Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Bisnis Ormas-Ormas Paramiliter

19 Februari 2012   05:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:28 2867 0
Naskah: Mohamad Zaki Hussein, Aris Ikhwanto

Ormas-ormas paramiliter menjalankan beragam usaha untuk membiayai dirinya. Banyak dari usaha-usaha ini yang bermasalah, karena rentan terhadap kekerasan dan konflik, bisa menimbulkan keresahan masyarakat, dan mengganggu kerja polisi. Apakah usaha-usaha bermasalah ini akan terus dibiarkan hidup oleh pemerintah?

Tanggal 13 Oktober 2004, ratusan massa dari Forum Betawi Rempug (FBR) memblokir semua pintu masuk ITC Cempaka Mas, Jakarta Pusat. Alasan aksi itu adalah soal manfaat ekonomi yang tidak diberikan ITC kepada warga sekitar. "Itu karena arogansi pengusaha ITC Cempaka Mas yang kurang aspiratif terhadap lingkungan sekitar di bidang ketenagakaerjaan," ujar Fadloli El-Muhir, Ketua FBR waktu itu, kepada detikcom (13/10/2004). Selain pekerjaan, mereka juga menuntut keterlibatan FBR dalam pengelolaan ITC. "Kami minta dilibatkan dalam mengelola ITC Cempaka Mas contohnya dalam masalah keamanan, cleaning service dan parkir. FBR tetap akan profesional karena kita juga sudah punya perusahaan," ujar Hari, jubir FBR saat itu.

Menekan perusahaan untuk memberikan pekerjaan dan keterlibatan dalam pengelolaan usaha adalah salah satu bentuk aktivitas ekonomi FBR. Di tengah tingginya angka pengangguran di Indonesia, FBR tentu menjadi salah satu solusi bagi banyak pemuda pengangguran di Jakarta. Seperti cerita tentang Rudi, anggota FBR dari Kampung Lio, Jakarta Timur, yang diangkat oleh Grace Leksana dalam artikelnya, "Struggling to be young," di Inside Indonesia (Januari-Maret 2009). Rudi lulus SMA pada tahun 1995 dan kemudian melakukan berbagai macam pekerjaan di sektor informal. Ia baru mendapatkan pekerjaan sebagai satpam sebuah pabrik setelah bergabung dengan FBR Gardu 127. Adalah FBR yang bernegosiasi dengan manajemen pabrik agar ia bisa bekerja sebagai satpam. Rudy sendiri memang masuk FBR untuk mendapatkan pekerjaan.

Yono dan Dede adalah juga dua orang pemuda Kampung Lio yang masuk FBR untuk memperoleh nasib yang lebih baik. Yono lulus SD pada tahun 1998 dan melanjutkan pendidikannya ke SMP. Namun ia putus sekolah saat di SMP, karena orang tuanya tidak lagi mampu membiayai sekolahnya. Nasib yang sama juga menimpa Dede. Setelah lulus SMP, ia terpaksa berhenti sekolah, karena tidak memiliki biaya yang cukup. Keduanya lalu mencari kerja, tetapi tidak pernah mendapatkan pekerjaan yang layak. Setelah masuk FBR, mereka sempat mendapatkan pekerjaan menebang pohon di sekitar pabrik tempat Rudy bekerja. Untuk tiap pohon yang ditebang, mereka dibayar Rp100.000. Pekerjaan ini adalah juga hasil negosiasi FBR dengan pabrik yang bersangkutan.

Selain itu, FBR juga mengorganisir usaha-usaha kecil untuk para anggotanya, seperti percetakan dan koperasi warung makan. Mereka juga mengelola lapangan parkir dan memungut uang masuk di tempat-tempat tertentu. Menurut penelitian Ian Wilson, "The Changing Contours of Organised Violence in Post New Order Indonesia," di kawasan industri Pulo Gadung, FBR memungut bayaran Rp1000 untuk tiap truk yang mau masuk. Konon, FBR juga memiliki usaha di bidang kontraktor, konsultan dan jasa pengamanan.

Usaha jasa keamanan juga dimiliki oleh Brigade Siaga Satu (Brigass), ormas paramiliter pendukung PDI-P. Brigass dibentuk pada tahun 1999 untuk menggalang dukungan bagi Megawati Soekarnoputri yang saat itu mau menjadi presiden. Organisasi ini dipimpin oleh Pius Lustrilanang dan konon didanai oleh suami Megawati, Taufik Kiemas. Meskipun Megawati gagal memperoleh kursi kepresidenan di tahun 1999, Brigass tetap beroperasi. Ia membangun markas di Bogor, Jawa Barat, dan tetap melakukan rekrutmen. Anggota-anggotanya mendapatkan pelatihan dari mantan Kopassus, termasuk mereka yang menculik Pius. Adapun Brigass menawarkan jasa keamanannya ke swasta maupun lembaga pemerintah melalui sayap bisnisnya, yakni Brigass Lustrilanang Security.

Kemudian, ada juga ormas paramiliter yang mendapat dana dari iuran anggota. Front Pembela Islam (FPI), misalnya, salah satu sumber dananya adalah dari iuran wajib anggota. Begitu pula, FPI menerima sumbangan dari beberapa pengusaha yang notabene juga anggota FPI. Forum Komunikasi Anak Betawi (FORKABI), salah satu sumber dananya juga sumbangan. "Kalau ada yang mampu nyumbang 5-10 juta, tapi kalau seperti saya paling juga 2 juta, ya semampunya saja," ujar M. Ikhsan, Ketua DPP FORKABI Bidang Hukum, Ketentraman dan Ketertiban.

Aktivitas ekonomi serupa juga dilakukan oleh ormas-ormas paramiliter yang bersifat lokal. Penelitian International Crisis Group (ICG), "The Perils of Private Security in Indonesia: Guards and Militias on Bali and Lombok," mengungkap beberapa bentuk aktivitas ekonomi ormas paramiliter lokal ini. Misalnya, Forum Peduli Denpasar (FPD), sebuah organisasi berbasis preman yang didukung oleh pemerintah daerah Bali. Beberapa anggota mereka adalah bekas anggota gang Armada Racun yang terkenal di tahun 1970-an dan 1980-an. Mereka dibolehkan pemda untuk beroperasi di terminal Ubung, di mana mereka memungut bayaran dari para supir.

Kemudian di Lombok, ada kelompok yang bernama Bujak, singkatan dari Pemburu Jejak. Kebanyakan anggota kelompok ini terdiri dari mantan pencuri yang di tahun 1994 memulai usaha pelacakan barang curian untuk ditebus kembali oleh pemiliknya. Mereka juga menyediakan jasa perlindungan dengan bayaran bulanan. Kelompok ini dibubarkan polisi pada tahun 1996, karena menganggu polisi. Tetapi saat jumlah pencurian meningkat di tahun 1997, mereka kembali beroperasi. Meski demikian, banyak penduduk mulai curiga bahwa merekalah yang mengorganisir pencurian agar jasa pelacakan barang curian mereka laku. Pada tahun 1999, posisi mereka mulai tergeser oleh organisasi-organisasi serupa.

Lalu ada organisasi yang bernama Amphibi di Jeroaru, Lombok Timur. Organisasi ini dipimpin oleh Ukit dan Sibaway, yang merupakan anak dari Tuan Guru Mutawalli, salah seorang tokoh agama di Lombok. Hanya enam bulan setelah pembentukannya, mereka sudah berkembang menjadi satuan keamanan komunitas yang terorganisir. Sama seperti Bujak, mereka juga menawarkan jasa perlindungan dan pelacakan barang curian. Biayanya bahkan lebih murah dari Bujak. Harga jasa perlindungan mereka hanya Rp1000 per bulan.

Setelah kerusuhan di Mataram pada bulan Januari 2000, Amphibi menjadi semakin besar. Dan seiring dengan semakin besarnya Amphibi, mereka mulai beralih dari usaha jasa perlindungan dan pelacakan barang curian ke penagihan utang, perceraian dan konflik tanah. Mereka pernah menyerang seorang duda tua berkebangsaan Inggris di bulan Mei 2002 untuk memaksa sang duda melepaskan haknya atas barang-barang mantan istrinya. Pada bulan Juni 2002, seorang anggota Amphibi juga pernah menculik dan menyiksa seseorang bernama Amaq Inun agar ia tidak membuat klaim lebih lanjut atas tanah yang diberikan kepadanya oleh pengadilan.

Kalau kita lihat paparan di atas, ada banyak ragam bisnis yang dijalankan oleh ormas-ormas paramiliter. Sebagian usaha itu rentan dengan tindak kekerasan, seperti penagihan utang dan penanganan kasus perceraian. Sebagian lain bisa menimbulkan keresahan masyarakat, seperti pungutan liar. Ada juga yang rentan konflik, seperti penanganan konflik pertanahan atau pengelolaan lapangan parkir yang sering diperebutkan. Sementara itu, usaha jasa keamanan bisa menganggu kerja polisi. Apakah usaha-usaha bermasalah ini akan terus dibiarkan hidup oleh pemerintah?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun