Pertanyaan pertama di atas itu, dari Kenneth Rogoff, Guru Besar Ekonomi dan Kebijakan Publik pada Harvard University, Mantan Chief Economist Dana Moneter Internasional --- tulisannya itu terdapat dalam Koran Tempo, 19 Februari 2009.
Kita mencoba mengutip beberapa bagian dari tulisannya itu --- membawa opininya ke dalam suasana mencekam perekonomian Indonesia menghadapi efek negatif krisis global saat ini.
“Dalam pidatonya pada sidang tahunan Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, Perdana Menteri Cina Wen Jiabao menjelaskan rencana pemerintahnya untuk melawan meltdown ekonomi global dengan belanja publik dan pinjaman. Ia menjamin pertumbuhan tahunan Cina akan tetap berada di atas 8 persen pada 2009” (kutipan)
Kita menyaksikan bahwa, perekonomian Cina memang sampai hari ini 2011 --- tetap meyakinkan sebagaimana dikatakan Wen Jiabao itu --- walau pun kini perekonomian global juga dalam situasi menjelang krisis yang ditimbulkan masalah sistemik di Amerika Serikat dan Eropa. Yang kian mengancam.
Lantas apakah relevan pertanyaan itu diulangi : Benar-benar Kebal krisiskah Cina ?
Rogoff menulis dalam salah satu paragraph : “……………. Tapi apakah pemerintah Cina punya kelengkapan yang diperlukan untuk menjamin ekonominya tetap begitu kenyal ? Mungkin, tapi semuanya belum jelas. Resesi yang semakin parah di Amerika telah memukul sektor ekspor Cina, seperti juga di mana-mana di Asia. Masalah mendesaknya terletak pada krisis kredit, bukan di Cina melainkan di Amerika Serikat dan Eropa, di manabanyak importir kecil dan menengah tidak bisa memperoleh kredit perdagangan yang mereka butuhkan untuk melakukan pembelian dari luar negeri………..”
Tampaknya Cina menguasai sisi Permintaan (internasional) dan pembinaan pasaran untuk ekspornya --- sisi penawaran Cina ternyata selamat dan makin kokoh di pasaran internasional. Sebaliknya pemerintah Obama yang mencoba menjinakkan dengan trik “Quantitative Easing” sampai jurus memperluas lowongan pekerjaan --- belum juga perekonomian Amerika Serikat menunjukkan perbaikan. Tetap melemah.
Di Eropa zona euro pun mengalami krisis fiskal karena tekanan Utang, menambah ancaman perekonomian global memasuki ancaman resesi. Lha, Cina lagi nih ?Kebijak Bail-out atau wacana Obligasi untuk menyelamatkan beberapa Negara Eropa itu --- belum tuntas menghambat arus krisis itu.
Kuat enggak ya Cina menjadi motor penarik ………… dan mau pula Cina menjadi penyantun bagi krisis di Eropa (?).Tentu ada imbal baliknya !
Dalam tulisan Rogoff yang menyangkut perkiraan menciutnya perekonomian Cina pasca Pertemuan Davos --- tidak terbukti. Pertumbuhan Cina tetap terjamin.
Ternyata Cadangan Devisa Cina yang melebihi USD 2 Triliun memang bisa menjadi andalan Pemerintahnya mendanai kenaikan belanja pemerintah yang diperbesar, serta membantu perbankan di sana.
Bahkan kekuatan cadangannya itu juga mengalir mengiringi pemasaran produknya --- Cina benar-benar sedang memainkan Emerging Countries yang membutuhkan : pengendalian inflasi dan mendorong pertumbuhan dengan pasaran domestik mendapatkan --- angin buritan.Tidak usah mengayuhpun bisa berlayar (Indonesia, ingat jangka pendek lho !).
Sukses Cina, dari tulisan Rogoff , dapat pula disimpulkan bahwa Cina membelanjakan stimulus fiskalnya untuk mendorong pembangunan infrastruktur, dan dana intermediasi yang melalui perbankan pun efektif pula.
Lha di Indonesia --- di sektor fiskal pun tidak becus --- APBN tidak mampu dijadikan instrument yang efektif --- penyerapan APBN tidak merata sepanjang tahun dan inefisiensi perimbangan --- pembiayaan rutin mencapai 80 persen dibandingkan untuk pembelanjaan kapital.
Di Sektor Moneter --- saksikanlah penurunan BI Rate menjadi 6 persen. Jangan diharapkan ada Kebijakan yang mantap untk mengendalikan intermediasi perbankan --- bunga kredit tidak akan segera turun.Sektor Riil tidak akan segera menikmati dorongan yang diperlukan. Mengapa ?
Akhirnya kita kutipkan pendapat Kenneth Rogoff tentang Kebal Krisis Cina, intinya “…………..Sebenarnya keberhasilan Cina sampai saat ini (pen. Februari 2009) terletak pada adanya keseimbangan antara ekspansi sektor pemerintah dan ekspansi sektor swasta.
Pemerintah Indonesia lamban menyiapkan syarat-yarat untuk mendorong kepentingan Investor Swasta. Jadi memble-lah
Bermain retorika teruslah --- seperti Orang Sangiran yang takut pada kilat malah diterkam oleh Gledek !
Kutipan terakhir (mungkin berguna bagi para Menteri Ekonomi dan jajarannya) : “……………Tapi saya lebih diyakinkan oleh rencana yang lebih condong ke arah konsumsi domestik, peningkatan kesehatan, dan pendidikan …………………”
Sayangnya konsumsi domestik Indonesia juga sebagian besar adalah barang impor --- pertumbuhan yang diperoleh Indonesia hanya bersifat menyambung nyawa --- seperti nasib si Miskin di bawah Jembatan, enggak pasti besok masih hidup atau malah mengalami krisis……..
[MWA] (EkonomiNet – 34)
*)Foto ex Internet