(1)
Sampai tahun 1964 Kampus Fakultas Ekonomi di Jalan Bojong, sungguh membanggakan --- pergi dan pulang kuliah bisa menyusuri pusat kota, ke tempat kerja lurus terus melalui Pasar Ya’ik, lantas Jalan Jurnatan --- tampaklah arsitektur peninggalan Jaman Belanda. Itu memang bagian kota Semarang yang men-sejarah.
Pergerakan Nasional, Pergerakan Buruh, dan juga Pergerakan Komunisme pun mempunyai episentrum di sekitar situ, dalam Sejarah. Yang mengesankan kalau mau pulang ke tempat kos cukup belok kanan melewati Jalan Gajahmada, kemudian masuk gang ke luar gang. Tiba di Seteran !
Potret kemiskinan ke arah mana jelas terlihat --- seputar Bojong, Pasar Ya’ik, Pekojan, Pecinan, Depok, Pelampitan, Pegambiran …………… kemiskinan dan kematian para gelandangan sering ditemukan
Gelandangan mati sering di temukan --- terutama di sekitar pembuangan dan penimbunan sampah pasar. Sering ketemu mayat dari Rakyat yang mati kelaparan.
Berkali-kali di Jembatan Berok, dekat Kantor Pos Kantor Perbendaharaan Negara dan Kantor Imigrasi. Rakyat miskin kota (?) mati dikrubuti lalat ijo.
Dulu, tahun 1960-an awal …………….. sering ditemukan Rakyat Kere mengungsi dari desa-desa di sekitar Semarang, bahkan dari Pantai Selatan Jawa Tengah, DI Yogyakarta ……………………… Itu dulu.
(2)
Di Ruang kuliah di Bojong dapat kuliah --- belajar di emper toko (setelah toko tutup), kalau malam. Belajar Ekonomi Pembangunan, seminar di ruang yang baru di Kampus Pleburan. Banyak belajar teori untuk mencapai kemkmuran dan kepuasan ekonomis.
Yang disaksikan kemiskinan yang memedihkan.
Ke desa-desa mengutip Ipeda (Iuran Pembangunan Daerah) --- menyaksikan ketidak adilan Daerah Pedesaan dan Perkotaan --- tingkat produktivitas yang timpang, Rakyat miskin di desa menyumbang produksinya buat kota yang menguasai --- wewenang dan alat produktif yang lebih kuat.
Alangkah parah rasa keadilan --- bila Iuran dan Pajak justru ditelan oleh Tikus-tikus Aparat Negara. Bukan melaksanakan pemungutan dengan azas keadilan --- dikembalikan kepada rakyat dengan prinsip keadilan pula.
(3)
Di Kampus paling ngeri dalam dua hal --- pacaran “Ngajak kere’ dan “ Masa Depan Suram”. Tahun-tahun Pelita (Pembangunan Lima Tahun Pemerintahan Orde Baru) memberikan arah --- lead star.
Kemakmuran dan Harapan --- tahun-tahun yang penuh kepeloporan, jelas ke mana Negara dan Rakyat harus mengarah.
Sayang cita – rasa- nurani tidak menyentuh Keadilan Sosial (Pancasila).
(4)
Adagium “ngajak kere” memberikan beberapa pasangan selebriti kampus yang menikah buru-buru --- benar-benar gambaran suram tentang hari depan perkawinan.
Bebarapa mahasiswa brilijen memasuki arus Kemakmuran --- menjadi Sarjana dan bekerja di Pertumbuhan Perekonomian Orde Baru.
Mahasiswi cerdik banyak yang ‘drop-out’, menikah dengan senior yang prospektif.
Pasangan yang menjalani masa depan suram --- menjadi guru-guru di SMEA dan SMA di kota-kota seputar Semarang --- bahkan banyak yang menjadi pedagang kaki lima di pinggir jalan kota.
Seleksi alam berlangsung --- banyak mahasiswa yang drop out, terseok-seok, bahkan ada yang kehilangan arah kehidupan.
Tetapi ternyata --- basis ekonomi yang menunjang tidak selamanya menentukan “kesuksesan” studi di Kampus masa itu --- tetapi “Attitude toward ………..” yang harus mengarahkan anak-anak muda itu.
Sampai kini pun --- tidak ada jaminan “Hidup Sukses itu hanya melalui Pendidikan Tinggi”, terbukti “ Attitude yang ditemukan dalam perjalanan hidup lebih menentukan”.
(5)
Adagium “ngajak kere” banyak dijadikan oleh para mahasiswa yang cerdik --- menjadi hanya tese, dengan antitese --- “bersaing untuk menang”.
Sintesenya --- melengkapi hidup dengan Kecerdasan Pengetahuan dan Ketrampilan, yang menjadi basis produktivitas dan daya saing.
(6)
Mungkin di Kampus-kampus masa kini, tidak ada lagi adagium yang mengolok-olok “Ngajak KERE” --- tetapi waspadalah sisi budaya Bangsa ini, adalah retrogresif --- “ngajak kere”, Budaya Korupsi yang dipragakan kinerja Pemerintahan, Birokrasi dan Aparat --- nyata sekali “Ngajak Kere” pada hakekatnya.
Nyatakan “Iya, Waspadalah !”
[MWA] (Cermin Haiku -68)