Setiap ngopi di warung dekat SD Inpres, Karmin selalu berapi-api menceritakan jagonya. Tak ada cacat sedikitpun sosok jago yang ia ceritakan. Ia bilang, jika jagonya terpilih menjadi walikota, seluruh aspirasi masyarakat akan didengar dan ditampung. Rakyat akan bebas keluar masuk pintu kantor walikota. Apapun yang diminta rakyat, pasti akan dikabulkan.
"Tenang saja! Jika jago kita terpilih, tak akan ada lagi pengangguran di kota ini," Katanya dengan semangat berapi-api.
"Benar seperti itu, Min?"
"Tentu saja. Siapa yang tak kenal dengan Bagus Ghofar, pengusaha batu bara yang sukses itu? Semua orang di kota ini pasti mengenalnya. Hampir tujuh puluh lima persen partai politik mendukung Bagus Ghofar menjadi walikota. Bagus Ghofar pasti menang. Bagus Ghofar pasti amanah."
"Terus, nanti Aku bakal jadi apa, Min?" tanya Rasam.
"Bebas. Terserahmu! Kamu minta apa?" tantang Karmin. "Jadi karyawan pabrik baja? Jadi Satpol PP? Atau PNS?" Karmin menantang.
"Apa saja, Min. Yang penting Aku kerja."
"Beres. Mulai hari ini, kamu harus kerja keras mendukung Bagus Ghofar. Cari massa sebanyak-banyaknya!"
Laki-laki yang berperawakan tinggi dan berkumis daplang itu akhirnya mencalonkan diri menjadi walikota. Beberapa bulan sebelum penetapan calon walikotaa; poster, baliho dan spanduk bergambar Bagus Ghofar terpasang di berbagai sudut kota. Bagus Ghofar, Calon Pemimpin Masa Depan: Ramah dan Berkarakter.
Di pemilihan nanti, lawan terkuat Bagus Ghofar adalah Haji Marna, putra seorang Jawara di Kota Baja. Orang tua Haji Marna merupakan orang berpengaruh dan terpandang di kota itu. Asetnya menyebar di berbagai perusahaan. Tiga hotel megah yang berdiri di kota itu merupakan milik keluarga Haji Marna. Mendengar gaung keluarga Haji Marna yang kesohor, Bagus Ghofar yang masih keturunan ningrat itu tak gentar menghadapi kekuatan politik Haji Marna.
***
Rasam berjalan dengan langkah cepat menuju posko kemenangan. Disekanya keringat yang mengalir di didagunya. Ia membawa map yang berisi nama-nama warga yang akan mendukung Bagus Ghofar. Di tengah jalan, ia sudah membayangkan, berapa lembar rupiah yang ia akan pegang nanti. Deretan data nama-nama warga itu akan ditukar dengan ratusan lembar uang. Satu nama dikalikan dua ratus ribu rupiah. Di map itu, Rasam memegang 260 nama-nama pemilih. Semua data pemilih didapatkannya dari Lingkungan Mulyosari.
Sebelum Rasam mendapatkan nama-nama pemilih itu, ia dan Karmin membentuk satu tim kecil. Tim kecil itu sengaja ia bentuk untuk membantu mobilisasi pencarian massa. Tim kecil itu terdiri dari para pemuda yang sudah lama menganggur. Saat pembentukan tim kecil di rumah Karmin, hadir Pak Brata, PNS yang menjabat sebagai Lurah Tegal Papak.
"Loh, kok ada Pak Lurah Brata? Bukannya PNS tak boleh berpolitik yah?" tanya Midi ke Jali. Jali sedang serius membaca selebaran profil Bagus Ghofar.
"Husssttt.. sok tau kamu, Mid. Pak Lurah itu sarjana. Kita hanya lulusan SD. Tau apa soal politik." Jali melanjutkan membaca selebaran itu. Ia menghiraukan pertanyaan-pertanyaan Midi yang sebenarnya Jali tak mengerti pertanyaan dan pernyataan Midi.
Pada saat pembentukan tim di rumah Karmin, para pemuda dijanjikan akan dipekerjakan di salah satu perusahaan ternama jika Bagus Ghofar menang di pemilu. "Kerja? Itu mudah sekali bagi Bagus Ghofar. Percayalah!" Kata Karmin meyakinkan para pemuda.
Setelah tim itu terbentuk: Pak Brata sebagai penasihat, Karmin sebagai ketua, Rasam sebagai pelaksana lapangan, dan para pemuda itu sebagai anggota akan langsung bergerak esok hari. Dimulai dengan mengumpulkan nama-nama yang akan mendukung Bagus Ghofar.
"Kerja tim kita cukup di Lingkungan Mulyosari saja. Untuk Lingkungan yang lain, serahkan ke tim yang lain," Rasam menjelaskan.
"Siap, Kang Rasam."
Di akhir pertemuan, para pemuda itu mendapatkan amplop dan satu bungkus rokok. "Ini baru calon walikota," kata Aceng menimang-nimang amplop berisi satu lembar pecahan lima puluh ribu.
***
Di posko kemenangan, Karmin sudah menunggu. Ia mengajak Rasam menemui ketua kemenangan tingkat kota. Di gedung bercat biru itu, ada sekitar dua puluhan orang yang berperan seperti Karmin. Orang-orang itu juga sedang sibuk mendata nama-nama pendukung. Karmin dan Rasam menunggu giliran. Mereka berdua duduk di sofa di depan pintu ruangan ketua tim kemenangan tingkat kota. Mereka berdua terlibat obrolan dengan tim sukses yang lain.
"Tim sukses Haji Marna sudah mulai bergerak. Mereka sudah menyiapkan paket untuk mendapatkan suara," Kata Mang Jemblung, Jawara yang bereperan menjaga Pasar Baru. Tangan kanan Bagus Ghofar.
"Paket apa, Mang?" tanya Karmin penasaran.
"Bentuk paketnya masih belum jelas. Apakah uang, sembako, atau yang lainnya. Mamang durung olih info seng pas kih."
Suasana hening sejenak. Obrolan tentang paket untuk para pemilih menjadi perbincangan hangat di posko kemenangan. Ketua kemenangan harus memiliki strategi yang jitu untuk mendapatkan suara. Selain janji-janji yang akan diobral, mereka juga harus menyiapkan sejumlah paket agar mendulang banyak suara. Hal-hal seperti ini bukan barang baru bagi Karmin. Ia sudah memikirkannya matang-matang.
"Dengar-dengar dari salah satu relawan Haji Marna, mereka akan membagikan uang dan paket Ikan Lele, Mang," Roni memecah keheningan.
"Sirane jereh sape, Ron?" taya Mang Jemblung dengan nada meragukan.
"Teman SMP saya anggota tim kemengan Haji Marna, Mang. Semalam ia bercerita panjang lebar."
"Jika memang info itu benar, kita jangan sampai kalah! Jika mereka memberikan paket Lele, kita akan sawer mereka dengan paket Kambing. Kita akan membagi-bagikan satu ekor kambing di tiap-tiap TPS. Di pemilihan ini jagoan kita harus menang! Bagus Ghofar harus menang! SETUJU!" teriak Mang Jemblung.
"SETUJU..."
"Tapi awas! Jangan sampai paket kambing itu diketahui Tim Panwaslu. Kita harus hati-hati! Kita harus menjaga nama baik Bagus Ghofar," Kata Mang Jemblung dengan mimik yang serius.
Kini giliran Karmin dan Rasam memasuki ruangan ketua tim kemenangan tingkat kota. Karmin menundukan kepala ke arah Mang Jemblung dan ke arah tim sukses yang lainnya. Orang-orang yang sedang berkumpul itu mempersilahkan Karmin dan Rasam.
Di ruangan itu hanya ada ketua tim kemenangan tingkat kota dengan asistennya. Karmin dan Rasam dilayani oleh asisten itu, sedangkan ketua tim kemenangan sedang sibuk dengan gawainya. Rasam terlihat celangak-celinguk. Ia baru pertama kali masuk ruangan bercat kuning itu. Dinding di ruangan ketua tim kemenangan dipenuhi oleh photo-photo Bagus Ghofar dan para tokoh politik, tokoh agama, pejabat dan pengusaha. Berbeda dengan Karmin, ia terlihat santai. Tak ada tekanan. Ia sudah sering keluar masuk ruangan yang terasa cukup mewah itu.
***
Dua hari sebelum pemilihan, Karmin dan Rasam sudah menyiapkan satu ekor kambing untuk dibuat rabeg. Kambing itu didapatkan dari tim kemenangan kota yang telah didistribusikan ke tim-tim kecil secara sembunyi-sembunyi. Anggota panwaslu yang bertugas sudah dihadiahi tiga lembar pecahan seratus ribuan oleh Karmin. Karmin berpesan pada petugas pengawas itu untuk tidak mengusik wilayah yang dipegangnya.
Sebelum leher kambing digorok, Ustadz Tsani yang diberikan kepercayaan menyembelih kambing menanyakan kepada Karmin, "Untuk apa kambing ini, Min?"
"Itu Pak Ustadz. Anu. E... Diniatkan untuk acara syukuran saja Pak Ustadz," Jawab Karmin.
"Oh.. baik. Bismillahirrahmanirrahiim." Ustazd Tsani menempelkan golok tajam itu ke leher kambing yang dipegangi tiga pemuda. Anehnya, ketika Pak Ustadz Tsani mulai menyembilh, kambing itu mengeong seperti anak kucing yang sedang lapar. Meong.. Meong.. Meong..
"Loh kok kucing?"
"Itu kambing?"
"Kucing."
"Kambing kucing."
Sontak peristiwa itu membuat orang-orang yang disekitar kaget. Pak Ustadz Tsani tak henti-hentinya mengucapkan istighfar. Namun berbeda dengan Karmin, ia membaca fenomena ini sebagai tanda kemenangan untuk Bagus Ghofar.
Karmin mulai menenangkan orang-orang yang hadir menyaksikan fenomena itu, "Tenang saudara-saudara. Tenang. Ini pertanda baik bagi kita. Pertanda baik Bagus Ghofar. Kita akan menang telak."
"Kita lihat saja Marna, mana yang lebih cepat larinya ke langit. Lele atau kambing? Suara Bagus Ghofar pasti lebih unggul," Gumam Karmin melihat darah segar mengalir dari leher kambing yang mengeong.
***
Lampu tembak terpasang di empat arah mata angin. Beberapa warga melihat pemasangan tenda di lapangan serbaguna. Suasana pemilu di Lingkungan Mulyosari sangat berbeda dengan Lingkungan-lingkungan yang lain. Di Lingkungan Mulyosari, masyarakat sangat antusias dengan pemilu. Mereka sengaja datang, berkumpul di lapangan---tempat pemungutan suara.
Tak lama setelah tenda selesai didirikan, muncul mobil pick up berwarna hitam membawa meja, kursi dan kotak suara. Mobil yang membawa logistik untuk kebutuhan pemilu itu dikawal oleh satu orang polisi dan satu orang hansip.
Saat panitia menurunkan barang-barang, beberapa perwakilan tim sukses dari pasangan calon walikota berjalan mendekati mobil pick up. Polisi yang masih muda itu menyalami mereka berempat. Seorang panitia dari TPS IX menanyakan maksud kedatangannya. Mereka menjelaskan kepada panitia maksud dan tujuannya. Salah satu panitia dengan tegas menanyakan surat tugas dan kartu tanda pengenal. Para perwakilan itu menunjukkan masing-masing kartu tanda pengenal dan surat tugas. Diceknya satu persatu. Tak ada kejanggalan atau manipulasi dalam surat pengantar itu. Semua valid.
Saat orang-orang ramai dan sibuk di lapangan, Karmin dan Rasam mulai bergerak. Seluruh tim yang telah terbentuk kumpul di rumah Karmin. Karmin menginstrusikan pada para anggotanya untuk membagikan amplop ke para pemilih. Amplop itu berisi uang seratus ribu. Seharusnya, amplop itu berisi dua ratus ribu. Dengan seribu alasan yang dibuat-buat, Karmin dan Rasam memotong uang itu.
Para penduduk Mulyosari telah bertemu momen pemilu berkali-kali, dari mulai pemilihan anggotan dewan, walikota, gubernur hingga pemilihan presiden. Mereka hafal betul laku para tim sukses. Sebelum fajar terbit, biasanya tim sukses mulai bergerak. Mereka mendatangi rumah penduduk satu persatu untuk membeli suara. Di dalam amplop, terselip satu lembar kartu bergambar calon pemimpin yang ikut serta dalam pemilu.
Di malam itu para penduduk biasanya begadang sampai pagi. Mereka sengaja tak mengunci pintu rumahnya agar para tim sukses dengan mudah memasuki rumahnya tanpa ada kegaduhan. Tanpa ada kecurigaan dari polisi dan panwaslu.
Namun, sampai jam empat pagi Karmin dan timnya tak kunjung datang. Karmin sedang asyik dugem di bar laguna. Sedangkan tim yang diberikan tugas membagikan amplop, sedang asyik bermain judi. Para penduduk yang begadang di rumah masing-masing mulai resah. Mereka mulai bingung. Siapa yang akan dipilih jika tak ada satu pun tim sukses yang datang membawa mahar.
Suara adzan dari corong speaker masjid Nurul Jannah memecah kesunyian pagi itu. Masyarakat Mulyosari yang masih terjaga menambah resah. Padahal jauh-jauh hari mereka berekspektasi tinggi akan mendapatkan beberapa lembar rupiah menjelang pencoblosan. Penduduk yang begadang sampai pagi mulai mengutuki para tim sukses yang telah berjanji itu. Sumpah serapah keluar tak terbendung. Mereka tak habis pikir akan dipermainkan dan dibohongi Karmin cs.
"Karmin Sialan."
"Terkutuk kau Karmin."
"Edan. Tim sukses goblok."
"Penipu. Pembohong. Aku sumpahi kalian semua berak batu bara!"