Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Negara Anak Terlantar

2 Februari 2011   09:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:57 165 0

Menurut data tersebut, mereka yang disebut penyandang masalah kesejahteraan sosial anak adalah anak balita telantar, anak telantar, anak jalanan, dan anak nakal atau anak yang berhadapan dengan hukum. Artinya, angka itu sudah bisa membentuk satu negara lagi dalam negara ini, yaitu negara anak terlantar.

Ironisnya, ditengah keprihatinan ini, para angota dewan kita, yang mengaku sebagai wakil rakyat masih kekeh dengan keinginan membangun gedung DPR yang menelan biaya triliunan rupiah. Sepertinya niat para wakil kita di DPR untuk merenovasi gedung DPR tidak terbendung lagi. Seolah mata mereka telah buta, tidak lagi bisa melihat derita rakyat Indonesia. Demikian juga telinga mereka telah tuli, tidak lagi mendengar jeritan derita rakyat dan suara-suara yang menolak keinginan mereka yang kekanak-kanakan itu. Dan nurani merekapun ternyata telah tumpul oleh nafsu duniawi yang gila harta dan kekuasaan. Mereka telah gelap mata, tidak mampu membedakan lagi mana yang terbaik dilakukan untuk negara ini dan mana yang tidak harus dilakukan. Merekapun telah hilang daya akalnya yang diberikan Yang Kuasa untuk berpikir kritis dan mampu membuat prioritas dalam membuat keputusan. Banyak masukan dari rakyat, baik yang bernada santun mapun yang bernada kurang santun menanggapi ide DPR untuk merenovasi “gedung rakyat” yang masih kokoh itu. Namun, bagaikan suara dalam gua, suara-suara itu tidak didengarkan dan hanya menggema kembali kepada yang bersuara.

Belum lagi hilang rasa sakit hati kita sebagai rakyat mendengar bahwa rencanan pembagunan gedung DPR pasti akan terealisasi, sejumlah oknum di berbagai departemen pemerintah melakukan keserakahan dengan tindak korupsi. Mereka memenuhi pundi-pundi uang mereka dari uang yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat.

Alih-alih para penegak hukum menegakkan keadilan dan menyeret para pelaku korupsi ke meja pengadilan, mereka justru menjadi bagian di dalam “permainan” ini. Belakangan ini saban hari kita disuguhi dengan informasi tentang mafia hukum.  Geram, gregetan dan sakit hati ini mendegarnya.  Akhirnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah perlahan namun pasti semakin kecil.  Terlebih lagi ketika sang presiden curhat tentang gajinya yang tidak naik selama 7 tahun.

Kondisi inipun direspon pendidikan kita dengan merancang pendidikan berbasis karakter. Beramai-ramai lembaga pendidikan menyelenggarakan seminar tentang pendidikan karakter. Sungguh indah ketika para ahli pendidikan dan para pemegang kebijakan dalama pendidikan berbicara tentang pendidikan berbasis karakter ini. Namun, masihkah kita bisa percaya dengan sistem pendidikan kita yang suka gonta-ganti kurikulum ini? Sulit rasanya untuk percaya. Bagaimana kita harus percaya kepada pendidikan berbasis karakter ini  sedangkan para pemimpin saja tidak memiliki karakter kepedulian kepada sesama (humanity) dan karakter keadilan (justice).

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun