Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Tentang Buku "Tasik Funtastic Kuliner"

5 Mei 2010   01:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:24 310 0
Buku Tasik Funtastic Kuliner lahir dari kesadaran tentang pentingnya aspek promosi dan branding untuk menjadikan sebuah produk, khususnya produk kuliner, banyak dikenal. Terlebih, untuk kota Tasikmalaya yang memiliki visi sebagai pusat perdagangan dan industri termaju di kawasan Priangan Timur tahun 2012. Terinspirasi dari branding negara/kota Singapura, Uniquely Singapore, Amazing Thailand-nya Thailand, Incredible India-India, atau Everlasting Beauty-nya Bandung dan Never Ending Asia-nya Jogja. Untuk Tasik, khususnya produk kulinernya, saya usulkan branding ; Tasik Funtastic. Terjemah bebasnya, berkuliner di Tasik itu pasti “Fun” (menyenangkan) dan meng“Asyik” kan. Selama ini, informasi tentang kuliner kota Tasikmalaya yang berisi komentar, review, dan pengalaman mencicipi kelezatannya, banyak berserakan di berbagai media. Baik itu cetak maupun elektronik. Beberapa pemilik dan pengelola usaha kuliner di Tasik bahkan sudah pernah diliput secara khusus oleh beberapa stasiun TV swasta nasional. Namun, kebanyakan hanya menginformasikan satu-dua makanan/kuliner yang secara umum sudah banyak dikenal. Padahal kota Tasikmalaya menyimpan potensi wisata kuliner yang luar biasa. Bayangkan, untuk kategori jajanan mie baso saja, Tasik memiliki beberapa ’genre’ baso. Jika dilihat dari asal daerahnya, ada baso Solo, baso Wonogiri, baso Ciamis. Belum lagi jika dilihat dari varian isinya. Baso babat dan ceker mungkin sudah biasa. Tapi bagaimana dengan Baso Tangkar? Atau Baso Kurdi yang mencampur mie dengan rajangan kubis? Belum lagi jenis makanan/kuliner yang lain. Nasi Tutug Oncom (TO) Tasik sudah sejak lama dikenal kelezatannya. Nasi TO boleh diklaim sebagai inovasi kuliner asli orang Tasik. Tahu kupat Tasik juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Mau rujak dan lotek? Di Jalan R. Ikik Wiradikarta (Kalektoran) setidaknya terdapat dua pedagang yang senantiasa menjadi rujukan. Dari sini bisa diambil kesimpulan, masyarakat kota Tasikmalaya terbuka dan apresiatif terhadap aneka jenis kuliner. Selain itu, para pemilik usaha kuliner juga senantiasa menjaga kualitas rasa dan karya kuliner mereka, tidak berubah dan mampu bertahan sepanjang waktu. Bubur Ayam H. Zenal telah hadir sejak tahun 1961. Soto Ayam 23 Pataruman, kini dikelola generasi ketiga, dan masih banyak lagi usaha kuliner yang telah diturunkan dan diteruskan oleh generasi penerus. Dengan demikian, kuliner kota Tasik juga merupakan salah satu warisan budaya kota yang harus dilestarikan. ”Proyek” mendokumentasikan kuliner kota Tasikmalaya ini sebenarnya telah dimulai sejak 2006. Setelah tidak lagi bekerja sebagai jurnalis di Jakarta, saya mengelola usaha budidaya ikan air tawar di Kampung Balo, Sukamahi – Sukaratu, Tasikmalaya. Kondisi ini mengharuskan saya menghabiskan waktu di dua tempat sekaligus. Bandung, dimana saya dan keluarga berdomisili, dan Tasik tempat saya menjalankan usaha. Di sela-sela waktu luang menjalankan usaha itulah saya berwisata kuliner, ngobrol dengan pemilik dan pengelola usaha kuliner, memotret dan menulis ”laporan pandangan mata”, dari lokasi wisata kuliner yang saya kunjungi. Beberapa diantaranya adalah langganan sejak lama. Masih teringat, saat SD tahun 80an diajak orang tua menikmati Bubur Zenal, Baso Komar, Tahu Kupat Kabita, atau Ayam Bakar Riung Gunung yang kelezatannya masih bisa saya bayangkan hingga saat ini. Ketika SMP dan SMA preference kuliner saya bertambah karena bersama teman kemudian jajan di (Baso) Laksana, atau menikmati Nasi TO Pataruman, sebagai ”konsumsi” wajib saat berkegiatan Pramuka. Setelah harus meninggalkan kota Tasikmalaya karena studi di Bandung dan kemudian bekerja di Jakarta, kuliner kota Tasikmalaya hanya bisa dinikmati saat lebaran tiba. Tentu dengan ragam dan kekhasan yang semakin bertambah. Beberapa orang teman di masa kecil bahkan menjalankan usaha di bidang kuliner dan sukses. Di era ketika arus informasi mengalir sangat deras melalui internet. Saya semakin dimudahkan dan diuntungkan dalam mengerjakan proyek dokumentasi kuliner ini. Dari milis, facebook, blog, banyak orang berbagi informasi tentang lokasi tempat jajanan favorit di Tasik, yang kemudian saya datangi untuk saya buktikan sendiri kebenaranya. Tak terasa, dari kegiatan yang semula hanya untuk konsumsi pribadi dan berbagi dengan kawan dekat, ternyata terhimpun menjadi kumpulan informasi yang cukup lengkap. Muncul gagasan di kepala untuk menjadikan kumpulan informasi ini sebagai buku, yang mudah-mudahan bermanfaat sebagai salah satu media informasi tentang kuliner yang ada di kota Tasikmalaya. Tentu saja buku ini sangat banyak kekurangannya. Maklum segala sesuatunya dikerjakan sendiri. Sejak hunting kuliner, memotret, menulis review-nya, mendesain tata letak, mencari sponsor hingga mendistribusikannya. Harap maklum juga, buku Tasik Funtastic Kuliner ini jelas tidak akan dapat mewadahi aspirasi kuliner semua orang. Terlebih jika yang menjadi ukuran adalah selera orang per orang. Untuk yang satu ini, ijinkan saya mengutip sebuah pepatah latin. De Gustibus Non Est Disputandum. Menurut situs wikipedia, arti pepatah ini kira-kira ; “Mengenai selera, tidaklah bisa dibuat sebuah diskusi.” Dengan demikian, jika buku ini tidak mampu mengundang selera anda untuk menikmati sajian yang ada di dalamnya, saya tidak bisa berbuat banyak. Selain karena semuanya sangat subjektif – informasi yang tersaji hadir hanya dari sudut pandang saya pribadi, juga karena alasan itu tadi ; Selera tak bisa diperdebatkan. Butuh waktu cukup panjang hingga buku ini bisa diterbitkan. Maklum, setelah menjadi wirausahawan, praktis waktu saya banyak tersita untuk mencari sesuap nasi, ketimbang menjadikan upaya menerbitkan buku ini sebagai prioritas. Ada saran agar buku ini diserahkan ke penerbit. Akan tetapi setelah bertemu dengan kepala cabang sebuah grup penerbitan besar di Bandung, buku saya dianggap tidak cukup menarik secara komersial, dan karena sifatnya yang “niche market” tadi, diprediksi kurang bisa mendatangkan keuntungan. Tentu saja, kita tidak boleh menyerah hanya karena buku kita dianggap tak akan laku dijual bukan? Lagi pula, tujuan penerbitan buku ini semata-mata tidak untuk mencari untung. Lebih banyaknya (amiin), buku ini adalah upaya saya mempromosikan kuliner kota kelahiran. Boleh kan? Akhirnya, beruntung saya punya sedikit tabungan untuk memodali percetakannya, ditambah dukungan seorang dermawan yang kasihan karena buku ini tidak terbit-terbit. Jadilah buku ini naik cetak di sebuah percetakan, yang alhamdulillah karena juga milik seorang teman, sehingga bisa dihutangi dan dibayar belakangan. Jumlahnya? Tak banyak. Sesuai standar minimal percetakan saja agar ongkosnya tidak terlalu mahal. Demikian pula dengan distribusi dan pemasarannya. Karena tidak dimungkinkan masuk ke jaringan toko buku konvensional, pada akhirnya buku ini disebarluaskan dengan model distribusi indie, memanfaatkan jaringan hubungan pertemanan, kekerabatan, kekeluargaan dan persodaraan. Alhasil “Toko bukunya” pun beragam, ada facebook, twitter, email, milis, friendster, dsb. Jadi kalau Anda mendapatkan penawaran untuk membeli buku ini, mohon itu diterima saja, dan jika kemudian Anda diminta membelinya, anggap sebagai ganti ongkos percetakan saja, dan dengan begitu anda turut berpartisipasi dalam upaya promosi kota. Terakhir harapan saya, buku ini hadir untuk menjadi sarana promosi kuliner dan UKM kota Tasikmalaya. Semakin banyak informasi kuliner dan UKM kota Tasikmalaya ini tersebar, akan semakin banyak juga yang mengenal dan datang mengunjungi kota penghasil bordir, batik, aneka kerajinan dan tempat lahir Susi Susanti, atlit peraih emas olimpiade Barcelona 1992. Smoga.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun