Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money Artikel Utama

Jangan Biarkan Masyarakat Terus Menjerit!

4 Mei 2010   07:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:25 139 0
[caption id="attachment_132931" align="alignright" width="298" caption="PLN/Admin (Kompas)"][/caption]

Dalam obrolan dengan teman-teman pada Senin (2/5) malam, rencana pemerintah menaikkan tarif dasar listrik (TDL) hingga 10% pada Juli 2010, menjadi salah satu topik terhangat. Menyaingi serunya topik tentang makelar pajak, Bank Century, dan Susno Duadji. Memang kenaikan itu hanya berlaku bagi pengguna listrik di atas 900 volt amphere (VA), namun kami semua sepakat, dampak kenaikan itu bakal mengimbas semua lapisan masyarakat. Termasuk yang listrik di rumahnya masih nyolong dari tiang-tiang listrik.

Mengapa kami menyakini begitu? Berdasarkan pengalaman yang lalu, jika TDL naik, maka harga kebutuhan sehari-hari bakalan ikut terdongkrak, karena sebagian besar barang kebutuhan yang dijual di pasaran, seperti makanan, minuman, beras, gula, dan sebagainya, diolah produsennya dengan menggunakan tenaga listrik di atas 900 VA. Peluang naiknya harga kebutuhan sehari-hari akibat kenaikan TDL ini sama besarnya dengan peluang kenaikan harga yang dipicu kenaikan harga BBM.

"Kalau difikir-fikir, benar kata orang-orang Suhartois; lebih enak zaman Suharto, karena saat itu harga cenderung dapat dikendalikan, dan murah, sehingga dengan uang Rp100.000 kita sudah dapat membeli berbagai barang kebutuhan. Selain itu, barangnya selalu ada di pasaran. Kalau sekarang, sudah harganya mahal, kadang terjadi kelangkaan," sungut Sodik.

"Tapi jangan salah, lho, keberhasilan di era Suharto semu, sehingga begitu negara dihantam krisis, negara langsung limbung karena nilai rupiah jatuh, harga-harga meroket, dan negara yang katanya sedang berkembang ini mendadak menjadi salah satu negara miskin di dunia! Gak heran setiap kali pemerintah membagikan BLT (bantuan langsung tunai), rakyat rela saling desak, saling dorong, sehingga bahkan pernah ada yang meninggal. Padahal jumlah uang yang dibagikan Cuma Rp300.000," kilah Jayadi.

Sejumlah media menulis, niat PT. PLN Tbk menaikkan TDL karena BUMN itu sedang mengalami krisis batu bara yang menjadi salah satu sumber utama energi pembangkit listrik PLN, sehingga pada Januari 2010 PLN sempat memberlakukan pemadaman bergilir di kawasan Jakarta dan sekitarnya. Bahkan karena krisis ini, pemerintah dengan ‘penuh kesadaran' berniat memberikan tambahan subsidi kepada PLN sebesar Rp2,4 triliun, sehingga total subsidi untuk PLN pada tahun ini mencapai Rp55,1 triliun!

Saya bertanya-tanya dalam hati, jika subsidi ditambah, masih perlukah TDL dinaikkan? Atau jika TDL dinaikkan, masih perlukah PLN disubsidi hingga triliunan?

‘Sejarah' mencatat, ‘di masa lalu' PT. PLN Tbk bukan BUMN yang dikelola oleh orang-orang yang kredibel, sehingga perusahaan milik negara ini tidak bebas dari lilitan prilaku korupsi. Kasus dugaan korupsi proyek pengadaan Costumer Information System (CIS) pada 2000-2006 yang membuat mantan Dirut PT. PLN Eddie Widiono ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 22 Maret 2010 lalu adalah salah satu bukti dari beberapa bukti lainnya. Dengan logika sederhana pun kita tahu, karena korupsi, tak sedikit income PLN atau subsidi yang diberikan pemerintah, tak dapat digunakan untuk lebih memberdayakan PLN karena masuk kantong oknum di perusahaan itu. Saat ini PLN memang memiliki pemimpin baru, yakni Dahlan Iskan, sosok yang dijuluki sebagai salah satu raja media di Indonesia dengan kelompok media Jawa Pos-nya, tapi dapat yakinkah kita kalau mental korupsi sudah tak ada lagi di BUMN itu, mengingat pejabat di bawah Dahlan kebanyakan, atau jangan-jangan semuanya, masih orang-orang yang sama dengan saat PLN dipimpin oleh pemimpin yang terdahulu?

Subsidi yang digelontorkan pemerintah adalah uang rakyat yang di-collect melalui pajak penghasilan (Pph), pajak pertambahan nilai (PPN), dan sebagainya. Jika PLN mengalami krisis batu bara akibat kalah bersaing dengan perusahaan listrik swasta, tak masalah subsidi digelontorkan. Tapi jika PLN kesulitan karena prilaku korupsi oknum-oknum di dalamnya?

Data Direktorat Jenderal Pajak menyebutkan, pada akhir 2009 jumlah wajib pajak (WP) mencapai 15,91 juta . Jumlah ini meningkat pesat dibanding pada 2005 yang hanya 4,35 juta WP, pada 2006 yang sebanyak 4,8 juta WP, pada 2007 yang sebanyak 7,13 juta WP, dan pada 2008 yang sebanyak 10,68 juta WP. Jadi bisa dibayangkan berapa juta warga yang sakit hati jika pajak yang dibayarkan hanya untuk menutupi kesulitan PLN akibat korupsi. Apalagi karena sebelum pajak mereka masuk kas negara, pajak mereka sudah diganyang terlebih dahulu oleh oknum-oknum Dirjen Pajak seperti yang dilakukan Gayus Tambunan cs. Haruskah masyarakat ramai-ramai melakukan istighosah, namun doa yang dipanjatkan untuk mengutuk pemerintah yang tidak bijaksana dalam menggelontorkan subsidi?

Ada baiknya pemerintah, juga DPR, mendorong PLN untuk lebih dapat memberdayakan diri dengan cara memupus mental korup dan menciptakan etos kerja yang membuat BUMN itu tumbuh menjadi perusahaan yang kredibel dan mandiri, dan tidak lagi bergantung pada subsidi. Sebagai perusahaan negara, PLN memang mengemban misi pelayanan kepada masyarakat, tapi tokh selama ini pelayanan yang diberikan masih jauh dari memuaskan. Masyarakat terus saja dibuat menjerit karena kenaikan TDL dan listrik yang byar pet. Apalagi sekarang ketahuan, sebelum pajak yang mereka bayarkan masuk kas negara, pajak mereka terlebih dulu diganyang orang-orang seperti Gayus Tambunan cs.

"Suara rakyat adalah suara Tuhan". Kita semua tahu itu. Maka jangan biarkan masyarakat dibuat terus menjerit. Apalagi karena masyarakat kita merupakan masyarakat yang mudah marah. Jangan sampai hanya karena TDL terus naik tapi listrik tetap saja byar pet, gardu-gardu atau kantor PLN dibakar massa, atau dibom. Bila hal itu terjadi, terlalu banyak cost yang harus dikeluarkan PLN dan pemerintah untuk memulihkan keadaan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun