Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Kelautan Bukan Perikanan

2 Januari 2010   10:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:40 940 0
Bukan sekedar masalah semantik. Urusan kelautan memang bukan hanya masalah ikan dan ekosistemnya. Meskipun perikanan adalah salah satu sumber ekonomi yang sudah terbukti ampuh dan berkontribusi besar bagi Indonesia, tidak berarti pembangunan kelautan harus identik dengan perikanan saja. Visi ini cukup disadari sebenarnya. Makanya ada kata ‘dan’ yang benderang pada institusi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Indonesia.

Sayangnya, praktek pembangunan kelautan Indonesia selama ini masih jauh dari optimal dan mengerdilkan pembangunan kelautan dalam perspektif yang lebih luas. Dari lima direktoral jenderal (ditjen) teknis yang berada di DKP, empat diantaranya didominasi oleh urusan ikan misalnya Ditjen Perikanan Budidaya (PB), Ditjen Perikanan Tangkap (PT), Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) serta Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PSDKP). Bahkan kegiatan Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) yang setingkat Ditjen di DKP, juga masih didominasi oleh persoalan perikanan. Sementara hanya ada satu ditjen yang berperan sebagai ditjen ‘dan lain-lain’, yaitu Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) yang mencoba mengurusi semua hal mulai Iklim, bencana, kemiskinan, pulau-pulau perbatasan, tata ruang, konservasi dan berbagai isu besar lainnya.

Format kelembagaan seperti ini berimplikasi signifikan pada fokus rekrutmen staf, kebijakan, riset, prioritas maupun program-program yang dikembangkan oleh DKP. Akibatnya, pembangunan kelautan berjalan amat lambat dan justru bingung ketika harus merespon isu non-perikanan yang semakin mengancam. Dan tidak heran pula, banyak sekali bengkalai di bidang-bidang yang tidak terkait langsung dengan perikanan ini.

Demikian pula dengan perguruan tinggi yang mengembangkan kelautan maupun perikanan. Kurikulum yang diadopsi untuk mengembangkan ‘kelautan’ sejak akhir tahun 80-an masih dominan berbau ikan. Akibatnya, skill luaran perguruan tinggi perikanan maupun kelautan selama dua dekade ini hampir tidak berbeda nyata.

Patron pikir ‘hanya perikanan’ ini sebenarnya banyak ditentukan oleh dominasi pakar dan praktisi pertanian dan perikanan yang aktif dalam membangun fondasi dan memformulasi kata pembangunan kelautan Indonesia. Ini tentu saja harus diapresiasi. Sementara kontribusi praktisi dan pakar berlatar belakang teknik tidak signifikan. Seiring dengan perkembangan isu kelautan yang ada, mereka baru muncul dan berkiprah dalam beberapa tahun terakhir. Itupun tanpa dibarengi konsep dan arah yang jelas. Sehingga perannya masih sekedar pelengkap, dan belum mampu membangun portofolio yang jelas.

Tantangan kompleks

Indonesia menghadapi tantangan pembangunan kelautan yang amat serius dan kompleks. Tahun 2030, sekitar 2000 pulau-pulau kecil Indonesia diperkirakan akan tenggelam akibat kenaikan muka air laut. Belum ada resep jitu yang dikembangkan mengantisipasi ini, baik terkait manusia, ekosistem maupun dampak lainnya. Hingga saat ini Indonesia juga belum berhasil merampungkan kesepakatan garis perbatasan wilayah Indonesia dengan 10 negara tetangga. Padahal, batas negara ini amat erat kaitannya dengan kedaulatan negara. Disamping itu, kawasan pesisir dan kepulauan masih menjadi kantong-kantong kemiskinan di negara ini. Pemenuhan fasilitas, layanan masyarakat maupun infrastruktur jauh dari memadai, sehingga SDM di wilayah ini menjadi tertinggal.

Indonesia juga berada di wilayah ‘Pacific Ring of Fire’, yaitu pertemuan tiga lempeng besar aktif yang membuat Indonesia rawan terhadap gempa dan bencana. Pola antisipasi maupun penanganan bencana pesisir belum menemukan format yang tepat. Di sisi lain, indikasi penangkapan ikan berlebih (overfishing) makin nyata di berbagai lokasi utama penangkapan ikan di Indonesia. Ironisnya, ribuan kapal asing illegal setiap tahun masih berkeliaran dan mencuri ikan di wilayah perairan Indonesia. Praktek pemboman, pembiusan dan trawl ikan (destructive fishing practices) masih terus marak dan menggerus sumberdaya perikanan Indonesia yang makin menipis.

Untuk itu, dikotomi kelautan dan perikanan tidak relevan lagi. Harmonisasi disiplin berbasis pertanian dan teknik justru perlu segera dikonsolidasikan.

Terobosan Kelautan

Tidak mungkin menolak takdir sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Potensi kelautan yang ada perlu dimanfaatkan secara optimal. Tantangan yang begitu besar harus mampu diantisipasi. Untuk itu, pembangunan kelautan tidak bisa dipasung hanya di bidang perikanan saja. Disini, DKP memegang peranan kunci yang mampu mengilhami praktisi kelautan dan perikanan lain untuk mengikuti trend dan evolusi yang dikembangkan. Pola antisipasi ‘ala-kadarnya’ yang dilakukan untuk merespon bidang selain perikanan harus segera diubah drastis, dengan setidaknya tiga terobosan penting.

Pertama, menyeimbangkan porsi perhatian dan program pembangunan kelautan maupun perikanan melalui strukturisasi kelembagaan DKP. Ditjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) yang selama ini dimandatkan menjadi ditjen ‘super’ namun dengan sumberdaya terbatas perlu dikapitalisasi. Tugas dan fungsi yang begitu besar perlu menjadi sebuah kluster yang minimal terdiri atas dua ditjen, sehingga lebih fokus dan realistis. Sementara ditjen-ditjen yang mengurusi bidang perikanan dapat dirasionalisasi dan diintegrasikan secara efektif.

Kedua, melakukan reposisi peran DKP dalam mengantisipasi berbagai isu terkait kelautan dan menetapkan prioritas yang realistis. Tingkat keterlibatan DKP di setiap isu berbeda, namun harus tetap dilakukan secara optimal. Ini berarti DKP perlu membuka diri dan mampu bersinergi dan berkonsolidasi dengan departemen dan institusi terkait lainnya. Benturan-benturan wilayah kerja dan otoritas kementerian dengan institusi lain perlu segera dikonsolidasi. Kesan departemen ‘junior’ yang menyebabkan DKP sering ‘kalah’ dalam negosiasi, perlu ditepis. Upaya reposisi peran DKP ini membutuhkan kompetensi dan kemampuan fasilitasi serta mengarusutamakan (mainstreaming) isu kelautan, sehingga menjadi domain bersama. Bukan isu yang terisolasi atau ekslusif.

Ketiga, memformulasi cetak biru dan orientasi pembangunan kelautan yang lebih proporsional dan strategis mengantisipasi isu perikanan dan kelautan. Adanya kejelasan arah ini mengurangi kebingungan yang terjadi di DKP dan meningkatkan efektifitas program yang dikembangkan. Selama ini, kekaburan orientasi membuat DKP ‘terjebak’ pada pragmatisme. Program-program yang dikembangkan seringkali seremonial, tumpang tindih, tidak berkelanjutan, dan tidak punya basis yang kuat. Ketiadaan orientasi yang benderang membuat DKP sering terlambat bereaksi untuk isu yang seharusnya menjadi domainnya, dan juga seringkali berbenturan dengan yang lainnya.

Tentu saja, dibutuhkan keberanian melakukan terobosan untuk melanjutkan evolusi pembangunan kelautan dan perikanan untuk menjadi negara maritim yang kuat. Paradigma pembangunan Indonesia yang berbasis daratan selama puluhan tahun, membuat pembangunan kelautan sulit dilakukan secara drastis. Perspektif dan praktek yang mengidentikkan pembangunan kelautan hanya sekedar perikanan plus selama puluhan tahun, juga membuat DKP seperti mengenakan topi yang kebesaran.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun