda tarik ulur daya tawar politik. Kegelisahan dimana-mana. Apa yang diekspresikan oleh Kolonel Adji dalam tulisannya mewakili masyarakat umum. Akan tetapi karena ia tidak dalam kapasitas mewakili pendapat umum, maka perannya mewakili perasaan umum tersebut menjadi bermasalah. Khusunya bermasalah buat dirinya sendiri. Kini Kolonel Adjie Suradji telah menghilang entah kemana, konon sedang diburu oleh kesatuannya. Gaung tulisannya pun sudah teredam oleh hiruk pikuk lebaran dan agenda politik petinggi partai. Entah bagaimana kelak nasib tulisan yang telah ia torehkan. Apakah kelak ia mengikuti jejak para kolonel yang telah membuat sejarah?***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun