Ini kota minyak-nya Malaysia. Aku senang di kota ini karena makanannya enak. Banyak orang Indonesia. Orang Sana mengatakan Orang Indon. Hari libur lebih banyak lagi orang Indon di kota itu. Dulu ku pikir, dan memang alasan pertama mengapa mereka menyebut kita Indon. Itu singkatan untuk Indonesia, INA atau apalah. Jadi di borang atau formulir-formulir , agar singkat Imigresyen menulis singkat. Indon untuk Indonesia. Jurusan Bis Miri ke Pontianak pun tertulis " Pontianak, Indon ." Orang Indon di sana akrab. Hari Jum'at di Masjid Miri kita akan berjumpa banyak sekali orang Indonesia. Ada pula persaudaraan orang Minang disana, aneh juga. Kalau yang dari Jawa juga banyak, baik di pasar, restoran , toko dan di rumah tangga. Hari libur juga hari Indonesia, itu TKI/TKW plywood dari Kuala Baram. Semua ke Miri belanja. Jadi semua merasa tidak seperti di perantauan. Seperti di rumah sendiri.
Di Jakarta aku bertemu sahabat lama, ia saat itu sudah di kursi roda. Ia kena stroke, pada hal ia atlet karateka, dan pensiunan BUMN yang berasal dari marinir. Sederhana saja kena stroke itu, ia sedang berkebun, berjongkok mencabuti rumput. Stroke !
Digamitnya lengan kemeja-ku, di peluknya bahuku, ku rendahkan badanku, sampai aku berlutut ke lantai. Memang ia sahabatku. Sesama Angkatan 66. Dibisik-kannya ke telingaku "Kudengar kamu sering ke Miri ya ".
"Enggak juga Tens, baru sekali, dari mana you dengar " kataku.
"Adalah, kamu akan ke sana lagi ?" Dipalingkannya wajahnya ke luar, pandangan menembus pintu otomatis ke arah jauh ke taman. Kemudian berpaling tajam ke arah wajahku. Wajahnya mendung.
Alangkah rapuhnya hidup ini. Dia ini seorang karateka, laskar angkatan 66---ia gagah dan pemberani, sekarang tampak sekali ia rapuh dan seperti depresi. Kami akrab karena kami bekerja di perusahaan yang sama. Kini sama-sama sudah tua. Saat itu kami bertemu di rumah sakit.
"Don- kamu lebih hebat, sehat, dan di umur kini-mu, kamu masih berguna, dan dapat pergi ke Miri , aku..." Tampak roman mukanya dengan mimik yang depresi dan putus asa. Aku pijit-pijit lengannya. Air matanya menetes.
"Don, kawan sekerja kita telah banyak yang mendahului, dengan kota Miri.........aku lebih terikat lagi ."
Memang mereka, kawan-kawanku memanggilku Don Quixote. " Apa yang kau maksud, apa hubunganmu dengan Miri ?" tanyaku.
Ia menangis sesunggukan, aku tepuk-tepuk bahunya, aku masih berlutut di lantai. Konon mereka yang mengalami stroke, apalagi lansia mudah sekali stres dan depresi. Aku belum mengerti mengapa ia menghubungkan dirinya dengan kota Miri. Dan mengapa ia menangis. Aku sabar mengelus-elusnya. Miri rupanya menghubungkan memorinya dengan kedukaan yang dalam.
Aku tidak pernah membayangkan ia bisa menangis demikian, kubiarkan ia menangis dengan membungkuk-kan tubuhnya ke tangan kursi rodanya. Dia masih bisa berbicara jelas, Cuma barangkali memori-nya lemah. Mengapa ia menghubungkan dirinya dengan kota Miri ?
"Kalau aku sehat ingin aku ke sana, Don" Tampak ia ringkih sekali---ke-macho-an dan kegagahan-nya telah lenyap.
"Ya, kau akan ku bawa ke sana. Sehatkan badan-mu"
"Don, lama ini dalam kenangan-ku Don, timbul tenggelam, pahit---pahit sekali. Aku beruntung dipertemukan denganmu Don"
"Tuhan memberi kesempatan bagiku". Ia menangis dalam, badan-nya bergoncang hebat. Aku hanya memeluk dan mengelus tubuhnya. Orang berkerumun melihat adegan ini. Kami berada di apotik Rumah Sakit . Aku tercekam dalam keharuan yang dalam. Karena orang ini adalah orang hebat---sekarang ia rapuh. Apa yang harus kuperbuat ?
Ia mengangkat wajahnya, matanya merah basah, disekanya wajahnya. "Don, kalau kamu ke Miri lagi. Aku harap cobalah cari kuburan anggota pleton-ku. Kuburan mereka di tepi pantai yang pasirnya putih di selatan Miri, dari kota kira-kira lima belas kilo meter". Aku, Don Quixote juga heran mengapa aku pernah sampai ke tempat itu, memang pemandangan-nya indah ke arah Laut Cina Selatan. Tetapi sunyi tidak ada bangunan, sepi entah ke arah mana jalan aspal ke selatan menyusur pantai indah itu. Aku benar-benar heran mengapa dulu aku tercekam memandang ke arah kuburan di tepi pantai itu.
"Ini amanat-ku Don---semua orang tahu di situ ada kuburan sukarelawan Indonesia tiga orang, jenazah pahlawan !"
Apa yang diceritakan Martens, mudah tergambar dibenak-ku. Pleton sukarelawan yang menyusup ke Miri itu dipimpin Martens. Mereka gugur atau tertangkap tentera Inggris. Mungkin di masa Dwikora, pantai itu memang tempat penyusupan yang strategis dan dekat dengan Kilang Minyak Serawak, Kalimantan Utara. Kisah operasi Dwikora memang heroik, berani, tetapi siapa menyatatnya, siapa yang mampu mengenangnya, kecuali mereka yang secara psikologis mengalami kegagalan operasi semacam itu.
Untuk kedua kali aku berdiri di tempat itu, kali ini lebih dekat ke kuburan---tidak satu pun orang Miri tahu dan mengerti di situ ada jasad Sukarelawan Indonesia terkubur. Aku menangis seperti Martens, di kuburan putera bangsa-ku. Aku percaya dan yakin memang ada jasad mereka di sana. Aku bacakan Al Fateha dan tahlil untuk arwah teman seperjuangan sahabatku. Martens Matanduk !