Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Anak dan Rubah; Penulis Jepang, Nankichi Niimi (1913-1943) [Cerita Anak-Remaja -02]

3 Oktober 2010   03:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:46 373 0
[caption id="attachment_277059" align="aligncenter" width="298" caption="Demikian banyak pembudayaan yang dibutuhkan Anak Manusia untuk menjadi manusia yang mandiri."][/caption]

Cerita ini demikian indahnya --- karena sifat penyajian, singkat dan resensional, disajikannya agar menjadi inspirasi bagi pembaca. Cerita ini juga dari Cerita-Cerita Asia Masa Kini, Bunga Rampai untuk Pembaca Remaja, terjemahan Sugiarta Sriwibawa, Pustaka Jaya – 1983; Judul asli Stories from Asia Today, a Collection for Young Readers, Unesco.

Di kisahkan Bunroku, anak terkecil dalam kelompok tujuh anak lelaki --- karena ia lemah dan kurus, ibunda selalu menitipkan puteranya itu, Bunroku, agar masuk dalam kelompok dan dilindungi.Untuk itu ibunda selalu memberi gula-gula dan kue untuk anak-anak itu.

 

Kelompok tujuh anak itu terdiri anak-anak seusia baru saja sekolah tahun pertama --- hanya ada beberapa yang lebih besar.Malam itu mereka akan berjalan menuju kuil yang sedang mengadakan perayaan .

Penulis, Nankichi Niimimenggambarkan perjalanan pergi ke kuil itu begitu kocak dan, digambarkan anak-anak itu bermain bayang-bayang mereka di bawah sinar rembulan --- pembaca yang pernah mengalami masa kecil di desa atau di mana pun, tentu --- tersenyum mengenang adegan mengejar bayangan sendiri di bawah sinar rembulan.

 

Digambarkan anak-anak itu harus mendaki bukit yang tinggi untuk sampai ke kuil --- begitu mendengar suara seruling yang terbawa angin, gairah anak-anak itu bangkit, mempercepat langkah --- sehingga tertinggallah si anak kecil.“Cepat Bunroku, cepat !”

“Kususul secepat mungkin,” sahutnya dengan suara merengek. “Tetapi bakiak ini ! Ini bakiak Ibu, bukan bakiakku. “ ............. Memang, bakiak untuk orang dewasa itu masih terlalu longgar buat kaki yang kurus dan kecil............

Tulisan italic adalah kutipan asli dari kisah tersebut --- memang kita akan lebih banyak memaparkan ending cerita ini yang sangat lembut, mengharukan --- indah banget. …………..tiba di kota tempat kuil itu berada, anak terbesar, Yoshinori membawa Bunroku ke toko penjualan bakiak, sesuai dengan pesan ibunda --- setelah dipilihkan dan dipatutkan dengan ukuran kaki Bunroku, dapatlah ia sepasang bakiak baru yang sesuai.

 

Bunroku memang anak tunggal dan manja --- sehingga teman-temannya pun memperlakukannya demikian, benar-benar mereka melayaninya, agar menemukan bakiak yang cocok, sesuai pesan ibunda-nya.Tiba-tiba ada seorang nenek bongkok, berada pula di dalam toko itu.

 

Nenek itu berkata kepada anak-anak itu dan seolah-olah berbisik pada dirinya sendiri ---“Sayang, sayang………..Siapa anak ini, ya ? Jika engkau mengenakan bakiak baru pada malam hari, pasti engkau akan disihir oleh rubah.”

“…………Sejurus lamanya anak-anak itu terpaku diam. Mereka hanya dapat memandang perempuan tua itu dengan perasaan takut. Kemudian Yoshinori berseru, ‘Tidak, tidak mungkin !’……….”

“Itu takhayul !” teriak yang lain.

Si pemilik toko menentramkan anak-anak itu dengan memberi jelaga dari geretan pada bakiak Bunroku--- agar tampak seolah-olah itu adalah bakiak lama.

 

Gembiralah hati anak-anak itu menonton berbagai pertunjukan --- dari pertunjukan kembang api, sandiwara boneka, hingga tari-tarian.Memang di pertunjukan sandiwara boneka ada juga adegan yang mengerikan anak-anak itu --- sehingga mengingatkan mereka kembali pada pertemuan dengan nenek bongkok dengan takhayul ‘rubahnya’.

 

“………..Anak-anak itu masih ingat akan bakiak baru Bunroku dan kata-kata si perempuan tua, ‘Jika engkau mengenakan bakiak baru di malam hari, rubah akan menyihirmu………….”

Perjalanan pulang ke-tujuh anak-anak itu sungguh dramatis --- banyak hal yang menjadi dorongan rasa takut yang mereka alami. Batuk Bunroku saja sudah menjadi hal yang menakutkan mereka ………. Layanan perlindungan berkurang dirasakan Bunroku. Kemudian sampailah mereka di dekat rumah Bunroku --- di perjalanan saja, anak-anak itu telah menjauhi Bunroku yang berbakiak baru itu --- begitu di mulut gang, mereka melepas Bunroku sendiri menuju rumahnya……………

 

Bunroku tidur berdua bersama ibunda --- biasa ibu sebelum tidur, mereka saling bercerita,ibu menanyakan kesan dan cerita yang dialaminya di perayaan kuil, sampailah juga kisah yang mengerikan tentang ‘sihir rubah’ itu .

 

“Siapa yang berkata begitu ?” Tanya ibu

“Tidak, sama sekali tidak. Itu hanya terjadi dahulu kala, ketika orang-orang masih percaya terhadap hal-hal semacam itu.”

“Kalau begitu – bohong.”

“Memang ---bohong.”

“Ibu yakin ?”

“Yakin betul.”

“……………Bunroku diam beberapa jenak. Sekali dua kali matanya yang besar itu berputar. Akhirnya ia bertanya, ‘Tapi jika itu benar-benar terjadi, Ibu bagaimana ?’.............”

“Benar-benar terjadi bagaimana ?” Tanya ibunya.

“Maksudku, jika rubah benar-benar menyihirku, dan aku berubah menjadi rubah, Ibu lantas bagaimana ?”

“………….Ibunya tertawa tergelak-gelak………..”

“Jawab, jawab aku, Bu!” Setengah malu Bunroku mengoncang-goncang lengan ibunya.”

“Jika engkau menjadi rubah, tentu saja aku tidak dapat memeliharamu di dalam rumah ini “ ………….Mendengar kata-kata ibunya itu Bunroku tampak sedih…………… “

“Lalu ke mana aku harus pergi ?” ia bertanya.

“Ke Gunung Karasune barangkali, “ sahut ibunya.. “Kata orang rubah masih hidup di sana.”

“Lalu Ayah dan Ibu selanjutnya bagaimana ?”

Ibu kemudian menceritakan, karena mereka tidak memilikilagi kegembiraan --- maka besok ibu dan ayah akan membeli bakiak baru, agar bisa menjadi rubah juga. Dan mereka bertiga akan pindah ke Gunung Karasune, di daerah Shimane, sebelah barat daya Narawa. Mata Bunroku terbelalak dan takjub.

 

Lantas diceritakan secara dramatis oleh ibu, bagaimana mereka sebagai rubah --- menghadapi pemburu dan anjing-anjingnya.

Bunroku sebagai rubah yang masih muda tentu menjadi mangsa anjing-anjing pemburu, karena ia selalu tertinggal dalam pelarian

 

“Kita lari bersama agar selamat.”

“Ibu dan Ayah pasti selamat, sebab sudah dewasa dan dapat berlari cepat. Tapi aku hanya rubah kecil, pasti tertinggal di belakang.”

“Kami akan menarikmu.”

“Apakah anjing itu mengejar terus ?” ..........Ibunya terpaksa diam sejenak. Ketika berbicara lagi, nada godaannya tak terdengar lagi : ‘Baiklah, aku akan berjalan pincang di belakang.”

“Mengapa ?”

“Dengan jalan itu anjing pemburu itu akan menangkap dan menggigitku. Ia akan menangkap di tempat itu sampai pemburu datang dan mengikatku erat-erat. Sementara itu engkau dan ayahmu sempat lari menyelamatkan diri.”

“……..Bunroku tersentak. Matanya terbelalak memandang ibunya. ‘Tidak, Ibu !’ Jangan !’ teriaknya. ' aku tak mau kehilangan ibu'..........”

“Tetapi tidak ada jalan lain sayang,” kata ibunya sabar. ‘Ibu akan berjalan pincang jauh di belakang, lambat-lambat’…………..”

“Tidak ! Tidak ! Tidak !”jerit Bunroku sambil meronta dan kakinya menyepak bantal sampai terjatuh dari tempat tidur. Dirangkulnya ibunya erat-erat. Air matanya meleleh.

“…………Ibunya pun merasakan air matanya sendiri membersit. Dengan sembunyi-sembunyi diusapnya dengan lengan baju malamnya………….”

Ending cerita ini sungguh lembut dan mengharukan ………….kebijaksanaan ibunda merangkai nilai keberanian dan cinta kasih bagi puteranya..

 

Apakah anda tidak ingin menanamkan nilai-nilai luhur ‘Kasih sayang dan keberanian dalam menghadapi tantangan hidup baginya ’, dalam kesempatan mendongeng dan bercerita ?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun