Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Pesantren Bening-ku --- “Al M”-iah (05/01)

21 April 2012   15:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:18 580 1

 

(1)

Aku bernama Jaziroh --- belakangan seseorang memberikan  arti, nama yang berasal dari bahasa Arab itu. Aku bahagia,  kebahagiaan itu berasal dari sanubariku. Aku kagum pada lelaki itu, ustadz yang mengajar bahasa Inggris , dalam berbagai hal ia melebihi bapakku. Walaupun nampaknya usia mereka harusnya sepantaran.

 

Bapakku lelaki miskin --- seingatku kami tidak pernah berkecukupan. Maka kami sekeluarga termasuk keluarga  miskin . Tetapi satu hal, tidak pernah terlintas di benak bapak dan mimi agar kami menjadi pengemis --- seperti sebagian masyarakat di lingkungan kami.

 

Bahkan menjadi pengamen pun tidak diijinkan bapak. “Awas jangan sekali-kali turut-turutan mengamen ke Kopo --- kamu akan diperkosa para brandalan itu. Kamu akan ternoda, tiada berharga” , itu kata-kata bapak untuk pekerjaan  orang miskin itu.

 

Dulu ketika kami masih tinggal  di dekat Jomin --- mimi bekerja sambilan mencuci, upah mimi menjadi andalan biaya makan kami.

 

Kemudian kami pindah lebih ke arah Cikalong, karena bapak bekerja sebagai kuli perbaikan jalan. Dan di sana sewa rumah gubug masih lebih murah. Kami dalam lingkungan masyarakat kuli dan buruh tani .

 

Mimi terkadang menjadi pembantu masak di restoran.  Kami senang sekali terkadang mimi membawakan nasi atau masakan yang hampir basi.

 

Suatu saat mimi minta ijin untuk menambah penghasilan sebagai tukang pijat ---  bapak tidak mengijinkan. “Kamu akan nyambi sebagai pelacur nantinya,  lelaki yang  bertelanjang   badan yang kamu pijat itu, pasti akan meraba-raba kamu, untuk meminta lebih --- maka kamu akan beralih menjadi pelacur --- apakah itu pekerjaan yang ingin kamu lakukan ?”

“Kamu tidak muda lagi, engkau tidak mendapat apa-apa, kita akan tetap kekurangan dan miskin !”.

“Kalau mau menjadi pelacur harus wanita muda agar mendapat kelebihan pembayaran”.

Itu beberapa kalimat yang masih kuingat dalam pembicaraan mimi dan bapak.

(2)

Tammat SD umurku hampir 12, aku telah mendapatkan haid bulananku, walau pun belum teratur – mimi mengatakan aku harus berhati-hati, berhubungan dengan lelaki, karena aku sekarang bisa hamil, bunting, mengandung janin. Aku harus berhati-hati.

 

Suatu saat terjadi pertengkaran bapak dan mimi --- bapak akan memperkerjakan aku di restoran Mang Abud, rumah makan tempat mangkal truk-truk jarak jauh. Mimi menentang.

“Iroh akan disantap supir-supir itu bapak --- sia-sia kita membesarkannya, paling-paling gajinya Rp. 100 ribu sebulan. Untuk apa uang sebegitu ?”

 

 Aku sudah mengerti bahwa, gadis yang diperkosa bisa hamil, bunting, atau mengandung.   .

Memang begitu banyak anak-anak pengamen gadis kecil diperkosa anak-anak lelaki di hutan jati, di semak-semak  belukar apabila masih berkeliaran sampai malam. Mula-mula diperkosa, lama-lama mau sama mau.

(3)

Bapak menyerah, untuk mengurangi beban, aku dititipkan di Pesantren “Al M”-iah --- di sana aku tidak membayar apa-apa pun, membawa beras pun tidak, bahkan pada tahun-tahun awal bapak sekali pun tidak pernah mengunjungi. Aku pun Hari Raya tidak pernah pulang ke Cikalong.

 

Kyai sangat baik pada kami para santri --- Kyai dan Nyai tidak mengajar kami, ia hanya sekali-kali datang ke pesanren putri. Ia melakukan sidak.

Makan dan kebutuhan kami semuanya disediakan Kyai dan Nyai.

Setelah kami di kelas II Tsanawiyah, di jam-jam kosong dan hari libur kami boleh mengambil upahan menjahit sarung atau kelambu --- sejak itulah bapak selalu datang mengambil uang tabunganku.

Kehidupan desa dan Pesantren kami sangat tentram, penuh kasih sayang terhadap sesama penduduk --- memang ada beberapa keluarga yang menonjol kekayaannya, tetapi sebahagian besar miskin dan kekurangan --- kekurangan mereka itulah yang menjadi perhatian Kyai.

Tiga tahun aku menjadi santri dan anggota masyarakat peguyuban di sana, akur, sepertinya kemiskinan dan kemakmuran di antara sesama bisa saling mengisi. Sebagai santri pun aku dapat merasakan dan, seolah-olah setiap orang mengatahui isi pedaringan  masing-masing keluarga.Tolong menolong.

 

 (4)

Aku sudah mengira dan mengharapkan  akan mendapat jodoh yang diatur Kyai --- memang aku juga   sudah ingin berkeluarga dan memulai usaha kecil, yang dibantu Kyai.    Itu yang menjadi mimpiku.

Aku  menamatkan tsanawiyah --- sementara menanti  jodoh aku akan meneruskan ke  Aliyah.

 

Aku mempunyai sedikit tabungan, apabila bapak datang aku ingin turut pulang ke Cikalong --- aku kangen mimi dan kedua adikku.

 

Di rumah bapak dan mimi telah mengabarkan bahwa mereka akan mengawinkan aku dengan lelaki kaya di Jalur Pantura. Pakaji Maliki.

Aku sedih tetapi dapat menerima alasan  bapak, “Pakaji Maliki orang kaya yang sosial, ia memang hanya mengambil isteri baru, gadis muda yang masih perawan ---  sebagai orang kaya ia pantas berlaku demikian, seperti raja-raja dan ningrat jaman dulu. Gadis perawan sebagai obat awet enom kata orang-orang kaya itu”

Sejak tsanawiyah kelas I kami diberi hadiah ustadz bahasa Inggris  agar mempunyai diary ---- percakapan dengan kedua orang tuaku kucatat dalam buku harianku :

“Cikalong Wetan, 17 Juni 2007 …………….. aku mengerti alasan bapak dan mimi, menerima kesempatan mengawinkan aku dengan Pakaji Maliki --- bapak dan mimi mendapat mas kawin Rp. 15 juta. Untuk modal  bapak berdagang bambu, bata dan genteng. Itulah baktiku …………………. Aku tidak perduli setua apa Kaji Maliki, yang penting bagi desa kami lebih baik menjadi janda muda, dari pada menjadi perawan tua.”

“Aku tertegun --- biasanya aku menutup catatan harian itu dengan kata-kata (Pesantren Bening) --- kamilah para santri putri yang memberi gelar itu, karena air di desa kami terkenal bening ---  hati dan kehidupan kami di sana ………… bening penuh kesucian ………………….).

(5)

Tanpa terasa masa dan kenangan hidup di Pesantren Bening telah kutinggalkan 5 tahun --- kini aku bangga menjadi janda muda.  Aku telah mejalani kehidupanku bersama Pakaji Maliki selama 8 bulan --- tetapi aku tidak berhasil hamil, untuk itu menjadi alasan suamiku,  untuk mendapatkan obat baru, untuk keperkasaan kejantanannya.

 

Banyak pengalaman dan ajaran kehidupan yang kudapat dari perkawinan dengan Pakaji Maliki, sebagai kenangan, terutama hidup berumah tangga sebagai istri muda dan istri simpanan, dan satu lagi, menikmati nafsu syahwat  yang tidak pernah kukhayalkan sebelumnya.

 

Suamiku mengajarkan cara untuk mencapai kenikmatan yang luar biasa.  Sorga Dunia katanya.

 

 Ternyata memang  ia memberikan pengajaran  yang berguna dalam tahun-tahun kehidupanku berikutnya.  

 

Masa perkawinan yang asyik dengan Pakaji Maliki masih kukaitkan dengan masa remajaku di Pesantren Bening. Masa remaja yang menjelma menjadi kenyataan. Aku sangat berbahagia.

(6)

Kini aku janda muda 20 tahunan,  aku memasuki era “Orang ketiga sebagai Jaziroh” --- Iroh dengan pengalamannya di Pesantren Merah. Hidup sebagai janda muda yang memasuki dunia yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Di Pesantren Merah kehidupan seksuil itu menjadi satu dengan kehidupan itu sendiri. Berkelindan seperti dalam satu adonan dengan pusat cita rasanyanya --- seks.

Jaziroh terlibat dalam industri seks --- dia dengan teman-temannya dalam perjalanan hidup yang tersesat --- tetapi untungnya, di sana ada seorang perempuan muda keturunan Mualim Sujana, bernama Opah Makrufah menjadi guru rohani mereka --- untuk mencari jalan keluar, yang ternyata menghantarkan mereka ke Pesantren Jingga.

 

[MWA] (Pesantren Merah dan Pesantren Jingga; novel bersambung ke 05/02)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun