Kemampuan membaca dan menulis masyarakat Indonesia ditengarai masih rendah. Produksi dan konsumsi buku menjadi salah satu ukurannya. Rendahnya literasi juga dapat dilihat di sekolah, saat siswa mengerjakan soal-soal bahasa yang berbasis bacaan. Secara umum mereka lambat dalam mencerna teks atau bahkan masih kesulitan menangkap ide pokok sebuah paragraf. Ironisnya, hal ini bahkan juga terjadi di kalangan pelajar tingkat pendidikan tinggi atau bahkan
pengurus publik.
Dukungan dan perhatian para pengambil kebijakan, baik di sekolah maupun di tingkat pengurus publik, untuk mendukung literasi tampak masih kurang. Membaca dan menulis masih belum dianggap sebagai basis penting pendidikan. Dukungan dan perhatian yang ada kadang lebih bersifat formal saja. Contoh konkretnya, sejauh ini tidak banyak sekolah yang memberi perhatian serius pada pengembangan perpustakaan dan kegiatan pendukung lain untuk mendukung semangat membaca dan menulis. Selain sekolah dan pengambil kebijakan di jajaran pengurus publik, ada pihak lain yang sebenarnya dapat memainkan peran dalam meningkatkan literasi khususnya di kalangan pelajar dan remaja, yakni penerbit. Sebagai “pabrik buku”, penerbit sebenarnya menjadi salah satu pemain penting dalam menyemarakkan literasi. Penerbitlah yang menyediakan bahan-bahan bacaan untuk masyarakat. Peran penerbit yang paling tampak adalah pada penyediaan bahan bacaan yang bermutu dan diminati masyarakat. Dalam konteks ini, penerbit yang punya idealisme untuk ikut mengembangkan literasi dan “mencerdaskan kehidupan bangsa” tentu akan berupaya untuk menerbitkan bacaan yang bermutu. Dengan sejumlah cara, penerbit akan berusaha untuk mengendalikan mutu buku yang disiarkannya. Namun, menghadapi perkembangan dan persaingan pasar, kadang penerbit buku bersikap cukup pragmatis. Hasilnya, mutu buku kadang kurang terjaga. Selain berkaitan dengan unsur di dalam penerbit itu sendiri, sebenarnya penerbit buku dapat memainkan peran yang lebih besar untuk mendukung gerakan literasi, khususnya di sekolah atau kalangan remaja atau komunitas (masyarakat) pada umumnya. Bentuknya dapat berupa memberi bantuan buku atau harga khusus untuk pembelian buku oleh perpustakaan atau komunitas, terutama yang memang memiliki kemampuan keuangan di bawah rata-rata. Para pegiat literasi sebenarnya berharap penerbit secara strategis memiliki visi dan kepedulian dalam mengembangkan literasi secara lebih aktif. Secara perhitungan bisnis, jika literasi semarak, penerbit tentu juga akan diuntungkan. Penjualan buku sangat mungkin akan meningkat jika masyarakat sudah gemar membaca. Bahkan penyuplai naskah layak terbit bisa saja akan menjadi lebih mudah dibandingkan situasi saat ini. Namun sejauh ini saya tak melihat ada penerbit yang secara terencana memiliki program untuk ikut menyemarakkan literasi. Sampai kemudian kemarin saya menerima kiriman buku dari rekan saya yang merupakan pemilik dan CEO Penerbit Diva Press Group Yogyakarta,
Edi AH Iyubenu. Buku yang dikirimkannya berjudul
Silabus Menulis Fiksi. Buku setebal 44 halaman yang memuat tutorial praktis menulis fiksi ini ditulis sendiri oleh Edi. Pria yang bernama asli Edi Mulyono kelahiran Sumenep ini sebelum mendirikan penerbit memang telah malang-melintang di dunia kepenulisan, khususnya fiksi. Cerpen-cerpennya dahulu telah dimuat di mana-mana, mulai dari
Kompas, Republika, Media Indonesia, Horison, dan media-media seantero nusantara. Buku ini sangat menarik paling tidak karena dua alasan. Pertama, buku ini dapat menjadi panduan menulis fiksi bagi pemula. Penyajiannya yang sederhana dan disertai contoh-contoh tampak banyak berangkat dari pengalaman penulisnya sehingga benar-benar dapat menuntun penulis pemula untuk berkarya. Bahasa dan gaya penyampaiannya cenderung disesuaikan dengan gaya remaja masa kini. Karena alasan ini, semalam saya pamit kepada Edi untuk memperbanyak buku ini. Sebenarnya, di bagian kata pengantar Edi telah mempersilakan pembaca yang berminat untuk menggandakan buku ini. Saya pamit sekaligus sebagai pemberitahuan dan pengakuan bahwa buku ini akan sangat bermanfaat untuk saya gunakan dalam mendorong kegiatan kepenulisan fiksi pada khususnya di sekolah dan komunitas saya. Apalagi saya di SMA 3 Annuqayah mengampu pelajaran Bahasa Indonesia sehingga buku ini akan saya wajibkan untuk dibaca siswa di kelas saya pada khususnya. Alasan kedua ketertarikan saya pada buku ini adalah karena ternyata kehadiran buku ini tidaklah berdiri sendiri. Ternyata, Diva Press Group memiliki beberapa program yang menunjukkan kepedulian mereka untuk mendorong literasi, khususnya di kalangan remaja. Buku
Silabus Menulis Fiksi ini sebenarnya merupakan bagian dari rancangan kegiatan Diva Press itu. Di bagian akhir buku ini, tercantum empat program Diva Press Group berupa pelatihan penulisan fiksi dan juga pendampingan penulisan novel sampai layak terbit. Pelatihan penulisan dilakukan dalam program #KampusFiksi, #JustWrite, dan #TimTentorMenulisAntarKotaAntarPropinsi. #KampusFiksi dilaksanakan tiap bulan bertempat di Yogyakarta. Pada kegiatan ini, Diva menyediakan 30 kursi bagi mereka yang lolos seleksi untuk mengikuti pelatihan penulisan fiksi. #KampusFiksi akan dimulai akhir bulan ini. Alumni #KampusFiksi nanti akan diberi kesempatan untuk hadir dalam acara tahunan #JustWrite. Sebagai acara tahunan, #JustWrite sebenarnya sudah dilaksanakan sejak 2012. #LelangNulisNovel adalah program mingguan yang memberi kesempatan kepada peserta yang mendaftar via akun twitter @edi_akhiles (Edi AH Iyubenu) untuk mendapatkan bimbingan pengembangan cerita pendek menjadi novel hingga layak terbit. Program keempat, #TimTentorMenulisAntarKotaAntarPropinsi, merupakan kegiatan bimbingan menulis yang dilaksanakan di sekolah atau komunitas yang mengundang Tim Diva Press. Buku
Silabus Menulis Fiksi ini adalah panduan utamanya. Tim Diva secara gratis akan memberikan pelatihan penulisan fiksi. Untuk wilayah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, 100% gratis. Di luar itu, Tim Diva hanya perlu biaya transportasi. Keempat program Diva Press Group ini bagi saya memperlihatkan kepedulian penerbit untuk melakukan sesuatu yang sekiranya dapat mendorong semangat menulis pada khususnya di kalangan remaja. Tentu saja Diva memiliki kepentingan bahwa para penulis yang mungkin lahir dari kegiatan ini akan menerbitkan karyanya di Penerbit Diva Press Group. Tapi sejak awal Diva menyampaikan bahwa penulis alumni kegiatan Diva tidak terikat untuk harus menerbitkan karyanya di Diva Press Group. Saya memberi penghargaan yang setinggi-tingginya atas penerbitan buku
Silabus Menulis Fiksi yang menurut Edi AH Iyubenu dibagikan gratis dan keempat program yang dirancang Diva Press Group ini. Jika dibandingkan dengan penerbit lainnya, Diva Press Group, yang didirikan sejak tahun 2001, mungkin belum bisa dibilang penerbit yang sangat besar. Saya tahu persis bagaimana di awal-awal berdirinya Edi bekerja keras agar Diva dapat “bertahan hidup” di tengah persaingan bisnis perbukuan yang pada waktu itu cukup ketat. Beberapa penerbit di Yogyakarta seangkatan Diva kini sudah tak terdengar lagi kabarnya. Tapi Diva masih eksis. Terlepas dari kekurangan yang mungkin masih ada, sekali lagi saya salut pada Diva yang sependek pengetahuan saya menjadi penerbit pertama yang meluncurkan sejumlah program untuk menyemarakkan literasi di kalangan remaja. Setelah saya tamat membaca buku
Silabus Menulis Fiksi kemarin sore, gagasan tentang kepedulian penerbit pada literasi ini terus menyerbu pikiran saya. Saya sempat mengutarakannya kepada Edi melalui akun twitter saya. Namun saya merasa perlu menuliskannya secara lebih utuh. Saya percaya bahwa gagasan Edi dan Diva Press untuk merancang kegiatan ini bukan semata didorong oleh pertimbangan bisnis, yakni investasi jaringan penulis muda yang bisa saja di antara mereka suatu saat akan muncul sebagai penulis hebat. Saya mencoba memahami terobosan Edi dan Diva ini sebagai bagian dari sejarah hidup Edi dan Diva “bertahan hidup” di dunia kepenulisan dan penerbitan. Pada rentang tahun sekitar 1996 hingga 2000-an, Edi AH Iyubenu dikenal sebagai penulis yang tak kenal menyerah. Salah seorang saudara sepupu saya,
M. Faizi, yang cukup dekat dengan Edi AH Iyubenu kerap menyampaikan cerita bahwa ketika Edi baru kuliah di Yogyakarta pada pertengahan 1995, tulisannya ketika itu masih bisa dibilang belum layak terbit. “Edi bahkan saat itu menulis cerpen tanpa menggunakan paragraf. Dia bilang, ‘kan nanti redakturnya yang akan membuat paragraf,” tutur M. Faizi pada saya. Tapi dia memberi kesaksian bahwa kerja keras Edi dalam mengasah kemampuan kepenulisannya memang luar biasa. Dengan mesin ketik manual, produktivitas Edi dalam menulis cerpen pada masa awal di Yogyakarta patut dicontoh. Menurut pengakuannya, waktu itu dia bisa menulis 2 hingga 5 cerpen dalam sehari. Salah satu yang cukup fenomenal adalah pada 13 November 1997, saat ulang tahunnya yang ke-20, Edi mencoba menulis cerpen nonstop di kamarnya. Menurut penuturan M. Faizi, Edi memang tidak berhasil memenuhi targetnya, yakni menulis 20 cerpen di hari ulang tahunnya yang ke-20. Tapi Edi di hari itu menulis belasan cerpen! Perjuangan Edi dalam membangun penerbit, yakni Diva Press Group, juga tak kalah heroik. Dengan modal yang pas-pasan dan di tengah persaingan yang cukup ketat, pada akhirnya Diva bisa bertahan dan malah berkembang hingga saat ini menjadi salah satu penerbit yang cukup produktif. Jadi, berangkat dari kerja keras dan perjuangan yang luar biasa di dunia kepenulisan dan penerbitan, Edi tampaknya punya semangat berbagi yang kuat. Jika ia kini bisa dikatakan telah meraih kesuksesan duniawi melalui dan dalam dunia literasi (perbukuan), saya melihat bahwa Edi melalui programnya ini ingin mempersembahkan sesuatu untuk jagad literasi dan remaja pada khususnya. Saya membayangkan andai kata beberapa penerbit yang lain mengambil langkah serupa dengan merancang kegiatan yang membantu mendorong literasi, saya pikir generasi muda kita dan bangsa kita pada umumnya akan lebih sigap menghadapi tantangan era informasi. Sekali lagi, salut untuk Edi dan Diva Press Group! Tulisan ini semula ditayangkan
di sini.
KEMBALI KE ARTIKEL