Sisa kecantikan di wajahnya masih ada --- hanya dulu tubuhnya tinggi semampai, kini tampak bungkuk dan mengecil.
Suaminya juga masih tampak beroman ke-arab-araban --- mereka menikah setelah keduanya pensiun, jaman orde baru PNS tidak berani ber-isteri syah lebih dari satu,
Tidak terasa perkawinan mereka telah menginjak tahun kedua puluh --- yang suami berumur 78 tahun, isterinya 76 tahun.
Boleh dikatakan si lelaki itu --- tidak beruntung masa akhir hidupnya; ia menikahi perempuan itu setelah ia digugat cerai isterinya, karena percecokan panjang --- berselingkuh, dan tidak produktif.
Tiap hari ia diomeli bininya, dan tidak dihargai anak-anaknya, seperti anak-anak durhaka --- dia tidak tahan --- isterinya memenangkan gugatan cerai. Ia harus pergi dari rumahnya --- hanya dengan koper pakaian saja.
Itu syarat dari anak-anaknya.
Tahun 1992 mereka menikah sepertinya akan bergelimang madu --- karena wanita itu terkenal, wanita karier yang sukses dan kaya. Mat Awad turut hidup senang --- sepertinya berbahagia.
Dulu selagi fisiknya masih kuat, di komplek perumahan itu, Mat Awad menjadi aktivis sosial macam-macam kepentingan umat --- dari mengawasi kebersihan Mesjid sampai mengurus pemakaman jenazah.
Kini ia berjalan tertatih-tatih --- untuk pergi sholat Subuh berjemaah pun sudah jarang, perlu ada yang menuntun.
Istrinya Zus Nining pun sudah jarang ke Pengajian --- karena ia tidak kuat berlama-lama duduk bersila. Bahkan ia lebih banyak sholat dengan duduk bersandar di tempat tidurnya.
Mungkin sudah 2 tahun ini mereka tidur terpisah --- Zus Nining di kamar utama sejak semula rumah itu ditempatinya. Mat Awad di seberangnya, luas kamar sama, seperti kamar kembar. Kedua kamar itu mempunyai pintu geser yang lebar, ke arah taman belakang.
Setelah pembantu perempuan menyemprot anti nyamuk di taman --- kedua pintu kamar-kamar itu dibuka lebar.
Belakangan ini banyak hal-hal yang kecil membuat pertengkaran di antara suami-istri itu --- bertahun-tahun Mat Awad selalu mengalah, memang kehidupan nyamannya sejak awal dibiayai oleh istrinya --- sampai sekarang pun rumah tangga itu dibiayai dengan penjualan satu per satu harta Zus Nining.
Sudah dua pekan lebih mereka tidak ada komunikasi --- masing-masing mengaji di kamarnya, makan pun demikian.Mat Awad makan selalu disulangkan pembantu. Karena tangan kanannya jemarinya kaku menyakitkan. Tidak bisa memegang sendok.
Puncak pertengkaran kedua suami isteri itu bermula, usul Mat Awad agar mobil MPV itu dijual saja. Zus Ning tidak mau dan naik pitam bila hal itu diungkit --- dua tahun yang lalu mobil di rumah itu ada 2, kemudian dijual menjadi mobil baru 1 unit.
Pagi bila matahari Februari memancar, pasti bayang-bayang pohon rambutan Brahrang Medan itu menaungi pojok beranda depan --- itulah saat Zus Ning merasa bahagia, Pembantunya mendorong kursi rodanya ke titik itu.Ia merasa kebahagiaan luar biasa --- ia selalu mengumpamakan kebun depan rumahnya --- yang berisi pohon rambutan dan bunga-bunga kesayangannya --- sebagai piala kehidupan yang diraihnya dalam hidup.
Ia puas dan merasa sangat berbahagia --- menikmati hangatnya matahari, menghirup oksigen sepuasnya, dan mendengarkan bunyi halus suara mesin mobil, yang dipanaskan Satpam lingkungan.
Tiap hari begitu --- Mat Awad mendongkol dan menyerah. Asap dan bau pembakaran knalpot mobil itu masuk ke kamarnya. Ia protes tidak boleh membuka pintu lebar kamarnya --- karena, usulnya agar knalpot mobil mengarah ke taman luar, pun tidak diperkenankan Zus Ning.
Memang dari jaman mudanya arah depan mobil ditetapkan Zus Ning ke luar pintu garasi --- karena ia memang pernah membawahi Fire & Safety Department di Perusahaan tempat ia bekerja.
Di saat Zus Ning menikmati kehidupannya --- Mat Awad menyesali Akhir kehidupannya dengan merana.
[MWA] (Cermin Haiku -22)