Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Buah Cinta dari Parangkusumo --- Gundah yang Ditebas. (Novel)

16 Januari 2012   07:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:50 8 0

Memang ruang tambahan di atas samping timur rumah mereka --- cukup melegakan. Dari sana bisa mata melepas pandang ke arah timur, di sana ada beberapa Tower Apartemen --- tempat Orang-orang kaya bertempat tinggal atau pun melakukan investasi, menernakkan uang mereka. Rakyat menumpang mengagumi khayalan kemajuan Jakarta.

Ruang tambahan ini cukup luas, tempat tinggal dan tidur para pembantu lelaki --- bisa memuat 3 orang, saat ini hanya dihuni Bambang, dia sedang keluar. Apa bila tidak ada anak-anak lelaki di sana, Mila senang berada di situ, di siang hari udara bebas berhembus dari berbagai jurusan di sela-sela bubungan rumah penduduk Jakarta, rapat dan berdempet-dempetan.

 

Apabila tidak ada pembantu tidur di situ, Mila lebih senang tidur di ruang atas itu, adem dan ia bisa berkhayal mengembangkan impiannya. Saat ini Jakarta menjelang senja, langit mendung --- kalau tidak jadi hujan, langit Jakarta akan tampak biru gelap --- indah sekali lampu-lampu dari tower dan gedung-gedung tinggi di sana. Di sela-selanya akan ada bintang gemintang. Kalau tidak membaca buku pinjaman, Mila bisa membaca apa saja.  Kalau tidak, ia akan mengkhayalkan kehidupan yang lebih baik.

 

Suasana hati Mila sumpek --- apa lagi di kamarnya di bawah itu. Ada 4 kamar di lantai bawah. Di kamar itu ia dengan kakaknya, Ratna, kini berumur 32 tahun --- tugasnya memasak, persiapan masak dilakukan siang  hingga sore. Lantas Ratna berhak istirahat dan tidur, jam 4 pagi ia memulai memasak berbagai menu, untuk dijual di warung mereka di pasar. Sejak kecil rutinitas itu tidak berubah. Tugas Mila melayani pembeli di warung. Mulai jam 6 hingga jam 4 sore.

 

Mila saat ini berumur menjelang 30, ia bosan menjalani hidup seperti itu --- tetapi mereka tidak akan dapat hidup dan makan, tanpa menggeliuti cara penghidupan yang telah dihayati orang tuanya, Marah Hassan.  Ibu kandungnya telah meninggal dunia ketika ia berumur 7 tahun. Mila mengepit gulingnya di antara kedua pahanya --- terasa sejuk, tetapi nyaman merambati pangkal pahanya. Ia menikmati spring bed single yang baru dibelinya, dari hasil menabung. Ia terkenang sisa tabungannya di BRI dan Bank Syariah, total Rp. 8 juta-an.

 

Mila belum mendengar Bambang pulang dan mendengar langkah orang di atas --- ayah dan ibu tirinya pasti mengomel panjang lebar bila ia berada di atas, sementara pembantu lelaki juga ada di ruang atas itu. Ia ingin mendengarkan lagu dari HP-nya, menyandar dan berkhayal sambil berselonjoran sampai mengantuk. Atau ia harus turun bila saat Bambang nanti pulang.

 

Di atas terasa sejuk, sumilir angin berhembus menyegarkan. Ia teringat perjalanan suatu Minggu sore sampai malam jam 10 baru sampai di rumah --- ia berboncengan dengan Rudi tetangganya. Ia diijinkan pergi ke Tangerang untuk meninjau tetangganya yang baru pindah, bertetangga yang telah bertahun-tahun,   sudah seperti saudara sendiri. Dalam perjalanan dengan motor itu, tiga kali mereka berhujan-hujan basah kuyup. Perjalanan itu sungguh mengasyikkan. Memang Rudi terkadang melakukan tindakan kurang ajar.

 

Mila tersenyum mengenang Rudi sempat memeluknya dari belakang, sementara ia masih di boncengan sepeda motor --- mereka berteduh di bawah jembatan layang.  Rudi meremas buah dadanya, dan mengambil kesempatan  meremas pangkal paha dan selangkangannya. Ia sempat merasakan pancaran yang nikmat. Beruntung kemudian orang tambah ramai berteduh. Dan Rudi adalah suami orang, ia tidak mungkin melayaninya lebih lanjut.

 

Tahun yang lalu di langit timur itu, saat malam tahun baru 2011, wadhuh indah dan meriah ---- hampir di segala jurusan konon ada kembang api muncrat membinar. Dari anjungan rumah tambal sulam itu ia memandang warna-warni yang ditembakkan muncrat menyebar, meletup membinar warna biru yang menyilaukan, lantas warna merah dengan bentuk-bentuk asap mempesona. Terang benderang. Waktu itu Mila tidak diijinkan bermalam tahun baru --- dan dengan siapa pula ia akan pergi ?

 

Tahun 2010 ia pernah meninggalkan rumah karena bertengkar dengan ayahnya --- ia bekerja di Ciputat, di restoran Orang Minang. Ia dipujuk pulang. Ia pulang untuk membantu kembali warung nasi ayahnya. Ia tidak mengerti belakangan ini memuncak kegelisahannya. Ia selalu kesal. Ia heran mengapa kakaknya, Ratna, biasa-biasa saja --- kerja di dapur, tidur, kerja di dapur, tidur. Orang-orang mengatakan ia frigid.

 

Suara Bambang pulang dan terdengar tapaknya menaiki tangga.

 

“Dari mana kamu ‘Mbang ?”

“Mesjid Mbak”.

 

Mila melewati kamar adik-adik gadisnya --- Miranda dan Mirinda, adik se-ibu  Mereka belum pulang.  Ratna masih di dapur, ia belum mandi dan istirahat --- di dapur ia dibantu tetangga yang turut bekerja pada mereka.

 

Yang selalu menjadi masalah berkepanjangan adalah susahnya mencari anak lelaki untuk tugas meladeni langganan.  Mereka harus dibantu paling tidak 2 orang pembantu lelaki lagi --- tiga orang baru pekerjaan lancar. Tugas mereka untuk mengantar pesanan makanan ke kios-kios di pasar.

 

Mila tersenyum bahwa dengan alasan tambahan --- sambil untuk mencari pembantu, setelah bertengkar-tengkar --- ia diijinkan libur akhir tahun ke desa ibu tirinya. Ia ingin menikmati petualangan di Yogyakarta dan Surakarta. Parangtritis juga dekat dengan desa ibu tirinya. Itu yang membuat ia tersenyum ………………… “siapa tahu aku menemukan kegembiraan, seperti tahun 2008, beli ini itu di Yogya, beli baju kaos dan daster batik --- makan-makan.  Sayang Elfa yang dulu kawan seperjalanan, kini telah menikah ………………..” bisik hatinya.

[MWA] (BCDP – Novel 04/01)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun