Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Pak Jokowi, Sekaranglah Saatnya Revolusi Mental

24 Februari 2015   22:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:34 241 1
Gong revolusi mental telah ditabuh ketika Jokowi mulai santer digadang sebagai calon presiden pada 2014. Mulanya sayup terdengar, kemudian semakin nyaring saat kampanye, tapi lalu sayup lagi ketika Jokowi resmi menjabat sebagai Presiden RI.  "Revolusi mental baru saja dimulai", begitu kalimat penutup tulisan Jokowi (sekarang Presiden) di harian Kompas tanggal 9 Mei 2014 (juga di Kompas.com 10 Mei 2014).

Kenapa Sekarang?

Saat ini ruang sosial politik kita sedang digayuti suasana emosional sebagai imbas kontroversi  KPK vs Polri. Sempat jeda sejenak saat Presiden Jokowi mengumumkan 'pembatalan' pelantikan Komjen Budi Gunawan dan mengajukan penggantinya yakni Komjen Badrodin Haiti. Pengumuman ini diikuti pula dengan pemberhentian dua pimpinan KPK yakni Abraham Samad dan Bambang Widjoyanto sekaligus mengangkat tiga pejabat pimpinan KPK yang baru yakni Taufikurrahman Ruki, Indiarto Senoaji dan Johan Budi.

Suasana emosional ini adalah momentum tepat menabuh ulang genderang revolusi mental. Terlebih mengingat bahwa suasana emosional ini telah memperlihatkan dua hal kepada kita, yakni: bahwa semangat pemberantasan korupsi masih disambut antusias oleh rakyat indonesisa, serta, kenyataan bahwa solusi pembentukan kelembagaan (seperti KPK) ternyata tak berjalan mulus memberantas korupsi di Indonesia.

Tulisan Jokowi bertajuk Revolusi Mental yang dimuat di harian Kompas sebagaimana saya sebutkan di atas,  telah menyimpulkan: "agar perubahan benar-benar bermakna dan berkesinambungan, dan sesuai dengan cita-cita Proklamasi Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur, kita perlu melakukan revolusi mental". Nah, di tengah gemuruh emosi politik  inilah, Presiden menngambil kebijakan politik untuk menyerukan revolusi mental. Kenapa revolusi mental? Berikut Jawabannya:

1. Pemidanaan Koruptor Tak Hasilkan Indonesia Bersih

Tidak banyak diketahui umum bahwa pemidanaan koruptor yang selama ini berlangsung hanyalah menghasilkan efek pemindahan ajang korupsi baru. Yaitu pemindahan ajang korupsi dari kekuasaan politik dan birokrasi ke ranah aparat penegak hukum.

Marilah kita cermati, kenapa berkali-kali inspeksi mendadak yang dilakukan pejabat di berbagai Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang dihuni para terpidana korupsi selalu ditemukan fakta bahwa para terpidana korupsi selalu mendapat fasilitas istimewa. Untuk mendapatkan fasilita istimewa itu, tentu ada harga yang harus dibayar. Artinya, korupsi lagi deh.

Tidak hanya fasilitas dalam Lapas yang menjadi ajang korupsi baru. Tahapan lain termasuk pemanggilan saksi maupun tersangka adalah bagian yang bisa ditawar-tawar, terlebih penahanan (setidaknya dalam hal mengulur-ulur waktu dimulainya penahanan). Ini artinya, korupsi lagi deh.

Lalu, apakah dengan demikian tak perlu ada penegakan hukum dan pemidanaan kepada para koruptor? Enak banget dong kalau begitu. Nah, yang mau saya katakan adalah tidak ada gunanya pemidanaan kalau tidak diatas landasan revolusi mental. Revolusi mental dalam arti mentalitas aparatur harus diperbaiki.

2. Persaingan Kewenangan Antar Insitusi

Memberantas korupsi dengan mencangkokkan lembaga baru, yakni KPK, dalam sistem hukum kita ternyata -- seperti kita saksikan bersama -- tak membuahkan hasil hebat. Malah, sebagaimana akhir-akhir ini terjadi, justru menimbulkan konflik antar kelembagaan, KPK vs Polri.

Jika dicermati lebih serius lagi, ternyata bahwa dalam kasus Komjen Budi Gunawan bukan hanya KPK vs Polri yang terjadi. Ternyata antara Presiden dengan DPR juga sedang terjadi mekanisme konflik sebagai respon dari kebijakan Presiden Jokowi yang membatalkan pelantikan Komjen Budi Gunawan. Disamping itu, dibawah permukaan juga sesungguhnya terjadi konflik KPK vs Presiden. Belum lagi imbas politik yang diam-diam sedang merayap mengintip peluang menggayuti isu KPK vs Polri ini.

Mari kita lihat hikmah dari KPK vs Polri ini. Sebenarnya ini adalah sisa-sisa dari mentalitas otoritarian Orde Baru. Era otoritarian dimana negara melalui aparaturnya sangat powerfull dan cenderung menghisap dan menekan rakyat. Bedanya adalah, pada jaman Orde Baru kekuasaan terkendali dan terpusat, sedangkan di era reformasi hingga kini, kekuasaan tersebut menyebar di semua lembaga pemerintahan/negara, termasuk partai politik. Ekspresinya identik yakni kekuasaan, dampaknya juga identik atau bahkan sama yakni mengeksploitasi rakyat.

Jadi, apa yang terjadi antara KPK dan Polri adalah sebuah pameran kewenangan. Hampir semua institusi masih bermental begini. Tinggal menunggu saat terjadi gesekan sehingga menimbulkan ledakan yang membakar. Itulah sebabanya revolusi mental menjadi mendesak.

Revolusi mental harus membalikkan mentalitas dan ekspresi kewenangan ini menjadi  mental pelayanan dan bakti pada negara. Sehingga negara kembali hadir sebagai dengan semangat melayani kepentingan publik, bukan hadir sebagai pemberangus kesejahteraan rakyat.

3. Memperbaiki Sifatnya Masyarakat

Dalam pidato Bung Karno 17 Agustus 1959 yang bertajuk Penemuan Kembali Revolusi Kita (Rediscovery of Our Revolution), beliau menyebutkan bahwa salah satu tugas revolusi untuk mencapai masyarakat adil makmur dalam Indonesia Merdeka itu adalah 'memperbaiki sifatnya masyarakat'.

Keadaan antara tahun 1950-1959 dengan keadaan kita dari 1998-2015 ini kurang lebih analog. Masyarakat mengalami dekadensi moral.

Dulu tahun 1950-1959 dekadensi terjadi bukan cuma karena faktor-faktor internal melainkan juga faktor-faktor eksternal dimana pemerintahan Belanda masih berupaya kembali berkuasa di Indonesia. Selain masih harus menyelesaikan konsolidasi internal, kita masih menghadapi dunia internasional terkait perjanjian-perjanjian sebelumnya (Linggar Jati hingga KMB). Disela itu terjadi pula hiruk pikuk partai menghadapi Pemilu 1955 serta sidang Dewan Konsitutuante yang tak membuahkan hasil. Ini semua menurunkan semangat rakyat.

Begitupun era reformasi yang menghantarkan gairah pemberantasan korupsi yang massif. Akan tetapi di sisi lain ternyata bahwa korupsi tidak berkurang. Pelayanan kepada masyarakat tidak semakin baik. Bahkan praktek korupsi semakin kreatif seiring dengan digunakan instrumen IT (information and technology) dalam pelayanan oleh berbagai lembaga pemerintahan. Jadi, korupsi itu sebenarnya ada di tengah masyarakat, bukan hanya diruang kerja apartur pemerintahan/negara.

Bercermin dari kenyataan ini, benarlah apa yang dikatakan oleh Bung Karno bahwa kita harus memperbaiki sifatnya masyarakat. Dalam konteks ini maka revolusi mental merupakan sebuah keharusan. Revolusi mental dimana rakyat harus menjadi subjek yang mesti dilayani negara, bukan menjadi objek perbuatan atas nama negara. Revolusi mental dimana aparatur menjadi bagian dari kehadiran negara dalam kehidupan sehari-hari masyarkat, dengan semangat melayani menuju Indonesia adil makmur.

Jika ditanyakan, harus dimulai dari mana, maka saya mengajukan solusi yang pernah saya tulis disni (silakan membaca).

Terimaksih.

FDG

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun