Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Mbah Hasyim, Mengasuh Santri Sepenuh Hati

11 Juni 2011   05:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:38 301 0
HADRATUSSYAIKH HASYIM ASYARI (1)
Mbah Hasyim, Mengasuh Santri Sepenuh Hati

Jakarta, NU Online
KH Muchith Muzadi, salah seorang sesepuh NU yang pernah menjadi santri Hadratussyaikh Hasyim Asyari menuturkan ceritanya tentang Mbah Hasyim kepada Tim Riset LTN PBNU menyambut Harlah NU Ke-85 di kediamannya, Jember, 6 Juni 2011.

Nyaris semua orang mengenal Hadratussyaikh Hasyim Asyari (1875-1945), pendiri Nahdlatul Ulama, bahkan negara mengakui kontribusi Kiai Hasyim dengan menganugerahi Pahlawan Nasional melalui Keppres No. 249/ 1964.

Kebesaran Mbah Hasyim adalah berkah dari pengabdiannya terhadap ilmu pengetahuan dan masyarakat. Keseharian Kiai Hasyim di Pondok Pesantren Tebuireng tak ubahnya kiai-kiai pondok pesantren yang dikenal di lingkungan Nahdlatul Ulama.

Mbah Hasyim rutin mendidik santri-santri Tebuireng dengan berbagai ilmu keagamaan. Pada waktu sore hari misalnya, Kiai Hasyim mengajarkan beberapa kitab kepada santri-santrinya.

"Ketika masih sekolah di madrasah, saya mengaji Fathul Qarib dan Minhajul Qawim kepada beliau. itu waktunya sore," kata Kiai Muchith Muzadi, sesepuh Nahdlatul Ulama.

Kiai Hasyim memberikan waktu kepada para santri pemula yang masih duduk di bangku madrasah untuk langsung mengaji kepadanya. Santri junior berkesempatan mengaji langsung kepadanya di waktu sore hari, sedangkan santri senior di pagi hari.

"Setelah saya lulus madrasah, saya ikut pengajian pagi. Di antara kitabnya adalah Ihya Ulumuddin dan Tafsir Baidowi," Kiai Muchith menjelaskan.

Menurut Kiai Muchith, pengajian sore sengaja dipilih kitab Fathul Qarib karena Kiai Hasyim memang memberikan perhatian besar terhadap kitab tersebut. Fathul Qarib termasuk kitab fikih dasar. Sehingga tak segan-segan Kiai Hasyim selalu mengulang kitab tersebut meskipun sudah tuntas dikaji.

"Kitab Fathul Qarib terus diulang-ulang. Khatam diulang lagi, sehingga semua santri pernah mengaji kitab tersebut langsung kepada beliau. Diulang-ulang, ini menunjukkan kalau kitab ini penting," lanjut Mbah Muchith bercerita.

Pondok Pesantren Tebuireng saat itu sudah mengenalkan sistem klasikal. Sehingga santri pemula yang masuk ke Tebuireng dapat belajar secara mendalam berbagai ragam ilmu pengetahuan keagamaan.

Sedangkan di sore hari para santri yang masih duduk di Madrasah tersebut dapat praktik keilmuannya dengan cara mengaji langsung kepada Kiai Hasyim. Praksis belajar di madrasah saat itu sangat bermanfaat, terutama untuk mengantar memahami materi pengajian yang disampaikan Hadratussyaikh Hasyim Asyari.

"Di madrasah kita bisa belajar lebih rinci, mulai ilmu gramatika arab, seperti Nahwu, sharaf, tauhid, fikih, dan lainnya," jelas Mbah Muchith Muzadi.

Penulis: Emha Nabil Haroen
Sumber: Tim Riset LTN PBNU

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun