Mereaksi kasus Gayus, sekelompok masyarakat menyatakan seruan boikot pajak. Secara hukum hal ini tidak mungkin. Karena hukum memberikan sanksi yang tegas kepada setiap warga negara yang ingkar terhadap kewajiban membayar pajak. Konstitusi menegaskan bahwa pajak adalah iyuran yang dapat dipaksakan oleh negara kepada warga negara.
Namun, dari sisi gerakan sosial, sesuatu yang mustahil atau terlarang di hadapan hukum bisa saja menjadi sah atau dilegalkan. Jangankan sekedar memboikot kewajiban, bahkan kudeta pun dapat menjadi sah kalau kudeta dapat dimenangkan dan kemudian dapat membumikan legitimasinya. Di sini harus dibedakan antara keabsahan secara hukum dengan keabsahan secara politik.
Kembali pada perkara boikot pajak. Di sini saya akan menguraikan hal-hal seputar perpajakan, tanpa mengutip istilah-istilah hukum yang sering kali terkesan berbelit dan susah dimengerti. Dalam tulisan ini, saya akan menguraikan secara singkat tentang berbagai pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat. Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah propinsi dan yang dipungut oleh pemerintah daerah Kabupaten dan Kota akan diturunkan pada tulisan berikutnya.
Inilah berbagai iyuran paksa nan sah tersebut yang disetorkan ke kas pemerintah RI:
1. PPh (pajak penghasilan)
Pajak penghasilan ini dikenakan baik atas penghasilan orang pribadi maupun penghasilan badan. Juga, dikenakan atas penghasilan dari gaji maupun penghasilan dari usaha.
PPh yang dikenakan atas gaji seorang karyawan (dikenal sebagai PPh 21) cara pembayarannya adalah melalui pemotongan oleh pemberi kerja (yang membayarkan gaji). Besarnya potongan tiap bulan dihitung dengan mengasumsikan total pendapatan setahun, dikurangi Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) kemudian dibagi 12 bulan. Hal ini berlaku baik kepada karyawan tetap, karyawan harian, maupun pekerja borongan. Menjadi kewajiban pemberi kerja (khususnya perusahaan) untukĀ menyetorkan PPh yang telah dipotong. Yang mungkin terjadi adalah adanya manipulasi saat penyetoran oleh pihak yang memotong. Pajak penghasilan dari gaji ini, tidak bisa diboikot oleh karena langsung dipotong oleh pembayar gaji. Jadi, bagi rekan-rekan yang ingin memboikot pembayaran pajak penghasilan dari gaji, lebih baik memeriksa bukti potongnya dan bukti setornya dari pada bercita-cita memboikot.
Bagaimana dengan PPh atas usaha orang pribadi atau badan? Mungkin saja mereka simpati dengan gerakan boikot dan berniat mogok setor. Akan tetapi hal ini bisa saja menghambat usaha mereka. Jika ditunda akan menimbulkan bunga dan denda yang justru memperbesar utang pajak di kemudian hari. Jika tetap diupayakan boikot dalam jangka waktu lama tidak menutup kemungkinan bagi DJP untuk memblokir NPWP sehingga mempersulit kegiatan transaksi usaha, terlebih yang bergiat di bidang ekspor.
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan PPN Barang Mewah
Jenis pajak ini adalah pajak yang aling ulet dan sangat menutup kemungkinan untuk diboikot? Pajak pertambahan nilai biasanya selalu melekat pada barang/jasa yang dikonsumsi. Pengenaan PPN dikenakan saat terjadinya penyerahan barang/jasa, jadi selalu melekat pada objeknya.
Salah satu contoh, jika ingin boikot PPN telepon seluler atau penggunaan jasa internet misalnya, pada saat pembayaran selalu melekat PPN sebesar 10% dari jumlah tagihan pemakaian jasa. Demikian juga dengan barang-barang lain yang beredar di pasaran, selalu melekat padanya PPN yang 10%, tentunya terkecuali tehadap barang yang beredar secara gelap.
Dalam soal PPN ini, yang mungkin terjadi adalah pengelabuan jumlah dan nilai barang/jasa oleh pengusaha saat memberikan laporan (SPT masa) sehingga yang mungkin terjadi adalah memanipulasi jumlah setoran dari yang seharusnya.
Jadi, dalam urusan PPN, bagi individu-individu yang ingin boikot PPN cara satu-satunya adalah menghentikan konsumsi barang maupun jasa. Mungkin ada baiknya juga, untuk menekan tingkat konsumsi yang terus meninggi.
Bersandingan dengan PPN adalah PPN BM, yang dikenakan atas barang-barang tertentu yang dianggap sebagai barang mewah seperti Mobil, Televisi, dll yang ditentukan oleh Menkeu. Perbedaannya adalah besaran persentase pengenaannya yang beda untuk tiap-tiap jenis barang. Sifatnya mirip dengan PPN sehingga untuk boikot kecillah peluangnya.
3. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Nah, ini dia pajak yang memiliki ruang yang sangat besar untuk diboikot. Pajak ini disetor sendiri oleh subjek pajak, entah itu pemilik ataupun yang menguasai objek (tanah dan/atau bangunan). Tiap tahun dikirimkan surat pemberitahuan besaran nilai PBB terutang kepada subjek pajak, kemudian subjek pajak sendiri yang menyetorkannya ke bank persepsi (bank yang ditunjuk oleh DJP).
Resiko boikot adalah, selain meningkatkan jumlah kumulasi denda disamping itu akan mengalami kesulitan jika objek (tanah dan bangunan) ingin dipindah tangankan atau dijual. Saat ini, untuk jual beli tanah dan/atau bangunan harus menyertakan bukti setor PBB.
4. Bea Materai
Bea materai ini jumlahnya kelihatannya kecil. Sebagian besar warganegara yang sudah dewasa mengenal materai. Materai ini biasanya digunakan untuk menguatkan sebuah dokumen seperti perjanjian, bukti bayar, dsb. Mungkin sebagian besar dari kita menganggap bahwa penerimaan negara dari materai ini tidak seberapa, karena beranggapan bahwa materai jarang digunakan. Padahal penggunaan materai tidaklah hanya materai tempel yang selama ini diketahui banyak orang.
Tanpa kita sadari, tiap bulan kita berurusan dengan materai. Diantaranya dalam tagihan-tagihan perbankan, yang dikirimkan setiap bulan telah dikenakan bea materai antara Rp 3000 s.d. Rp 6.000. Di sini tidak dikenaan materai tempel, melainkan materai dengan cara tera, dimana masing-masing bank telah memiliki ijin berlangganan materai. Jika nasabah bank ada ratusan ribu yang dikirimkan tagihan tiap bulannya, sudah bisa dibayangkan berapa bea materai.
Dari gambaran tersebut di atas, bea materai sebagai iyuran wajib yang dipaksakan tidak ada celah untuk memboikotnya. Bank tidak akan mungkin memboikot penggunaan materai oleh karena dengan demikian transaksinya tidak akan sah. Demikian juga dokumen lainnya yang lazim pakai materai tidaklah akan dihindari dengan sengaja oleh pengguna dokumen karena akan berakibat batalnya dukumen yang mereka gunakan.
5. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Ini adalah biaya paksa atas perolehan tanah dan bangunan. Semacam jatah jeger dalam dunia preman. BPHTB dikenakan kepada pembeli tanah dan/atau bangunan. Biasanya dikenakan sebesar 5% dari nilai transaksi setelah dipotong nilai yang tidak kena pajak. Apakah bea ini bisa diboikot? Tidak bisa, oleh karena transaksi jual beli tanah/bangunan yang sah adalah dengan akta jual beli. Sedangkan saat pembuatan akta jual beli selalu disertakan dengan setoran BPHTB.
Mungkin saja para penjual maupun pembeli hanya membuat akta atas transaksi jual beli dan tidak melanjutkan dengan proses balik nama objek tersebut. Hal ini bisa saja menghindari BPHTB, akan tetapi hanya sementara. Karena apada akhirnya, ketika mau balik nama tetap saja harus setor BPHTB terlebih dahulu. Siapa pula pembeli yang mau dua kali berurusan menyelesaikan kepemilikan barunya atas objek tersebut?
Catatan di atas adalah sekilas pandangan bagaimana pajak telah mengikat demikian sistematis dalam kehidupan kita. Hampir tidak ada jalan untuk boikot. Pajak, hampir selalu melekat pada aktifitas ekonomi dan sosial.***