(1)
Di umurnya yang ke 76 ini tidak ada sama sekali bekas kecantikannya --- apalagi kecerdasannya. Ukuran kecerdasan apapun sudah tidak berguna baginya.
Ia hanya menyadari bahwa sinar dan cahaya yang lebih terang --- cukup baginya ……………. Bahwa ia sadar, ia masih bernyawa.
Ia duduk di bawah bayang-bayang pohon rambutan dan tembok rumah orang di Gang sempit di Jakarta Pusat --- dulunya ia tinggal di Rumah Susun Tanah Abang. Dari jendela rumah susun yang dihuninya di Lantai III, ia sering menghibur diri dengan mengintip keriuhan Pasar Tanah Abang.
Keriuhan itu sering melalaikan kesepian hati dan hidupnya.
Telah 21 tahun ia pensiun dari gemerlap karier dan kebuntuan paradigma --- ada satu lagi, kesombongan terhadap lelaki dan adat lembaga di Kampung Halamannya. Yang pernah mengulurkan kesempatan untuk menyempurnakan hidupnya.
Nikah dan mempunyai pasangan hidup.Ia tolak dan sepelekan kesempatan itu ……………. “Itu tidak menjawab kebutuhanku” kata hatinya.
(2)
Ia memulai karier di perusahaan tambang itu setammatnya dari Fakultas Ekonomi di Jawa Timur --- mereka diterima sebagai calon pegawai, ada 5 gadis-gadis cantik --- 2 dari fakultas ekonomi, 1 dari psikologi, 2 lainnya Sarjana Hukum.
Banyak isu seputar rekruitmen ke-5 gadis itu, terutama Nawangsih penyanyi kampus yang juga telah malang melintang di band perusahaan itu. Nawangsih memang segera lancar kariernya --- konon ia kekasih Kepala Bagian Personalia, di mana di sana pula ia bekerja, di Sub-Bagian Pendidikan dan Pelatihan.
Ranum malah tidak lama setelah diangkat menjadi pegawai, malah keluar --- lantas menjadi istri Kepala Bagian Teknik.
Tampak sombong penampilannya --- apalagi dia menyebar berita keberuntungannya menikahi Ir. Bono. Mereka sering ke Las Vegas, untuk berjudi.
Paling tidak ke Genting Highlands di Malaysia.
Memang enak pasangan Bono dan Ranum --- untuk berjudi mereka tidak perlu membawa modal, perjalanan mereka pun ditanggung all-in oleh para kontraktor.
“Menang enggak menang --- gue pulang pasti menang !” begitu sesumbar si Ir. Bono bercerita pada teman sejawatnya dalam berbagai kesempatan.
(3)
Dari batch rekruitmen tahun 1975 itu, setelah Ranum menikah tinggal 4 gadis yang masih bekerja --- selain Nawangsih yang menjadi kekasih gelap Pak Tryman, Kepala Bagian Personalia --- sahabat Nawangsih, si Jeane mengalami musibah --- konon ia diperkosa oleh teman sejawatnya sewaktu menjalani program pelatihan di Megamendung.
Kisah itu hanya timbul tenggelam dalam perjalanan waktu.Karier Jeane tetap melaju. Di Fungsi Keuangan ia telah menjadi tergolong Pegawai Senior pada umur 45-an.
Ia bersaing ketat dengan Marny, yang perjalanan kariernya berzigzag --- akhirnya Marny dapat menjadi Sekretaris Direktur. Dari segi jabatan dan pangkat Marny tetap lebih unggul dari Jeane.
Sampai sepanjang masa karier mereka sering menjadi pergunjingan --- karena tidak berhasil memasuki jenjang perkawinan. Untuk Jeane ada yang menghubung-hubungkan dengan skandal “ia pernah diperkosa” --- atau malah terperosok ke dalam jebakan kehidupan.
Bagaimana dengan Marny ? tidak pernah terdengar mempunyai skandal --- paling-paling putus cinta atau spekulasi orang, “gagal bercinta”.
Marnylah wanita tua yang ditemui di bawah pohon tadi …………………
(4)
Dulunya, Marny menjadi wanita matang secara managerial --- kariernya terus menanjak,pengaruhnya melebar ke dalam secara internal, maupun kepada orang-orang luar yang berkepentingan dengan urusan masing-masing.
Ketika ia pensiun --- ia membawa prabot sekamar kerjanya komplit. Walaupun ia cukup kaya memasuki masa pensiun --- ia tetap membujang sepanjang sisa masa hidupnya. Secara sosial ia makin mundur --- secara ekonomi pun ia berangsur-angsur mundur melemah.
Begitulah, jalan nasibnya.
Macam-macam investasi yang ditanamnya tidak berbuah langgeng --- hanya menunda kebangkrutan. Ia gamang untuk berusaha mandiri, karena memang ia tidak mempunyai relasi untuk hidup yang antisipatif.
Ketika ia berumur 70 tahunan, semua kenangan --- dari perabot kamar kerjanya, barang koleksinya, lencana penghargaan masa kerjanya --- telah habis terjual. Uang pensiunannya tidak cukup untuk memburu kebutuhan sehari-harinya.
Marny tidak menyesal tidak sempat berkeluarga --- ia juga telah menghilangkan jejaknya dengan kampung halamannya. Terutama setelah ia, pada sekitar umur 60-an, tidak menerima desakan sisa-sisa keluarganya untuk menikahi seorang duda.
“Tidak, saya telah tenang dengan cara hidup yang saya pilih --- terimakasih”.
“Tiada beban batu digalas !, katanya.Masih ada kesombongan pada nada jawabannya, mensirnakan maksud baik para krabatnya.
(5)
Miliknya yang tersisa, saat ini sebuah kamar dengan satu titik lampu, dapur dan kamar mandi kecil, satu spring bed yang kusam dan satu-satunya kursi beroda --- yang dulu digunakan oleh typistnya.
Itulah harta andalannya, sebuah kursi beroda yang menuntun geraknya dari rumah Liliputnya, menyusuri gang dengan terseok-seok, ke luar untuk melihat batasan dunia yang lebih luas.
Kursi itu sudah kusam dan bobrok --- untung roda-rodanya masih bisa menyangga tubuh dan mengikuti kemudi perempuan tua yang lemah itu --- dan terkadang vertigo pula ia.
[MWA] (Cermin Haiku -59)