kala lelah menopang mendung menggantung
kilat menyambar hingga permukaan tanah
sebelum pecah di antara awan
menggelegar membelah kehidupan
di bawah langit yang basah
di sudut hati yang tabah
meski jatuh berkali-kali
terus menerus tak kenal menyerah
di ujung mata berembun
pandangan mengabur
teringat matan
meninggalkan kenangan dalam genangan
di bilik kamar sunyi
rindu meratapi diri
menyesali waktu tak terhenti
pada detik paling romantik
di jalan-jalan ibukota
jiwa-jiwa meronta
menghardik mencela
penguasa tak becus mengurus
banjir yang terus menerus
di emperan pertokoan
anak-anak telanjang dada menantang masa
dewasa sebelum waktunya
kala lapar akrab seperti tawa dan kelakar
di antara sederet sambutan
air mengalir
mengikuti jejak takdir terukir
maka Fa-biayyi alaa'i Rabbi kuma tukadzdzi ban