Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Tersentil Artikel Politik dengan Banner Ciamik

29 Januari 2021   07:15 Diperbarui: 29 Januari 2021   07:18 621 23
Berat rasanya menulis tentang perjalananku mengikuti arus politik negeri ini. Ah, sepertinya aku terlalu belagu jika mengatakan ini sebuah perjalanan, lebih tepatnya ini hanyalah sebuah pengakuan. Seperti halnya pengakuan dosa karena itulah mengapa saya merasa berat. Ada malu, ragu juga takut jika dituntut.

Saat masih SD saya suka sekali belajar sejarah. Tentang peristiwa-peristiwa heroik para pahlawan negara. Terlebih mengetahui tokoh yang disebutkan dalam buku, sosoknya masih hidup. Semakin membuat diri terkagum-kagum dengan segala sepak terjangnya.

Namun ada hal yang berubah saat memasuki sekolah menengah pertama. Setiap pagi menjelang pukul enam. Bapak saya memutar radio dari siaran luar negeri berbahasa Indonesia yang menyiarkan keadaan negeri ini dari sudut pandang sang Pembawa acara. Sampai detik ini, saya tidak tahu siapa itu  dia tetapi masih ingat betul itu disiarkan dari gelombang dan chanel apa (tidak boleh disebutkan).

Kritik tajam akan kebijaksanaan pemerintahan yang membuat saya enggan mempercayai pejabat negeri ini. Tanpa disadari, kecintaan terhadap pelajaran Sejarah terkikis sudah. Saya mulai berpikir sejarah dalam buku pelajaran hanyalah rekayasa pihak yang berkepentingan. Padahal sebelumnya saya mengidolakan orang nomer satu di negeriku sebagai tokoh yang membangun dan mensejahterakan rakyat. Hingga disebut sebagai Negara berkembang yang ternyata hingga sekarang masih belum berubah.

Pada tahun 1998, saya kembali dihantam kenyataan. Negeri yang saya banggakan memasuki masa kelam. Demontrasi juga penjarahan. Ketika itulah saya mengenal banyak tokoh-tokoh baru yang sebelumnya tak disebut dalam buku sejarah. Tokoh-tokoh yang lantas jadi idola kaum muda. Bahkan saat saya mengikuti MOS sebagai murid baru di sebuah SMA, Nama-nama tokoh tersebut sering disebut sebagai calon baru pemimpin negara. Namun anehnya tak ada satupun yang sukses melenggang menduduki kursi nomer satu. Hanya mentok menduduki kursi-kursi istimewa lainnya meski bukan yang paling tentunya.

Setelah masa berlalu banyak hal berubah. Kehidupan terus berjalan alamiah. Tokoh-tokoh yang dahulu vokal saat membawa para demonstran menjadi pendiam. Tak terdengar lantang seperti saat berorasi. Ah, mungkin begitulah tradisi setelah punya kursi di negeri ini.

Semakin ke sini, saya semakin tak mengerti. Tokoh-tokoh hilang berganti. Terlihat benar saat masih di bawah kursi. Setelah duduk di atas mereka lupa pernah berkata juga lupa punya janji. Namun anehnya yang mencatat mereka sebagi idola tetap sibuk bersengketa dengan sesama. Karena politik aku lihat saudara dan saudariku tak lagi mau minum kopi satu meja. Semenjak mereka berbeda pandangan juga pemikiran. Pandangan politik dan keberpihakan seakan menjadi  tak bermata. Kebenaran tak lagi obyektif tetapi subyektif. Salah dan benar semakin samar. Tak pandang siapa jika itu idola (tokoh yang didukung) segala tindakan dan ucapannya benar.

Itulah mengapa hingga saat ini saya merasa enggan dan segan menulis atau mengkritisi masalah politik. Meski tertarik mengikuti beritanya tapi enggan untuk bersuara. Akan tetapi ketika melihat sebaris judul artikel lewat depan mata milik Bapak Khrisna Pabichara yang berjudul 'Jangan Alergi Menulis Artikel Politik' mendadak saya sentimentil dan tersentil.  

Seketika muncul pertanyaan pada diri sendiri. Kenapa alergi menulis politik? Jangan-jangan saya yang gak paham apa itu politik. Setelah googling ternyata dalam KBBI makna politik ada tiga poin yaitu:

1) (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan, dasar pemerintahan)
contoh: 'bersekolah di akademi politik'

2) segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau thd negara lain
contoh: 'politik dalam dan luar negeri kedua negara itu bekerja sama dalam bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan partai politik organisasi politik'

3) cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah); kebijaksanaan
contoh: 'politik dagang politik bahasa nasional'

Merujuk pada makna terakhir, saya jadi terpikir bahwa saya tidak memahami sesuatu yang saya benci. Hal ini membuat jantung ini berdebar. Enggan mengakui tetapi menyadari bahwasanya saya membutuhkan asupan gizi pengetahuan dan wawasan tentang perpolitikan.

Akhirnya saya tak dapat memungkiri lagi dan harus mengakui. Sebenarnya bukan semata-mata karena tersentil tetapi sedari awal melihat baner yang lewat saya sudah tertarik untuk mengikuti. Namun harus sabar menunggu hari itu tiba. Semoga bisa terleksana keinginan mengikuti acaranya. Aamiin.

Gambar dokumentasi Kompasianer  Penulis Berbalas

Mutia AH
Ruji, 29 Januari 2021

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun