Pemilik modal (borjuis) tidak akan pernah dengan suka rela menyerahkan kekuasaan berikut kekayaannya kepada rakyat dan atau buruh (proletar). Oleh karenanya kekuasaan itu harus direbut, harus dilakukan revolusi. Maka tak heran jika sikap "berontak" (revolusi) adalah merupakan rukun iman komunisme itu sendiri.
Sementara itu pemilik modal melihat perbedaan kelas meniscayakan pembagian kerja dan spesifikasi sehingga lahirkan produktivitas dan tak jarang eksplotatif lantaran didorong hasrat pribadi dan atau individulisme, profit orientied (mengejar laba) dan memanfaatkan nilai surplus untuk akumulasi modal (kapitalisasi) dan perluasan modal (ekspansi).
Bapak Kapitalisme Klasik Adam Smith berpandangan bukan karena seorang individu itu baik dan ingin membantu lantas ia bekerja sama dengan orang lain namun karena motif mencari laba demi meraih kepentingan individu dan melahirkan kerja sama yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme).
Berdasarkan penjelasan diatas dapay disimpulkan kedua pandangan dunia dan ideologi ini sesungguhnya memiliki rahim yang sama dan cenderung destruktif (menghancurkan) pada nilai-nilai kemanusiaan dan bersifat impralistik secara sosio-ekonomi. Rahim dimaksud adalah materialisme secara ontologis dan empirisme secara epistimologi.
Prof. Amin Rais dalam bukunya Cakrawala Islam menegaskan kecenderungan destruktif kedua pemikiran itu, sembari mendeskripsikan perlawanan politik Ulama atas rejim kapitalis boneka Amerika di Iran Shah Reza Pahlevi. Yang mana perlawanan itu dipimpin Imam Khomeini yang dengan tegas mendefinisikan keduanya perumpamaan dua sisi mata pedang pada pedang yang sama, kedua paham itu bisa membunuhmu meskipun tampak secara kasat pikiran kedua pemikiran itu memiliki hubungan pertentangan khususnya ketidak setujuan komunisme atas konsep kepemilikan pribadi dan kebebasan pasar yang menjadi akar kesengsaraan rakyat dan atau buruh karena dikuasainya hajat-hajat hidup orang banyak (privatisasi) berupa alat produksi atas segelintir orang (monopoli).
Terang saja pemilik modal lebih bersikap konservatif dan sebisa mungkin mempertahankan status quo dan stabilitas secara politik, sementara seperti yang telah disinggung di atas kaum buruh lebih bersikap revolusioner dan menuntut perubahan atas perbaikan nasib buruh.
Hanya saja kedua ideologi ini, terutama kapitalisme terus mengalami revisi dan penyempurnaan menjawab kritik-antitesis kaum marxian atasnya, sehingga peradaban modern barat yang diketahui memiliki warna kapitalisme terus disempurnakan menjadi post-modernisme dengan memasuki sisi humanisme pada dimensi pandangan dunia dan ideologi dimaksud agar tak terkesan imprialistik dan ramah pada sisi kemanusiaan.
Namun begitu, karakter destruktif dan melihat kekuatan peradaban lain sebagai ancaman bagi tumbuh kembangnya dan survivalnya peradaban itu masih sangat kuat pada neo-kapitalisme (neo-liberalisme). Hal ini lantaran perspektif kapitalisme dalam membangun suatu kemajuan berakar pada akumulasi modal dan karena itu karakter imperialisme dan ekspansif tadi tidak bisa ditanggalkan kapitalisme dalam membangun peradaban. Dan karena itu pula, arti penjajahan mengalami modernisasi dan redefinisi dalam pengertian melalui kebaruan gaya (neo-imprialisme) yakni bukan melalui penjajahan melulu invasi militer melainkan dengan tangan-tangan lembaga keuangan internasional seperti International Monetery Fund (IMF) dan Word Bank yang merupakan modus mekanisme kapitalisme dalam mengisap, menguasai pasar dan modal.
Begitu pun dapat kita cermati pada paradigma pembagian negara berdasarkan capaian Index pembangunan menjadi kategori negara maju, negara berkembang dan negara miskin adalah bagian dari paradigma pembagian kelas sosial dalam strata negara yang sengaja diciptakan dan bertujuan mendorong suburnya praktik eksploiatif dan hegomonik negara maju atas negara berkembang terlebih miskin pada semua sisi dimensi kehidupan, bukan saja ekonomi dalam arti luas namun berikut menjadikan negara maju sebagai preferensi dan ukuran kemajuan secara psiko-sosial dalam bentuk budaya, pendidikan dan ornamen sosial lainnya yang harus di "bebekin" negara kelas di bawahnya untuk bisa naik kelas. Ini tak jauh beda seperti paradigma pembagian kelas sosial borjuis (kapital) dan buruh (proletar) yang antara kelas tersebut sekeras apa pun kapitalisme mencoba mendamaikannya dengan bukan hanya memberikan upah yg layak melainkan juga berupa kompensasi dalam bentuk bonus, insentif dan segala bentuk penghargaan atas produktifvitas pekerjaan tapi tetap saja dimensi eksplotatif masih nampak terutama bagi mereka yang hingga kini masih setia dengan cara pandangan pertentangan kelas marxisme-komunisme.
Belum lagi, konflik pertentangan keduanya makin runcing lantaran revolusi industri akhir abad ke-18 yang bermula di Inggris dan kemudian menyebar ke negara Eropa Barat, Amerika Utara dan Jepang. Revolusi industri di latar belakangi dengan penemuan penting teknologi guna mendukung proses produksi seperti salah satunya adalah pengembangan mesin uap yang pertama kali ditemukan Hero dari Alexandria dan selanjutnya dikembangkan James Watt serta ilmuwan lainnya memberikan dampak tersendiri bagi digantikannya peran manusia (buruh) dalam produksi oleh mesin, sehingga posisi buruh menjadi tambah lemah dan pemilik modal tidak lagi bergantung sepenuhnya kepada buruh karena lebih memilih mesin yang lebih produktif dibandingkan manusia.
Selain itu, dimensi peradaban kedua ideologi di atas melihat aspek kemajuan manusia sebagai makhluk sosial (masyarakat) hanya dari sisi kemajuan teknis dan material. Sementara sisi moral, etika dan spritual manusia diabaikan dan mengalami kemunduran bahkan di pandangan sebagai hambatan kemajuan masyarakat itu sendiri. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari rahim atau akar kedua ideologi dimaksud seperti yang telah disinggung di atas adalah materialisme dan empirisme. Oleh sebab itu, kedua paham ini cenderung atheistik atau minimal sekuler dan kering dari nilai-nilai kemanusiaan (bebas nilai) vis a vis semisal karakter umum peradaban timur yang lebih dominan sisi spritual, moral dan etika dibandingkan dimensi material sehingga juga kontra produktif lantaran mengecilkan peran manusia di dunia sebagai sebaik-baiknya ciptaan dan Khalifa di muka bumi yang semestinya melihat dunia dan akhirat bukan dengan kacamata pertentangan melainkan harmonis-fungsional sebagaimana hadist Nabi Muhammad mendefinisikan hubungan keduanya perumpamaan dunia tempat menanam dan akhirat tempat memanen.
Kritik atas lemahnya sisi spritual dan moral pada potret umum peradaban barat inilah yang kemudian menurut Cak Nur menyebabkan terjadinya kehampaan dalam bahasa ngetrendnya kegalauan masyarakat modern sehingga mengalami kedangkalan orientasi dan tujuan akhir kehidupan. Fenomena tingkat bunuh diri yang tinggi pada negara-negara barat adalah ekspresi dari dis-orientasi itu secara ekstrem di mana manusia kehilangan sandaran hidupnya. Begitu pun secara sosial angka kriminalitas, keserakahan dan peperangan yg didorong hasrat kekuasaan dan kekayaan adalah dampak keringnya dimensi spritualitas itu, meskipun kita ketahui ada pula kekerasan malah justru di picu karena dimensi agama dan bisa jadi agama di sini hanya berperan sebagai legitimasi atas suatu hasrat keserakahan dimaksud? bukankah fakta nya beberapa mereka juga yang berjihad hingga mati semisal dalam perang didorong atas hak harta rampasan perang? atau paling tidak meyakini janji kehidupan lebih layak di surga dengan semua kenikmatan yang terkesan melulu "jasmani" juga seperti ditemani bidadari, makanan dan minuman yang lezat? Hanya saja bedanya mereka yang tak percaya pada janji kenikmatan surga melihat semua itu hanya obralan dan ilusi kaum beragama saja dan lebih memilih meraih semua itu di dunia. Sebab itu pula Karl Marx memandang agama hanyalah candu bagi mereka yang percaya dan sengaja diciptakan penguasa yang "berselingkuh" dengan pendeta atau agamawan secara umum untuk membodohi masyarakat demi meredam perlawanan kaum buruh.
Lantas sebagai orang beragama apakah anda sepakat..?