Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Meraba Indonesia Darurat

23 Agustus 2024   12:49 Diperbarui: 23 Agustus 2024   12:49 62 0
"Peringatan darurat"bergambar Garuda Pancasila berlatar biru adalah simbol perlawanan rakyat. Dinamikanya aneh karena semua isu bercampur hingga pesan demontrasi ribuan orang di berbagai daerah itu agak sulit diklasifikasi. Tempat demo di DPR karena isunya DPR merespon Keputusan MK untuk mengesahkan RUU. Yang dibela adalah MK tapi poster-poster pendemo adalah isu-isu tuduhan pada Jokowi sebagai "Raja Jawa" yang membangun dinasti. MK yang jadi protagonis gerakan ini berhasil membalikan keadaan dari keputusan kontroversial yang buat Gibran bisa nyalon menjadi lembaga yang populis dan manis. Kini dibela dulu dicerca. Namun, perselisihan antar lembaga negara kini jadi tontonan yang mengkhawatirkan dan tak ada lembaga yang bisa menengahi kecuali pengadilan jalanan.

Untuk memahaminya, tentu butuh meraba peristiwa yang disebut "darurat" ini. Mungkin menjelaskan kronologi akan mampu meneropong secara holistik apa yang terjadi. Masyarakat awam yang sebenarnya masih berjuang untuk perutnya, biaya pendidikan anak yang semakin tinggi atau berjuang karena tak ada pekerjaan adalah mereka yang jadi penonton dan dimainkan perasaannya oleh pembawa berita. Multi persepsi yang disuguhkan oleh politisi dan pemain dibalik layar cukup menjadi opium untuk sekedar melupakan kesulitan hidup. Para pendemo pun cukup merasa heroik atas aksi jalanannya. Alasannya, hanya cara itu untuk mengubah kedholiman penguasa eksekutor dan legislator. Lantas, di mana pertunjukan teater ini bermula?

Suka tidak suka, politik itu seni mencapai kekuasaan. Politisi penguasa pasti menggunakan kekuasaannya untuk terus berkuasa, siapapun itu. Hanya moralitas dan etika lah yang bisa membatasi. Selama hukum bisa dilanggar, selama itu pula pelaksana hukum harus dikuasai. Jika saja MK dulu tak meloloskan batas usia di Pilpres, mungkin tak ada carut marut ini. Pun jika MK tak memutuskan ambang batas PT di pilkada, tak akan pula ada pemantik demonstrasi ini. Di sini MK mestinya dikritik, kenapa tak konsisten? Kenapa produk hukum tidak istiqomah? Kenapa ambang batas ini tak berlaku dulu hingga partai yang PT-nya kecil bisa lolos di senayan? Kenapa demi mencuci dosa ketuanya terdahulu mengorbankan perselisihan antar lembaga? Kenapa dulu nolak kewenangan ini, kini justru mengambilnya?

Kritik terhadap MK di atas tentu tidak populis, tapi kita harus tetap objektif. Inkonsistensi MK jangan malah sepi kritik. Pun sama kritik juga mesti dilayangkan pada Parpol dan DPR. Sejak dulu PT diperjuangkan mereka, tujuannya untuk melenggangkan kekuasaan. Agar yang bisa nyalon hanya dari pintu mereka. Cuan dari mengeluarkan SK begitu besar apalagi untuk pilkada se-Indonesia. Utamanya, hanya merekalah yang punya konci surga bernama pilpres dan pilkada. Namun, saat mereka kalah kenapa bisa berbalik arah. Saat senang memenjarakan orang lain, saat kalah seolah terdholimi dan ambang batas adalah pelampiasan dan perlawanannya. Bagi mereka, bukan masalah keadilan dan kesetaraan politik, tapi soal menang kalah dan adu strategi mengambil hati rakyat.

Parpol pun rupanya tak punya ideologi lagi. Se"kanan" Partai Islam atau se"kiri" Partai Nasionalis misalnya, tetap bertemu pada kepentingan berkuasa. Ideologi nomor dua, kuasa yang utama. Saat tujuan kekuasaan direbut orang lain maka saat itu pula merapat ke rakyat. Parpol lain yang sudah menang menyusun strategi untuk melanggengkan kuasa dan menambah pundi usaha. Bagi-bagi kue untuk sekedar menyumpal mulut, bagi kuasa agar tak mengganggu dan melakukan strategi "hit and carrot" bagi koalisi. Di sini tak ada ideologi yang ada adalah aku dapat apa dan berkuasa atas apa. Hingga, alat negara jadi pemukul bagi yang tak manut. Instrumen berbiaya pajak jadi reward seksi bagi para kawan koalisi. Urusan selesai, masalah rakyat bisa disumbat oleh bansos dan BLT.

Lantas kenapa si "Tukang Kayu" yang selalu jadi tertuduh. Jasa beliau begitu besar bagi insfrastruktur. Di akhir jabatannya belum juga jadi bebek lumpuh. Mesti ada isu untuk melumpuhkannya. Jangan sampai, kuasanya mengganggu pemegang kuasa setelahnya. Dinasti adalah isu, padahal dia tak mau anaknya jadi wapres. Mantunya didukung penuh parpol padahal dia bukan ketua parpol. Anaknya jadi ketum parpol dadakan dan diajukan di pilkada padahal survey dan suara parpolnya jeblok. Lantas, semua dituduhkan pada si tukang kayu yang kini polesannya diubah dari "Pak Lurah" ke "Raja Jawa". Jika benar dia ingin buat dinasti, mari kita tegakan demokrasi. Bukankah suara itu suara rakyat bukan suara elit? Kenapa gak jadi ketum Golkar atau Ketua Dewan Pembinanya yang dianalisis oleh para pundit politik di negeri ini? Jika itu adalah upaya me-lameduck-an dia, janganlah sekeji itu caranya. Lewati saja pencapaian dan prestasi dia, pasti ia dilupakan dengan segera oleh rakyat. Bukankah rakyat kita mudah lupa sekaligus mudah bertengkar?

Ini hanya rerabaan rakyat jelata. Darurat itu sejatinya bukan darurat negara tapi darurat mereka yang kalah dalam berebut kuasa. Jika saja alasannya adalah tata negara dan sejumlah nilai idealis dalam berdemokrasi, bukankah hanya masyarakat yang sudah sejahtera yang bisa berdemokrasi. Bagi rakyat lapar, demokrasi berujung transaksi. Bagi masyarakat awam demokrasi hanya jadi tontonan pelipur lara kehidupan. Para aktornya menari karena menang berarti APBN bisa dikuasai. Namun, jika kalah mereka berupaya lagi bersekutu dengan rakyat agar bisa naik kuasa lagi. Butuh dekat, tak butuh dicampakan. Yang diam dan pundinya semakin moncer adalah para dalang pemodal yang tak peduli dengan nasib jelata. Mereka penghianat bangsa atau negara tetangga yang tak ingin Indonesia maju dan sejahtera. Lantas, kemana lagi harapan ini digantungkan?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun