Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Mengenang Alm Soeharto di Era SBY

9 Mei 2010   04:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:19 837 0
Baik alm. mantan Presiden Soeharto maupun Presiden SBY adalah sama-sama berlatar belakang Jenderal TNI AD. Sama-sama ganteng pula. Perbedaannya, Presiden SBY pernah menjadi ajudan alm. Mantan Presiden Soeharto, sedangkan sebaliknya ga pernah kejadian. Begitu sekilas latar belakang kedua tokoh yang ingin saya ulas dalam tulisan ini.

Tulisan ini tidak sedang mengulas karakter pribadi masing-masing. Tulisan ini mengulas (secara amatir) karakter dan watak kepemimpinan kedua tokoh tersebut.

Watak kekuasaan alm. mantan Presiden Soeharto

Dikenal sangat otoriter. Ya, memang demikian. Saya setuju dengan itu. Kekuasaannya memang penuh dengan wibawa, bahkan over wibawa sehingga pada zaman beliau dikenal adanya istilah sakralisasi kekuasaan. Kekuasaan dan segenap manifestasi kebijakannya tak boleh dikritik secara terbuka, demonstrasi diberangus dengan keras. Apa yang telah digariskan harus dilaksanakan. Kalau sudah ada perintah: "bangun bendungan Kedung Ombo!!!" Maka berdirilah bendungan megah itu, apa pun akibatnya.

DPR adalah lembaga kontrol kekuasaan. Serta satu prinsip yang tak boleh dilanggar: 'mayoritas tunggal'. Golkarlah si Mayoritas Tunggal itu. Tapi jangan sembarangan interupsi, dari partai manapun Tuan anggota DPR berasal ia tak bisa menghindar dari hukuman recall kalau melakukan interupsi. Saat itu memang hanya ada tiga partai politik yaitu: Golkar, PDI (PDI Perjuangan sekarnag), dan PPP. Ketiganya tunduk pada prinsip musyawarah untuk mufakat. Hal-hal yang tak selesai di floor oleh anggota parlemen, diselesaikan secara musyawarah mufakat oleh pimpinan fraksi masing-masing partai di ruang tertutup. Semua berjalan dengan mulus. Makanya sering disindir bahwa DPR layaknya anggota paduan suara yang nyaring seirama bersuara: "setujuuuuuu...." Bahkan Iwan Fals pun dalam salah satu lagunya berjudul 'Wakil Rakyat' mengingatkan bahwa 'wakil rakyat bukan paduan suara yang hanya tahu nyanyian lagu setuju....'

Bagaimana dengan korupsi? Jaman kekuasaan alm. Presiden Soeharto juga ada korupsi, ada pungli, ada mark up proyek, bahkan ada juga proyek fiktif. Bahkan rekening liar kepala daerah yang sibuk ditertibkan oleh Menkeu Sri Mulyani Indrawati adalah pundi yang disahkan untuk menunjang operasional dinas dan pribadi kepala daerah. Dikenal dengan istilah dana non-budgeter. Isi pundi ini ga boleh diutak atik, entah itu oleh DPR, BPK, apa lagi oleh LSM dengan dalih informasi publik.

Jadi, uang-uang yang diambil serampangan baik dari APBN/APBD, komisi dari proyek, serta setoran pengusaha, ditaro di rekening liar itu. Tentu saja, sang kepala daerah juga dapat jatah pribadi. Singkatnya, korupsi ada juga saat itu. Ya, korupsi yang tertib dan terkendali. Korupsi satu komando, parlemen tidak boleh teriak karena belum kebagian karena mereka tinggal nunggu jatah yang telah dialas oleh kepala daerah. Dulu LSM belum banyak yang koar, saat itu yang banyak adalah Ormas yang sah dan legal menurut UU Keormasan, mereka ini pun cukup menunggu jatah dan ga perlu teriak.

Kekuasaan alm. mantan Presiden Soeharto sangatwibawa dan disegani baik di dalam negeri maupun diluar negeri (ia selalu duduk di deretan kursi negara negara maju), dibungkus oleh satu lapisan selubung kekuasaan yang kokoh dan angkuh.

Watak Kekuasaan SBY

Menjunjung tinggi demokrasi dan mendorong terjadinya demonstrasi. Banyak partai bermunculan, setiap lima tahun muncul partai baru menggantikan partai lama yang ga dapat kursi dalam pemilu sebelumnya. Orangnya sih itu-itu aja. Yang berganti biasanya nama dan logo partai aja. Politik menjadi riuh rendah, kampanye selalu meriah dengan iringan dangdut, spanduk-spanduk bertebaran di sudut persimpangan jalan.

Parlemen riuh rendah dengan interupsi, bahkan boleh memanggil Wakil Presiden untuk keperluan penyelidikan dalam menjalankan hak angket DPR. Silahkan interogasi dia di hadapan sorotan kamera TV, tanya apa saja untuk membuat anggota parlemen puas, atau sekedar momen para anggota parlemen untuk manggung numpang tenar. Tidak ada istilah sakralisasi kekuasaan. Jangankan cara yang konstitusional sepertiĀ  hak angket itu, bahkan istana juga boleh didemo. Malah sekarang dibuka untuk umum di akhir minggu. Silahkan berkunjung ke lingkungan istana.

LSM bertumbuhan seiring dengan kebebasan berserikat dan berpendapat yang sangat dihargai oleh pemerintahan SBY. Spanduk berterbaran dengan berbagai slogan dan seruan. Termasuk seruan anti korupsi. Tapi semakin banyak seruan dan spanduk bertabur, tak juga mengurangi orang yang dibui karena korupsi. Seperti halnya partai, LSM juga muncul tenggelam dengan berbagai nama baru, forum ini forum itu, komite ini komite itu, serikat ini serikat itu, dst.

Seiring dengan partisipasi bertumbuh dan meluas, maka jika pada era alm. mantan Presiden Soeharto korupsi terkendali dibawah komando eksekutif (yang nota bene personel militer yang dikaryakan), pada jaman presiden SBY ini korupsi malah meluas ke ranah parlemen dan yudikatif. Bahkan banyak yang teriak atas nama LSM menyerukan anti korupsi sesungguhnya bermotif ingin kebagian. Tidak hanya sisem politik yang menjelma menjadi demokratis, tetapi cara berkorupsi pun menjadi demokratis. Jika dulu, sebuah parbrik berdiri cukup dengan menyetor kepada muspida maka sekarang jangan harap bisa berjalan mulus kalau tak setor kepada jeger lokal atau LSM setempat.

Di era demokrasi ini silahkan menyampaikan pandangan dengan cara apa saja dan tidak akan digebukin oleh aparat. Kecuali dengan cara membawa kerbau bertuliskan SiBuYa. Selebihnya, boleh; boleh merusak gerbang kantor, boleh bakar bendera, boleh mencaci maki.

Demonstrasi adalah kebiasaan. Siapa saja boleh demonstrasi. Demonstrasi adalah hak warga negara dan boleh dilakukan dengan berbagai cara, terlebih cara yang santun, sangat dihargai. Mulai dari cara teriak dengan sound system 20.000 watt sampai dengan cara pengerahan massa, boleh dilakukan untuk menyampaikan aspirasi. Juga boleh berdemonstrasi dengan cara mogok makan dan jahit mulut sampai semaput. Itu adalah hak warga negara. Namun, kekuasaan juga punya hak untuk tak mendengar. Jadi, demonstrasi ga perlu ditumpas karena tidak akan mempengaruhi kekuasaan dan kebijakan.

Watak kekuasaan SBY sangat terbuka dan dibungkus oleh selubung berlapis-lapis dan selalu berganti wajah, kadang lembut kadang pura-pura tak mendengar, kadang seakan tak melihat apa yang terjadi, dalam lakonnya ia juga menangis dan bersenandung. Sering memperlihatkan dan menyatakan rasa prihatin. Ia tak perlu disegani apa lagi ditakuti, yang penting jangan diturunkan. Ia tak peduli bahwa di forum internasional ia didudukkan di belakang Gloria Macapagal Aroyo, karena hal itu hanya soal teknis letak tempat duduk, tidak ada urusan dengan itu karena tidak mengurangi status sebagai presiden dan tetap dianggap mewakili rakyat indonesia.

Hayo, pilih yang mana???***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun