Ini sisi hidup manusia --- Kutukan !Di seluruh khazanah Kebudayaan Manusia di dunia ada --- dalam Peradaban apa saja, dalam Kebudayaan apa saja ada,pesan-wasiat tentang Kutukan.
Kutukan adalah Laknat !
Allah mengutuk Kaum Kufur atau Muslim yang mem-persekutukan Allah lebih dari ke-Esa-an-Nya --- Tuhan dan para Dewa pun bisa mengutuk manusia.Para Jembalang, Dememit, Syaiton, Iblis dan bermacam-macam makhluk gaib bisa mengutuk Manusia pula.
Kutukan adalah rambu-rambu Kebudayaan --- norma hukum untuk ditegakkan,dia berbobot dan berwibawa apabila Aparat Penegak Hukum melaksanakannya secara murni dan konsekwen. Tetapi Kutukan adalah rambu budaya yang mengancam secara gaib, spiritual. Dan psikologis.
Malinkundang si anak Durhaka --- mendapat Kutukan Ibunda, ia dan hartanya mati menjadi batu.Membantu.
Alangkah mengerikannya --- mati membatu bila berlaku durhaka terhadap Ibunda.
Di dalam seni bertutur atau pun tertulis --- budaya berbakti dan tidak boleh durhaka terhadap Orang tua, menjadi salah satu pilar pembentukan karakter di dalam keluarga Indonesia.Anak tidak boleh durhaka --- Ibunda juga berhati-hati, jangan mudah-mudah melakukan kutukan
Adalah seorang Anak Sulung bernama Slametto --- bertahun-tahun di dalam Kesadarannya dan ternyata terekam pula di dalam Bawah Sadarnya bahwa, mencuri itu haram --- terlarang ! Memakan yang bukan hak adalah haram juga.
Ketokan di pintu pagar di hari senja --- menjadi pertanda ada Kiriman Bingkisan.Bertahun-tahun setiap menjelang akhir pekan, hari raya, dan hari ulang tahun anggota keluarga, mereka seolah-olah berhak menerima bingkisan.Gratifikasi !
Kepribadian, ke-imanan, etika, morale, atau adakah norma dan sanksi atas Sumpah Jabatan ?Yang akan menyadarkan atau membatasiOrang menerima Bingkisan ?
Tetangga di kampung, di kompleks, di lingkungan rumah dinas --- iring-iringan pembawa bingkisan biasa bisa diamati, mereka yang berjabatan ‘basah’ yang mempunyai hubungan dengan pihak ke-3 --- adalah penerima Gratifikasi.
Budaya korupsi telah membentuk masyarakat Indonesia --- PNS dengan mobil jabatan, semua anggota keluarga sudah menganggap asset Negara itu seperti milik pribadi --- bahkan mereka merasa benda itu ‘simbol status mereka’ , yang mengangkat harkat dan martabat-nya.
Memang ada juga keluarga --- selengkapnya atau tidak, tidak malu-malu lagi menerima bingkisan gratifikasi. Tetapi ada pula seorang atau lebih anggota keluarga yang termakan kutukan, kecemburuan sosial --- bahwa bingkisan itu haram, itu sogokan, itu bagian dari pada suapan --- itu bagian dari pada anggaran yang di-‘mark-up’ atau pekerjaaan ‘kurang’ dari apa yang dinyatakan kontrak.
Adalah Slametto, tokoh pada paragraf di atas --- lama tidak tentram, lama ia tidak merasa nikmat memakan Bingkisan di rumahnya itu --- ada masa naik ada masa turun …………..suatu saat si papa dimutasi. Enggak jelas apa jabatannya.Apa basah atau kering --- tetapi terjadi perubahan lingkungan akibat pengaruh pemutasian itu.
Di Hari Raya, berkatalah si Slametto, anak SMP itu : “Pa, baru hari raya ini saya bisa merasakan nikmatnya anggur yang papa beli --- saya tidak suka anggur atau biskuit bingkisan orang pa “
Si papa ter diam, tidak menjawab --- ia pun terkadang campur- baur antara kebanggaan ‘jabatan’ dengan ‘penghargaan yang dicibirkan’ --- keluh kesah anak pertama itu sangat mengesankan di hati papa.Kata-kata itu mempunyai kekuatan yang menohok nuraninya sebagai bapak.
Si Papa masih muda, 46 tahun --- perubahan jabatan dan status cukup membutuhkan daya adaptasinya --- kalimat anak sulungnya sangat mengganggunya : ‘apakah kedua anak lainnya juga merasa tidak tentram menikmati gratifikasi ?’.Kota tempat dinasnya yang baru juga tidak begitu nyaman mempengaruhi hidup sosialnya --- ia bimbang dengan kehidupan sosial yang akan mereka alami nantinya.
Memang kemalangan tidaklah bisa ditolak --- si Slametto ditabrak mobil, cideranya membuat ia cacatseumur hidup --- ia berjalan timpang --- keluarga si Papa sangat tertekan dengan musibah itu.Apapun usaha dan upaya untuk mengurangi cacat si Slametto, tidak ada kemajuan.Ia menjadi anak cacat yang setiap saat membuat miris hati papa dan mama.
Keluarga yang makmur itu sepanjang masa selanjutnya di dalam ‘penyesalan’ dan doa --- mereka hampir tidak mengerti mengapa Slametto harus menanggung kecacatan yang pesimistis itu.Secara spiritual terkadang papa mendapat jawaban : bahwa mereka mendapat kutukan dari perbuatan menikmati barang haram.
Tidak bisa dirunut secara rasional --- sejak kata-kata cletukan si Slametto, sampai kecacatan anak sulung yang membuat pesimisme keluarga ---- kehidupan sosial di Jakarta yang berbeda dengan di daerah --- dalam beberapa tahun saja, keluarga itu menemukan gejala sosial yang lebih mencekam.Papa sering terjatuh, mengalami seperti gejala blank --- dimulaiserangan stroke, mulutnya menyot dengan kaki dan tangan lumpuh.
Kini setiap kali ia tersandar di sofa di beranda belakang rumahnya, ia selalu mendengar kata-kata Slametto : “Pa, baru hari raya ini saya bisa merasakan nikmatnya anggur yang papa beli --- saya tidak suka anggur atau biskuit bingkisan orang pa “
Itu bukan kutukan --- tetapi ungkapan di Bawah Sadar Sang Anakyang bertahun-tahun memakan barang haram yang dia tidak sreg menelannya.Tetapi ungkapan itu menjadi Kutukan bagi Sang papa --- penerima gratifikasi --- seperti juga cibiran tetangga yang mengalami Kecemburan Sosial --- cibiran itu akan menjadi Kutukan secara Spiritual.
Ingatlah --- Gratifikasi adalah bunga dari pada Budaya Korupsi; siapa pun yang menyuburkan gratifikasi berarti memelihara Monster Koruptor di dalam Tekno-struktur Pemerintahan.
Rakyat mengutuk Budaya Korupsi --- tunggulah Laknat Kemiskinan akan mengobarkan Kemarahan.Ingat fakta sejarah Korupsi yang dilakukan kaum Feodal atau pun kaum Kolonialis telah memicu pertumpahan darah.Revolusi Sosial.
Janganlah NKRI yang ber-Falsafah Nasional, ber-Konstitusi, dan ber-Pemerintahan ini tidak waspada pada Kutukan di dalam hati Rakyat-nya. [MWA]
*)Foto ex Internet