Jakarta kembali disorot, bukan karena prestasi kelima kota administrasinya, yakni Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Jakarta Selatan, yang setiap tahun meraih Piala Adipura dari Kementerian Lingkungan Hidup, melainkan karena persoalan yang melilitnya, terutama masalah kemacetan yang kian parah di jalan-jalan yang menuju pusat kota atau pusat bisnis, seperti Jl. Gatot Subroto, MH. Thamrin, Sudirman, HR. Rasuna Said, dan sebagainya. Bahkan karena masalah ini, Jakarta yang sempat dijuluki sebagai kota paling berpolusi di dunia setelah Bangkok dan Meksiko, mendapat julukan baru; Kota Stroke dan Kota Usus Buntu, sehingga harus segera dibedah. Bukan main!
Bila ditarik ke belakang, apa yang terjadi pada Jakarta sekarang merupakan imbas dari kebijakan pemerintahan Orde Baru yang dipimpin almarhum mantan Presiden Soeharto, karena ketika itu Orde Baru menganut sistem pembangunan desentralistik, pembangunan yang dipusatkan pada wilayah dimana pusat kekuasaan berada, yakni Jakarta. Akibatnya, karena laju pertumbuhan kota ini menjadi sangat cepat dan luar biasa dibanding di provinsi-provinsi lain, bahkan 70% perputaran uang di negara ini terjadi di kota beretnis Betawi ini, warga dari provinsi-provinsi lain berbondong-bondong ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Akibatnya lagi, dengan luas daratan ‘hanya’ 661,52 km2, pada malam hari Jakarta harus menampung penduduk sebanyak 8.522.589 juta jiwa (data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil perApril 2010), sementara pada siang hari melebihi angka 12 juta lebih. Ini terjadi karena pada siang hari, lebih dari 4.000 warga Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek) memasuki Jakarta untuk bekerja.
Dengan kondisi seperti ini, jelas saja Jakarta macet parah, karena lebih dari sebagian penduduknya yang berjumlah 8.522.589 jiwa, memiliki kendaraan berupa motor atau mobil. Sementara warga Bodetabek yang bekerja di Jakarta, sebagian besar juga mengendarai kendaraan yang sama. Beritajakarta.com menyebutkan, saat ini jumlah kendaraan yang wara-wiri di Jakarta setiap hari mencapai 6,5 juta unit, di mana 6,4 juta unit di antaranya (98,6%) merupakan kendaraan pribadi, dan sisanya, 1,4% atau 88.477 unit, adalah angkutan umum. Pertumbuhan jumlah kendaraan di kota ini mencapai 10% per tahun, sementara kemampuan Pemprov DKI Jakarta untuk menambah ruas jalan hanya 0,01% per tahun.
Kesalahan kebijakan Orde Baru telah lama disadari para ‘orang pintar’ di negara ini, termasuk mereka yang pernah atau sedang memimpin Jakarta. Sayangnya, pendekatan yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah kemacetan cenderung masih menggunakan pendekatan bisnis dan perekonomian, bahkan proyek, sehingga kemacetan tak kunjung teratasi. Bahkan kian parah. Indikasinya adalah, di satu sisi Pemprov DKI berupaya mencari solusi dengan akan membangun jalan layang, menerapkan electronic road pricing (ERP) seperti di Singapura, dan lain-lain, tapi di sisi lain laju pertumbuhan jumlah kendaraan tidak dibatasi. Bahkan pemprov juga berencana membangun 6 ruas jalan tol dalam kota yang dikritik pakar transportasi karena diyakini justru hanya akan memacu kian banyaknya jumlah kendaraan di Jakarta.
Indikasi ‘bau proyek’ pada penanganan kemacetan dapat dikaji dari proyek yang telah dilaksanakan, yakni waterway dan busway. Waterway yang diresmikan Gubernur Sutiyoso pada Juni 2007 dan melayari Banjir Kanal barat (BKB) dari kawasan Karet di Jakarta Pusat hingga Halimun di Jakarta Selatan, hanya bertahan beberapa bulan karena jika musim hujan, perahunya tak dapat berlayar akibat permukaan air BKB meluap hingga nyaris menyentuh jembatan-jembatan yang melintang di atasnya. Selain itu, air BKB menguarkan bau tak sedap dan banyak sampahnya, sehingga baling-baling perahu kerap macet akibat terjerat sampah-sampah itu. Masyarakat pun enggan memanfaatkan karena dinilai kurang nyaman.
Apa yang terjadi pada waterway menunjukkan, bahwa sebelum dilaunching, proyek yang menelan dana miliaran ini tidak dikaji dengan baik. Yang lebih memprihatinkan, dua perahu yang digunakan untuk proyek itu adalah perahu-perahu yang biasa digunakan sebagai sarana transportasi laut di Teluk Jakarta. Sempat beredar isu kalau proyek ini sengaja dibuat untuk satu tujuan, yakni membuat citra positif bagi Sutiyoso yang masa jabatannya sebagai gubernur DKI habis pada Oktober 2007.
Bau proyek pada busway pun kuat sekali tercium, karena implementasi konsep moda transportasi yang dicontek dari busway di Bogota, Kolombia, tersebut berantakan. Di Bogota, busway tak hanya merupakan sarana transportasi yang nyaman dan aman, tapi juga membuat jalan-jalan tidak macet. Tapi di Jakarta terbalik, karena busway, jalanan makin macet. Ini terjadi karena jika di Bogota jalur busway dibuatkan khusus dengan membangun jalan baru, di Jakarta jalur busway menggunakan satu ruas jalan di jalan yang sudah ada. Pelayanannya pun buruk sekali, karena jika di Bogota waktu tunggu kedatangan bus (headway) hanya sekitar 5 menit, di Jakarta bisa setengah jam, bahkan satu jam! Jembatan busway pun dibangun panjaaaaang sekali dan berliku-liku, sehingga DPRD DKI periode 2004-2009 sempat menanyakan, harus seperti itukah jembatan busway dibangun? Karena jangankan menjelajahinya, melihatnya saja orang sudah stress.
Selain itu, Rustam Effendi, mantan Kepala Dinas Perhubungan DKI dipenjara karena dituduh memark up harga pembalian bus-bus busway, dan DPRD periode 2004-2009 sempat marah-marah karena meski dana operasional busway sebagian disubsidi oleh Pemprov DKI Jakarta melalui APBD, 70% di antaranya digunakan hanya untuk membayar para pejabat di BLU TransJakarta, unit pelaksana teknis (UPT) yang mengoperatori busway.
Wacana untuk memindahkan ibukota negara dari Jakarta ke Kalimantan yang saat ini ramai dibicarakan, bukan wacana baru. Beberapa tahun lalu sempat ada wacana untuk memindahkan ibukota ke Jonggol, Bogor, Jawa Barat. Pertanyaannya, apakah jika ibukota negara dipindahkan, Jakarta serta merta akan terbebas dari macet? Apakah dengan pindahnya ibukota negara, aktifitas perekonomian yang membaut Jakarta macet, juga akan pindah?
Yang juga perlu disadari, macetnya Jakarta juga diakibatkan oleh para oknum yang dengan mudahnya memberikan SIM kepada warga yang membutuihkan.Tanpa melalui tes, asal membayar sejumlah uang, SIM didapat. Akibatnya, banyak pengemudi yang tidak patuh pada rambu-rambu lalu lintas, sehingga dengan sengaja memarkir kendaraannya di sembarang tempat, menerobos lampu merah, menurunkan penumpang di tengah jalan, dan sebagainya, sehingga jalanan pun menjadi macet. Jika semua ini dibenahi dan pola pendekatan untuk mengatasi kemacetan sungguh-sungguh untuk kepentingan bersama, bukan lagi untuk kepentingan perekonomian semata atau yang lain, saya yakin Jakarta bisa dibebaskan dari kemacetan, tanpa harus menghilangkan status Jakarta sebagai ibukota negara.