(1)
Sejak tengah hari Tunting telah mempersiapkan diri untuk mengikuti prosesi mandi kembang diasapi setanggi --- mBok Atun tersenyum bersyukur bahwa cucunya bakal mendapat jodoh yang setimpal dengan doanya --- doa para nenek moyang Buyut Canggah Arum Purnami.
“Biarlah menjadi Selir, tetapi anak-cucu harus ada yang menjadi Pangeran !”
“Ningrat Jawa sudah bangkrut, kultuur stelsel telah dihapus --- walaupun rakyat dan desa tanah Jawa masih dicekik dengan hari kerja dan pembayaran upeti serta paron, tetapi jumlah hari kerja paksaan telah jauh berkurang. Kaum Ningrat telah tidak banyak kesempatan untuk menghisap rakyat, Pemerintah Hindia Belanda mulai menerapkan politik liberal “, pikir mBok Atun gemas.
Kini terkadang malah mBok Atun yang mendapat ilmu dari Tunting Wulandari; Tunting menceritakan ulang apa yang dibacanya dari buku-buku berbahasa Belanda atau Jerman, pemberian Jenderal Elberg atau para Pastor dan Suster di Susteran Ambarawa.
“mBok, kesuburan Tanah Jawa tidak bisa memakmurkan Rakyat Jelata selama kaum Ningrat tidak menyintai kawula alit, Ningrat pun hanya turut menghisap keringat kawulanya --- membiayai kemakmuran dan keserakahan bagi kenikmatan duniawi. Rakyat hanya jadi tenaga kerja perahan --- badannya hanya jadi kuda beban dan prajurit pancen --- para bekel, demang, pengarah dan manggala adalah kaki tangan yang turut menggiring kawula menjadi manusia tidak mempunyai jati-diri, pekerja tanah patuh milik kaum Ningrat --- menjadi semacam budak atau koeli-kontrak ke Tanah Seberang”, ceramah Tunting pada mBok Atun.
“mBok, aku membaca banyak tentang perkebunan, tanah pertanian, buruh tani, koeli-kontrak, pabrik di Eropah, dan kemakmuran yang dihisap Kapitalis di saentero Nusantara --- kemakmuran kawula hanya bisa dicapai bila mereka telah menguasai Kemerdekaan.Kawula harus menjadi Manusia Merdeka --- kawula harus berdaulat, mbokne !”
(2)
Tunting Wulandari tampil percaya diri, dia memberi hormat kalangan Orang Eropah yang menghadiri pesta dansa di Kapal Citadel van Antwerpen --- para undangan terkesima menyaksikan perempuan Jawa yang anggun, penuh penguasaan etiket Belanda dan Eropah --- mereka berdecak ketika Jenderal Elberg memperkenalkan Tunting dan Kolonel Rudolfo Moravia.
Rudolfo Moravia dengan bangga memberi penghormatan …………. Dan Tunting Wulandari menekuk lututnya dan merapatkan sungkemnya.
Perempuan-perempuan Belanda saling berbisik menyaksikan perempuan muda Jawa bisa begitu sopan-santun mendampingi perwira militer Hindia Belanda.
Berkali-kali Jenderal Elberg membawa Tunting melantai --- menyiapkan penampilan gadis itu. Begitu pula Rudolfo sangat bangga dengan penampilan perempuan muda yang baru saja diperkenalkan Sang Jenderal. Berkali-kali mereka berdansa dengan mesra dan rapat.
Rudolfo bangga dan takjub dengan kecantikan gadis-perawan dalam pelukannya --- tak disangka, sang perawan pun ternyata bergelora merasakan pelukan dan deburan dada Sang Kolonel.
Bau gadis timur itu sangat menggoda nafsunya ……………. Tetapi ia teringat juga pada kekasihnya Karsiyem, yang kini sedang mengandung anak pertamanya. Di anjungan ia bisikan bahwa ia mengagumi kecantikan dan kecerdasan Tunting.
Tunting menolak ketika akan diundang di kabin Rudolfo, “Tuan, saya masih perawan --- tuan harus datang meminta pada Kanjeng Adipati Branjangan, saya bersedia mengabdi pada Tuan, saya siap akan dibawa ke mana pun ……………… Tuan, saya berterimakasih pada tuan …………. Tuan menghargai saya, saya ingin tuan menjaga martabat saya ………………….. saya perempuan Jawa yang papa, tetapi telah mendapat pendidikan yang cukup dari Jenderal Elberg dan para pastor serta suster …………….. Jenderal Elberg menghargai saya, Jenderal menghargai tuanku …………….. saya masih perawan. Saya akan menyerahkan jiwa-raga saya pada tuanku”.
Rudolfo hanya menciumi jemari dan kening Tunting Wulandari.Ia menghormati gadis-perawan ini, ia teringat pada perempuan Jawa kekasihnya. Ia harus menuntaskan kewajiban yang telah diniatkannya.
Menjamin kehidupan Karsiyem dan anak mereka.
(3)
Karsiyem dijeput dan diantarkan ke Tangsi satuan kontingen Legiun Afrika yang sedang berlatih di Purworejo --- tampak kehamilannya sudah menonjol. Rudolfo senang berjumpa kembali dengan kekasihnya itu.
“Karsiyem, aku senang bertemu kamu --- mungkin untuk kali terakhir ……………”
“Tuan ……………”, terbelalak mata Karsiyem ia berjongkok memeluk lutut kekasihnya itu, Rudolfo mengangkat tubuh Karsiyem --- dan memeluknya.
“Aku akan pergi berperang ke Aceh --- aku sudah mengalami berperang puluhan kali, aku telah selamat dari ratusan pertempuran --- tetapi perang di Aceh yang aku hadapi nanti, mungkin bisa menewaskan aku --- aku menitipkan bayi …………. Anakku padamu. Dialah satu-satunya anakku sampai kini ……………….. beri ia nama Saladin, nama panglima Tentara Muslim yang hebat dalam Perang Salib. Aku titipkan pendidikannya padamu --- didiklah ia secara Muslim …………………. Karsiyem, kamu tahu bahwa aku selalu menyaksikan kamu menyahuti adzan --- aku pun kini selalu mendengarkan suara adzan dengan takzim…………………”
…………………………………………..
“Karsiyem, aku telah diperkenalkan dengan Glondong Gumiwang --- nanti ada ajudan yang akan menyertaimu untuk melihat kebon kopi yang telah bisa dipanen --- itu aku belikan untuk biaya kehidupanmu dengan anak kita ………………..”
Karsiyem melanjutkan tangisnya, terharu --- ia tidak dapat mengerti bahwa Rudolfo jadi juga untuk berperang ke Aceh. Dialah yang menyebabkan Rudolfo kembali ‘teken soldadu’ , untuk menebus harga kemerdekaan Karsiyem.
Ia merasakan tangan Rudolfo mengelus perutnya --- rahimnya bergolak, seperti sang janin mengerti ayah biologisnya menyentuh dinding lambung ibunya --- getaran nadi Rudolfo seperti dirasakan janin Karsiyem.
Rudolfo membuang wajahnya menembus jendela besar kantor Legiunnya ………….. ia terkenang pada gadis-perawan Jawa, calon piaraannya, yang akan dibawanya ke Perkebunan Sinembah, setelah pemberontak Aceh ditaklukkan Legiun Afrika --- pimpinannya.
“Karsiyem, apakah kamu akan tidur di Mess malam ini ?”, Karsiyem meramas kedua sisi pinggang Rudolfo yang dipeluknya.
“Tuan, saya abdi tuan ingin menghibur tuan malam ini ............................................................................................
--- ingatkah tuan cara tuan memperlakukan saya, dan saya memperlakukan tuan. Saya akan mengulangi cara saya yang tuan gemari …………………. Terimakasih tuan “.
[MWA] (Damar Kurung Nyai Moravia; novel bersambung ke #03/22)