[caption id="attachment_135119" align="alignleft" width="255" caption="Nasi TO Kalektoran/foto: Myudiman"][/caption] Bagaimana sebuah kota bisa terus hidup dan membahagiakan warga dan para penghuninya? Salah satunya ; dengan menjaga serta melestarikan warisan kuliner yang dimiliki para pendahulu mereka, dan mempersilakan mereka menikmatinya dengan kegembiraan. Kota Tasik juga memiliki warisan kuliner yang terjaga, membanggakan, dan karena alasan itu tadi, dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat dengan penuh kebahagiaan. Terutama jika kita merujuk pada produk kuliner yang satu ini : Nasi Tutug Oncom. Entah bagaimana ceritanya, di kota Tasikmalaya, Tutug Oncom (Biasa disingkat Nasi TO), telah naik peringkat menjadi makanan kegemaran masyarakat dari segala lapisan. Padahal menilik sejarahnya, nasi tutug oncom, yang merupakan campuran nasi dengan oncom bakar (atau bisa juga oncom yang digoreng sangray) adalah makanan di jaman susah. Waktu rakyat dan negara kita masih dalam kesusahan. Terutama di masa revolusi kemerdekaan dan era orde lama. Saat harga beras dan komoditas pangan lainnya sulit didapat dan kalaupun ada harganya melangit. Saat itu, menurut penuturan orang-orang tua, makan nasi menjadi suatu kemewahan, dan oleh karena itu nasi tutug dibuat dengan satu tujuan saja ; ‘
meh mahi jang sakabeh’, (biar semua kebagian-pen). Maklum segala susah. Jangankan ayam atau ikan, lauk nasi bisanya ya tutug (racikan) oncom itu, yang dirameskan dengan nasi. Cuma karena dimakan saat masih baru ditanak (uap nasinya masih panas dan mengepulkan asap), rasanya ya nikmat-nikmat saja sih. Tentu, telah banyak perubahan yang terjadi di Republik ini. Beberapa waktu lalu, Indonesia telah sukses berswasembada beras. Namun, ada saat juga dimana harga beras naik, dan banyak diantara masyarakat yang juga kesulitan mendapatkannya. Jika kemudian, sekarang ini orang kembali merindukan nasi TO karena merasa kondisi kehidupan tidak jauh berbeda dengan masa lalu, sah-sah saja. Boleh jadi Nasi TO lantas mengambil tempat untuk mengisi memori itu. Meski yang terjadi kemudian, unsur wisata kuliner menjadi lebih dominan ketimbang alasan makan Nasi TO untuk menyiasati kehidupan yang susah. Mau tak mau harus diakui, sekarang ini, Nasi TO jadi pilihan selain karena enak juga karena harganya yang murah meriah. Kita harus berpikir ekonomis juga bukan? [caption id="attachment_135124" align="alignleft" width="289" caption="Endorsement Bondan Winarno untuk Nasi Tutug Oncom/Foto:Myudiman"][/caption] Sekarang, nasi TO telah menjadi salah satu kuliner unggulan khas Tasik. Pakar dan presenter kuliner Bondan Winarno, saat memberikan endorsement untuk buku "Tasik Funtastic Kuliner" bahkan secara khusus menyoroti hal ini dan menyarankan agar Sangu Tutug Oncom bisa ditahbiskan sebagai ikon kuliner kota. Untuk keperluan promosi Nasi TO ini pula, poster dan informasi tentang Nasi TO saya bawa ke ajang Food and Hotel Asia Expo 2010 di Singapura, pada 20-23 April 2010 lalu. Meski harus berbarengan dengan promosi usaha sayur dan buah-buahan asal Indonesia, di event ini, lewat poster dan buku, saya infokan Nasi Tutug Oncom, kepada para pengunjung yang tertarik. Salah satunya, Kang Eddy Kusnaedi, seorang
Executive Chef, asal Bandung yang sudah jadi permanent resident di Australia, yang pada event itu memasak untuk stand perusahaan makanan asal Turki. Kang Eddy sampai merasa perlu datang ke Bandung untuk mencicipi nasi TO, sebelum ia pulang ke Australia. Idealnya memang harus datang langsung ke Tasik untuk menikmati rasa nasi TO yang orisinal. Sayang waktunya tak mencukupi. Dari pengalaman mencicipi Nasi TO ini, Kang Eddy terpikir dan berencana untuk menambahkan menu Nasi TO di restoran sunda yang akan dikelolanya di sana. Mudah-mudahan jika upaya ini terwujud, Nasi TO bisa mengglobal, dan disukai oleh masyarakat di seluruh dunia. Mungkin saja kan? Catatan: artikel ini merupakan pembaruan dari tulisan di Buku "Tasik Funtastic Kuliner" halaman 30, dengan beberapa informasi tambahan.
KEMBALI KE ARTIKEL