Beberapa hari yang lalu, seorang kawan mengirim link sebuah blog. Ternyata, link tersebut mengarah ke suatu artikel tentang calon konsumen (si penulis blog) yang merasa "ditolak" oleh seorang agen (blogger tersebut menyebutnya sebagai konsultan) travel untuk trip di Flores. Urutannya kira-kira begini:
1. Calon konsumen mengirim email ke agen travel.
2. Agen travel membalas email tersebut. Calon konsumen merasa balasan agen travel tidak baik.
3. Calon konsumen men-twit ke ribuan follower-nya dengan me-mention si agen travel. Sudah jelas, isi twitnya sangat berpotensi merugikan agen travel.
4. Calon konsumen kembali membalas email dari agen travel.
5. Agen travel membalas email si calon konsumen. Isi email sudah sangat tidak menyenangkan di sini.
6. Calon konsumen menulis sebuah artikel mengenai pengalaman ini di blog pribadinya.
Saya tidak mau membela siapa-siapa di sini. Sebagai orang yang tinggal di Flores dan hidup sangat dekat dengan dunia pariwisata, saya bisa mengerti kenapa si agen travel nampak cukup kesal dengan si calon konsumen. Tapi saya tidak mengerti kenapa kekesalan tersebut sampai terlihat di email balasan.
Seringkali kita dihadapkan oleh konsumen yang tidak menyenangkan. Ada yang sok tau lah, ada yang sok orang penting lah, dan sok sok lainnya. Seringkali kita merasa benar, tapi karena keadaan lingkungan yang tidak kondusif, kita terpancing emosi dan merespon dengan tidak benar, sehingga yang awalnya kita berada di posisi benar, berakhir di posisi tidak benar (di kasus ini, saya teringat Bupati Ngada, Marianus Sae, yang memblokir bandara karena tidak mendapat tiket).
Masalahnya, tidak peduli awalnya benar atau tidak, orang lain hanya akan peduli dengan respon kita. Apalagi bagi orang Indonesia yang katanya komunal. Relasi baik antar manusia sangat disorot di sini. Mau kita benar, kalau marah-marah, jadinya salah. Mau kita salah, kalau minta maaf baik-baik, jadinya benar. Fatalnya, kalau yang merespon tidak baik adalah pihak perusahaan (apalagi perusahaan jasa), mereka bukan hanya memiliki kemungkinan kehilangan satu (calon) pelanggan, tapi mungkin puluhan, ratusan, atau bahkan ribuan, tergantung dari skala bisnis mereka. Nggak ilmiah, sih. Hal tersebut hanya semata-mata hasil observasi pribadi tanpa landasan teori apa pun. Sekali lagi, saya juga bukan seorang ahli di sini. Hanya seorang awam yang jadi konsumen untuk banyak produk dan jasa.
Namun saya rasa, bentuk respon dan efeknya itu semestinya sudah disadari setiap orang yang bergerak di bidang pelayanan konsumen atau jasa sejak lama. Jadi, seperti contoh kasus di awal, terlepas dari apakah si calon konsumen yang seorang blogger tadi benar atau salah, cara merespon agen travel lah yang menjadi asal-muasal mereka akan kehilangan banyak calon konsumen. Bayangkan saja, di jaman sekarang, ada yang tidak menyenangkan sedikit, orang langsung menuliskannya di internet, terus disebar via twitter atau facebook, terus teman-teman mereka ikut me-retweet atau share, terus teman-temannya teman-teman ikutan juga membagikan info itu, dan terus dan terus dan terus. Berapa banyak potential customers yang hilang kalau info yang dibagikan adalah mengenai kekurangan perusahaan?
Bukan hanya hal yang menyebabkan kehilangan pelanggan. Respon juga berlaku bagi hal yang sebaliknya. Info baik mendatangkan konsumen baru. Kali ini, saya sendiri yang mengalami. Berhubung infonya positif, saya akan sebut merk.
Tinggal di kota dengan bandara domestik yang hanya bisa untuk beroperasi pesawat kecil (mayoritas pesawat propeller) membuat saya tidak memiliki banyak pilihan. Biasanya kalau mau keluar kota menggunakan pesawat, saya memilih satu maskapai yang memiliki armada jet kecil dan memang dikenal sangat reliable dalam hal waktu. Jarang delay, saking on time-nya, kadang malah lepas landas sebelum jadwal, hehehe.
Sampai pada bulan Desember lalu, saya sakit demam berdarah dan mau rujuk ke Jakarta. Kebetulan Garuda Indonesia Explore baru beberapa hari beroperasi di Labuan Bajo, kota tempat saya tinggal. Sebetulnya saya tidak tertarik menggunakan Garuda, karena mereka masih pakai pesawat propeller. Lama! Butuh waktu satu setengah jam untuk sampai Denpasar! Sama seperti pesawat propeller dari maskapai-maskapai lain yang beroperasi di sini. Maunya bisa pakai pesawat yang jet, tapi apa boleh buat, jadwal pesawat yang jet (dari maskapai lain) tidak cocok dengan kebutuhan saya. Jadwal paling cocok ya dengan Garuda Indonesia Explore tersebut.
Dengan keadaan panas tinggi dan kemungkinan shock di hari ke-4 demam berdarah, akhirnya saya memutuskan untuk terbang ke Denpasar dengan Garuda, baru selanjutnya ganti maskapai untuk ke Jakarta. Saya mencari kemungkinan connecting secepat mungkin agar tidak menunggu lama di Ngurah Rai, sendirian, sakit. Kalau ternyata saya kena shock dan mati, akan sangat tragis mati sendirian di bandara, hehehe. Eeeh, sialnya, ternyata si Garuda delay. Di terminal keberangkatan Bandara Komodo, Labuan Bajo, saya pun bertanya kepada seorang bapak dari pihak Garuda (saya tidak tau nama beliau tapi sangat berterima kasih atas respon beliau yang sangat baik). Sepertinya beliau seorang trainer/supervisor/manajer yang dikirim dari Jakarta atau Bali untuk melatih petugas Garuda di sini. Maklum, baru beroperasi kurang dari seminggu waktu itu. Saya ingat sekali ketika menghampiri beliau dan bertanya "Permisi, Pak. Saya mau tanya, delay-nya kira-kira berapa lama ya? Soalnya saya ada connecting dengan Citilink ke Jakarta, selisihnya cuma 2 jam" dengan suara, ekspresi, dan intonasi yang saya jaga agar seramah dan sesantun mungkin. Bapak itu merespon, "Oh, mohon maaf, kami delay sekitar 15 menit. Kalau selisihnya 2 jam, masih keburu kok. Nanti kalo nggak keburu, silakan datang ke Garuda di airport Bali, biar kami yang carikan pesawat pengganti karena itu kesalahan kami." Wuiiih, dari sakit berat, rasanya langsung sembuh saya waktu itu! (hehehe.. hiperbolis sih). Intonasi, ekspresi, gesture, pilihan kata, dan respon beliau yang langsung memberikan solusi sebelum ditanya secara eksplisit, menenangkan saya yang khawatir akan ketinggalan pesawat pas lagi sakit parah. Padahal, beliau tidak tau situasi yang saya alami. Saya yakin beliau hanya tau saya tidak mau ketinggalan pesawat connecting. Dan dari saat itu juga, beliau tanpa sadar membuat saya akan terus menggunakan Garuda Indonesia Explore (selama waktunya cocok). Sekali lagi, respon beliau lah yang membuat saya akan kembali menjadi pengguna jasa Garuda Indonesia Explore!
Ditambah lagi, mereka juga menyediakan selimut untuk membantu saya bertahan hidup di AC yang sangat dingin selama penerbangan. Snack-nya juga bukan sepotong roti kecil doang. Dapat 2 roti dan satu air mineral di dalam kemasan yang elegan. Belum lagi selama penerbangan dapat pilihan minum, kopi/teh/jus/susu, Hmmm... Rotinya juga pada akhirnya sih nggak saya makan, wong lagi sakit, nggak selera makan. Itu hal kecil.
Tapi, Garuda benar-benar menekankan good experience bagi pelanggannya dan membuat (setidaknya saya) berpikir: "I don't care if it takes time to fly with them because of propeller aircraft, I don't care if it's a bit pricey, but I know if shit happens while I'm flying, I'll be fine". Bukan saja berpikir, saya pun jadi merasa dengan senang hati membagikan pengalaman ini ke orang lain karena saya mau orang lain, terutama teman-teman saya, mendapatkan yang terbaik juga.
Hal-hal yang saya alami dengan Garuda Indonesia Explore tadi mungkin hal sepele. Mungkin tidak banyak perusahaan yang berpikir kalau itu signifikan, saya juga tidak punya data dan statistik apa pun untuk membuktikan, namun saya yakin kalau good customer service brings good result. Kalau memang perusahaan memiliki target market yang berbeda, tidak butuh service excellence untuk menjual produknya (barang/jasa), setidaknya berespon lah dengan santun agar kejadian seperti yang dialami si agen travel tidak dialami perusahaan lain.