Guntingan koran itu, di-file di dalam Agendanya ! Kalimat itulah yang mempengaruhi hati nurani Cik Yung, bahwa Ir. Siswono Yudohusodo adalah seorang Pemimpin Indonesia. Tanpa melihat apa jabatan yang pernah disandangnya, apa peran dulu dan kini, atau apakah ia masih mempunyai komitmen untuk meneruskan "sikap budaya-nya itu" atau tidak.
"Limabelas tahun yang lalu Siswono telah mengumandangkan keadaan Budaya brengsek bangsa ini, ingat ia mengatakan itu pada saat ia menjadi Menteri, dan Pak Harto masih Presiden yang berkuasa --- apakah Pak Harto bereaksi apakah tidak --- kita tidak tahu " dijelaskan Cik Yung kepada audiensi, para pendukung gagasan peringatan Hari Kebangkitan Nasional di rumahnya.
"Cik, kita membutuhkan pemimpin yang berani 'menghentikan proses kebobrokan ini' ", kata kang Adi yang duduk di pojok, dekat akuarium.
"Jadi dalam 15 tahun ini kebudayaan Indonesia --- cara berpikir, cara bersikap, tabiat, sifat, dan paradigma-nya kian mundur --- Kita mempunyai sifat budaya yang retrogresif. Puah." Seorang anak muda , seorang mahasiswa sepertinya naik pitam.
"Mengapa bangsa ini menjadi begini --- menjadi bangsa yang bloon, tidak sadar diri, seperti tidak mempunyai ideologi, seperti tidak mempunyai filsafah kebangsaan --- seperti telah tersublimasi menjadi bangsa yang tidak mempunyai way of life --- tanpa kita sadari, way of life kita telah berubah !"
"Itulah yang dikatakan Buya Ahmad Syafii Ma'arif : Pemimpin dan masyarakat kita, banyak yang telah ‘mati rasa'. Mari kubacakan beberapa bagian harta karun-ku ini " kata Cik Yung sambil membuka lipatan klippingnya.
"Mati Rasa --- bisa menjadi mati hati nurani, alangkah gawatnya bangsa ini," keluh Cik Yung
"Kubacakan, dengar, kata-kata Siswono tadi ‘ ..............mengingatkan kita kepada nada syair Raden Ngabehi Ranggawarsita ( 1802-1873). Ya, benar ungkapan pujangga keraton Surakarta , yang akhir-akhir ini agak sering dikutip: ameningi wolak-waliking zaman, mengalami kemelutnya perubahan zaman !' "
"Tokoh wawasan kebangsaan itu tidak memakai ungkapan zaman edan, zaman gila, melainkan menyatakannya dalam kata-kata : ‘Ukuran-ukuran kewajaran itu bergeser dan setiap kali kita menemui ukuran kewajaran baru.' Kita lalu menangis karena harus menerima kewajaran baru itu sebagai kewajaran yang harus kita hidupi' ".
"Cik, kewajaran apa ? Sekarang bukan kewajaran lagi tetapi ‘ketidak wajaran yang membudaya '--- - bangsa kita menjadi tidak sadar diri --- betul kata buya Syafii Ma'arif......jadi sudah mati rasa !" sergah mahasiswa itu --- sambil menepuk meja dengan geramnya.
"Kubacakan lebih lanjut, ‘ Katanya lebih lanjut : ‘Ibu Pertiwi meratap sedih melihat anak negeri ini banyak berubah. Nilai-nilai bergeser dan membuat ukuran-ukuran menjadi kacau. Cerdik semakin dekat dengan licik. Jujur semakin dekat dengan bodoh ..............Ada senyum yang penuh dengan prasangka, ada kebaikan antara pengusaha dengan penguasa yang sarat pamrih...........' "
"Alangkah bodohnya kita --- lima belas tahun yang lalu, gejala budaya yang retrogresif itu telah terasa --- tidak kita koreksi, sewaktu kebangkitan reformasi tahun 1998 , kita hanya mengusulkan koreksi terhadap hal-hal yang pragmatis --- yang praxis; itu pun sampai sekarang morat marit prosesnya," tanggapan Pak Amir tukang servis jam (tetapi ia drop-out mahasiswa Angkatan 78).
"Jangan-jangan bangsa ini tidak pintar, kalau menjalankan hal yang sistematis --- ia baru terkejut-kejut kalau ada gejala sistemik --- buat sistem saja morat-marit. Barangkali ia baru cocok kalau hidup dalam proses perubahan yang revolusioner, yang eksplosif --- yang meledak-ledak. Maka dalam budaya bangsa ini ada ‘seni upacara dengan petasan, meriam bambu, meriam karbit' --- mereka suka dengan kejutan, " ditimpali pula oleh Cik Awab, wong Palembang 'tu.
Mereka saling memandang satu sama lain --- seperti orang yang baru saja merefleksi-kan ledakan petir di siang bolong. Mereka semua tersenyum, dan tertawa terbahak-bahak --- melepaskan pikiran buntu atau malah meledak melepaskan ke-bloonan-nya.
"Dengar lanjutan tulisan itu, biar kita selamat dari kebuntuan dan kebloonan ---‘ni otak ‘ni sudah kekurangan oksigen, pembuluh otak bangsa ini telah dipenuhi karat kekecewaan, dan karat kebencian --- bukan kolesterol yang menyumbat otaknya ---tetapi kekecewaan dan kebencian. Tunggulah ledakan strokenya ." kelakar Cik Yung melihat audien-nya masih terbengong-bengong.
"Cobalah kita renungkan, bukankah nada ucapan-ucapan yang juga berwarna puitis itu mengingatkan kita akan kata-kata bersayap Ki Ranggawarsita. Perihal wolak-waliking zaman, jungkir baliknya perubahan zaman, " lanjutan bacaan Cik Yung.
"Ini lanjutannya, ‘Jeritan hati yang diungkapkan oleh Ir Siswono, seberapa jauh juga dirasakan oleh orang lain, seberapa jauh perasaan itu juga hidup bahkan berkecamuk dalam berbagai lingkungan masyarakat serta pemerintah ? " Cik yung memalingkan wajahnya ke Pak Lik Surojo, tukang bakso keliling, yang dulunya tukang memukul gong di rombongan wayang kulit Dhalang Tukidjan.
"Masyarakat dan Pemerintah ? Yah, waktu itu Pak Harto-lah yang berkuasa --- konon dikatakan masa otoriter --- tetapi setelah 1998 rupanya proses reformasi tidak menjiwai keadaan suasana batin yang digambarkan Siswono --- Mengapa ? Mengapa, aku bertanya ?" O, lagak juga tukang bakso itu.
Mengapa ? Cik yung mengarahkan wajahnya kepada Pak Lik Surojo, karena ia memang orang jernih pemikirannya. Konon ia pernah kuliah di filsafat Gama.
"Mengapa ?" tanya Cik Yung.
"Kalau begitu penyakit bangsa ini --- kian parah Cik"
"Ia telah mati rasa --- kalau tidak, masa bisa, anggota DPR tidak tahu malu --- korupsi dari proyek, dari anggaran, dari legislasi, dari menilep kata-kata rumusan hukum . Gila ! Masa pemungut pajak ramai-ramai mencuri uang negara --- tanpa malu. Lihat betapa polisi rayahan uang suap, uang korupsi, uang perkara, uang bukti --- mereka saling tuding seperti lakon ketoprak. Tunjuk-tunjukan hidung. Telanjang menelanjangi Gila !" sergah si Bistok atau si Poltak , enggak jelas namanya --- memang ia jarang-jarang pulang ke kompleks itu. Ia tukang kredit ke kota-kota kecil --- seperti tukang kredit orang Tasik juga.
"Ini lanjutannya, ‘..........., kita juga dapat berada dalam suasana ewuh aya ing pambudi, serba enggan, serba segan, kelewat tahu diri. Adalah baik, tetap berpegang dan menghayati sopan santun serta etika tahu diri. Sebaliknya, terutama dengan dan dalam budaya sopan santun itu, kita agar mau dan sanggup mengatakan yang benar sebagai benar, yang salah sebagai salah , yang kurang benar sebagai kurang benar, yang patut sebagai patut, yang kurang patut sebagai kurang patut. "
"Cik, kupikir itulah yang membelenggu bangsa ini --- tetapi sekarang ‘kan kita telah dikoreksi dengan Gerakan Reformasi 1998 --- mengapa mandeg ?" tanya Pak Bondan sambil berdiri mencari perhatian.
Cik Yung memberi aba-aba, "kulanjutkan membaca yang penting, ‘...........Perubahan zaman sungguh gegap gempita. Dalam laporannya kepada Kongres Partai Komunis Cina beberapa waktu lalu. Perdana Menteri Li Peng, di antaranya menegaskan. ‘Masalah-masalah seperti pendewaan uang, ultraindividualisme dan gaya hidup dekaden merupakan persoalan hidup-mati bagi bangsa kita. "
Pak Bondan yang masih berdiri, langsung menyambar bacaan Cik Yung " Itu, itu dia yang ku maksud --- bangsa Cina bisa merumuskan situasi Budayanya --- lantas bertindak. Itu Cina ! Mereka bertindak dengan revolusi kebudayaan --- dekadensi itu ia gempur --- revolusi memang menggempur, menjebol dan..........dari reruntuhannya kita membangun budaya yang progresif. Aduh Cik , aku geram banget !"
"Sabar. Memang bangsa Cina ---entah feodalisme, entah totaliter, entah demokratis --- pokoknya --- kapan perlu bertindak, mereka bertindak. Pemimpin kita klemak-klemek --- pakai tabir asap, gerak-gerik penuh tipu muslihat --- seperti seni silat --- banyak bunga-bunganya. Tipu !" Cik Yung mengomentari si Bondan.
"Kulanjutkan, ‘.........Pada waktu yang sama, justru nilai-nilai itu juga terancam digusur oleh dampak dan oleh daya dinamika termasuk ekses-ekses dari ekonomi pasar, Ekonomi pasar yang aslinya berinduk dan bersumber pada paham Kapitalisme, dicoba dikendalikan bahkan direformasikan dengan wawasan, sikap dan orientasi kita sendiri. Seperti pasal 33 UUD'. Aku jadi termangu nih..........jadi waktu itu , tahun 1995 itu sebetulnya secara budaya --- sudah terasa bangsa ini dalam krisis, sakit --- ada diagnose ada fenomena --- tetapi tidak ada tindakan " kata Cik Yung.
"Ada Cik, itulah meledaknya aksi mahasiswa yang menuntut reformasi --- sampai jatuhnya Pak Harto, Mei 1998 itu. " dijelaskan oleh si Mahasiswa.
"Jelek nasib bangsa ini, Cik " komentar Haji Marto
Semua mengarahkan pandangan ke Pak Haji. "Bagaimana ?" tanya mahasiswa itu.
"Jelek nasib bangsa kita --- tidak bisa melahirkan Pemimpin yang Cerdas, Tangguh, Tanggon, dan Trengginas. Jadi walaupun ketemu kalimat bijak, ketemu diagnose, ketemu fatwa, ketemu kesimpulan --- ketemu konklusi ilmiah, sekali pun --- ia ngahngoh, kehilangan momen. "
"Siswono masih ada ?" tanya Pak Haji --- semua saling memandang
"Ada, masih hidup, masih berpengaruh, masih canggih, masih cerdas harusnya --- dia itu pemimpin. Dia jauh lebih muda dari aku !" begitu ditambahkan Cik Yung.
"Jadikan ia pemimpin Gerakan Moral --- seumur dia ‘tu cocok kali menjadi pemimpin anak-anak muda --- ia cerdas, berpengaruh --- biarlah tidak usah menjadi presiden. Tetapi menjadi pemimpin bangsanya --- Atau siapa sajalah. Tampillah --- pimpinanlah gerakan moral, gerakan budaya, gerakan mengkoreksi , mengobati bangsa ini. " sesak nafas Cik Yung memendam amarah.
"Pak Cik sajalah tampil !" seru si Mahasiswa
"Gila kau --- aku ini Angkatan 45, aku ini bak artefak yang mau dijual ‘tu !" sergah Cik Yung
"Di mana Pak Siswono ? " tanya Pak Haji Sumarto.