Seorang mufasir adalah orang yang diberikan tanggung jawab besar untuk menafsirkan dan menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur'an kepada umat. Tugas ini tidak hanya memerlukan keilmuan yang mendalam, tetapi juga adab yang tinggi, karena Al-Qur'an adalah wahyu suci yang harus diperlakukan dengan penuh penghormatan. Berikut adalah beberapa adab penting yang harus dimiliki oleh seorang mufasir:
1. Niat yang Ikhlas
Seorang mufasir harus meniatkan penafsirannya semata-mata untuk mencari ridha Allah dan memberikan pemahaman yang benar kepada umat. Ia tidak boleh menjadikan aktivitasnya sebagai sarana mencari ketenaran, pujian, atau keuntungan duniawi.
2. Berpegang pada Sumber yang Sahih
Mufasir harus merujuk kepada sumber-sumber utama yang valid, yaitu:
Al-Qur'an itu sendiri, karena ayat-ayat Al-Qur'an sering kali saling menjelaskan.
Hadis Nabi SAW, yang berfungsi sebagai penjelas terhadap ayat-ayat yang membutuhkan rincian.
Pendapat para sahabat dan ulama salaf yang memiliki pemahaman mendalam tentang wahyu.
Menghindari penggunaan dalil yang lemah atau sumber yang tidak otoritatif adalah bagian penting dari adab seorang mufasir.
3. Tidak Menafsirkan dengan Pendapat Pribadi Semata
Seorang mufasir harus berhati-hati untuk tidak menafsirkan ayat Al-Qur'an berdasarkan logika pribadi atau spekulasi tanpa dukungan dalil yang kuat. Rasulullah SAW bersabda:
"Barang siapa menafsirkan Al-Qur'an dengan pendapat pribadinya, maka hendaknya ia bersiap menempati tempatnya di neraka." (HR. Tirmidzi).
4. Menguasai Ilmu yang Diperlukan
Seorang mufasir harus memiliki pengetahuan mendalam tentang berbagai disiplin ilmu, seperti:
Ilmu Bahasa Arab (nahwu, sharaf, balaghah) untuk memahami teks Al-Qur'an.
Ilmu asbabun nuzul (sebab turunnya ayat) untuk mengetahui konteks ayat.
Ilmu nasikh-mansukh untuk membedakan ayat yang menggantikan atau digantikan.
Ilmu hadis untuk memahami sunnah Nabi SAW sebagai penjelas Al-Qur'an.
Ketidaklengkapan dalam ilmu ini dapat menyebabkan mufasir memberikan tafsir yang keliru.
5. Bersikap Rendah Hati (Tawadhu')
Seorang mufasir harus menjauhi sifat sombong dan merasa paling benar. Ia harus siap menerima masukan dari ulama lain dan menghormati perbedaan pendapat. Tafsir sering kali memiliki dimensi yang luas, sehingga keberagaman pandangan di kalangan ulama adalah hal yang wajar.
6. Menjaga Kesucian Diri
Mufasir dianjurkan dalam keadaan suci secara lahir dan batin sebelum menafsirkan ayat Al-Qur'an. Ia juga harus menjaga keikhlasan hatinya dari sifat-sifat tercela seperti riya, hasad, dan ambisi pribadi.
7. Menghormati Keagungan Al-Qur'an
Sebagai kitab suci, Al-Qur'an harus diperlakukan dengan penghormatan yang tinggi. Dalam menafsirkan, mufasir harus membaca ayat dengan tajwid yang benar, tidak tergesa-gesa, dan penuh penghayatan.
8. Tidak Memaksakan Tafsir di Luar Kemampuannya
Seorang mufasir harus sadar akan keterbatasannya. Jika ia tidak memahami suatu ayat secara mendalam, lebih baik ia mengakui ketidaktahuannya daripada memberikan tafsir yang salah. Rasulullah SAW bersabda:
"Barang siapa berkata tentang Al-Qur'an tanpa ilmu, maka hendaknya ia bersiap menempati tempatnya di neraka." (HR. Abu Dawud).
9. Memahami Konteks Sosial dan Budaya
Ketika menafsirkan Al-Qur'an, seorang mufasir harus mempertimbangkan konteks sosial dan budaya umatnya, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat. Hal ini untuk memastikan bahwa tafsirnya relevan dan dapat diterima oleh masyarakat.
10. Menghindari Perdebatan yang Tidak Perlu
Seorang mufasir harus menjauhi perdebatan atau polemik yang tidak bermanfaat, terutama jika perdebatan itu hanya untuk menunjukkan keunggulan dirinya. Fokus utama seorang mufasir adalah menyampaikan kebenaran, bukan memenangkan argumen.
Kesimpulan
Adab seorang mufasir adalah cerminan dari keagungan tugas yang diembannya. Dengan menjaga niat, ilmu, dan akhlaknya, mufasir dapat menjadi perantara yang baik dalam menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur'an kepada umat. Tafsir yang benar, disampaikan dengan adab yang tinggi, akan menjadi cahaya bagi umat dalam menjalani kehidupan sesuai dengan petunjuk Allah SWT.