Dunia saat ini dilanda krisis iklim, yang juga berdampak besar bagi kota Jakarta, terutama karena kenaikan permukaan air laut. Permukaan air laut Jakarta telah meningkat sekitar tiga meter dalam tiga puluh tahun terakhir, memperburuk kondisi kota yang sudah rentan terhadap banjir. Ratarata kenaikan permukaan air laut Indonesia adalah 4-6 milimeter per tahun, menurut beberapa sumber. Namun, penurunan muka tanah yang cepat di Jakarta mencapai 17 cm per tahun, hal ini membuat kota ini menjadi salah satu yang paling terancam tenggelam di dunia. Beberapa penyebab utama dari masalah ini antara lain pengambilan air tanah yang berlebihan, pembangunan infrastruktur yang masif, dan sistem drainase yang kurang memadai. Selain pengambilan air tanah yang berlebihan, pembangunan gedung tinggi dan jalan raya menambah tekanan pada tanah. Kondisi ini memperparah risiko banjir rob yang sering terjadi di Jakarta. Dengan posisi geografisnya yang rendah dan ketergantungan pada pengambilan air tanah yang berlebihan, Jakarta menjadi salah satu kota paling rentan terhadap ancaman tenggelam. Penurunan muka tanah yang drastis ini ditambah dengan kenaikan permukaan air laut menciptakan ancaman serius bagi kehidupan masyarakat dan infrastruktur kota. Diperkirakan bahwa pada tahun 2050, sekitar 160,4 km² dari wilayah Jakarta akan terendam air.
Kualitas hidup penduduk Jakarta sangat terpengaruh oleh perubahan iklim yang semakin parah, terutama karena naiknya permukaan air laut. Penurunan akses terhadap air bersih adalah masalah yang paling mendesak. Karena sekitar 18 hingga 20 persen wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut, banyak sumber air bersih terancam terkontaminasi oleh air laut yang masuk ke dalam tanah. Akibatnya, warga kesulitan mendapatkan air bersih yang layak untuk konsumsi, yang meningkatkan risiko kesehatan masyarakat. Selain itu, ruang hijau publik di Jakarta juga berada dalam bahaya. Dengan peningkatan permukaan air laut dan banjir rob, banyak area hijau yang seharusnya berfungsi sebagai tempat rekreasi dan penyerapan air menjadi tidak dapat diakses. Karena kurangnya tempat untuk beraktivitas fisik dan bersosialisasi, ruang hijau yang semakin berkurang juga berdampak pada kualitas udara dan kesejahteraan mental penduduk. Dengan demikian, jelas bahwa perubahan iklim tidak hanya merupakan masalah lingkungan tetapi juga berdampak pada kehidupan sehari-hari dan kesehatan masyarakat Jakarta.
Krisis iklim di Jakarta memberikan dampak yang sangat tidak adil, terutama bagi masyarakat miskin yang tinggal di kawasan pesisir. Meskipun kontribusi mereka terhadap emisi gas rumah kaca sangat kecil, mereka adalah kelompok yang paling merasakan dampak dari perubahan iklim. Banyak dari mereka harus menghadapi ancaman banjir rob dan luapan sungai yang semakin sering terjadi, yang mengancam tempat tinggal dan mata pencaharian mereka. Sebagian besar penduduk miskin Jakarta tinggal di daerah yang paling rentan, seperti Cilincing dan Penjaringan, di mana keadaan geografis membuat mereka lebih rentan terhadap peningkatan permukaan air laut. Mereka sering kali diharuskan untuk melakukan adaptasi, seperti meninggikan rumah atau memasang palang pintu untuk mencegah air masuk, tetapi upaya ini sering kali tidak cukup untuk mencegah dampak yang semakin parah. Selain itu, mereka memiliki akses yang sangat terbatas ke ruang terbuka hijau dan air bersih, yang menyebabkan kualitas hidup mereka semakin buruk. Kondisi ini menunjukkan bahwa kebijakan iklim saat ini kurang mempertimbangkan kebutuhan kelompok rentan. Perspektif dan kebutuhan masyarakat yang paling terdampak sering kali tidak dipertimbangkan saat perumusan kebijakan dilakukan tanpa melibatkan mereka. Hal ini menyebabkan ketimpangan sosial yang signifikan, dan akibatnya, krisis iklim yang tidak adil akan memengaruhi masyarakat miskin.
Semua pihak harus segera mengambil tindakan untuk mengatasi perubahan iklim yang semakin parah, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, yang berada di bawah bahaya akibat naiknya permukaan air laut. Tidak dapat diabaikan bahwa masyarakat secara keseluruhan dan pemerintah merasakan dampak perubahan iklim. Pengurangan emisi gas rumah kaca dan perlindungan ruang terbuka hijau adalah tindakan proaktif yang harus diambil oleh pemerintah untuk mengatasi masalah ini. Namun, peran masyarakat juga sangat krusial dalam menghadapi krisis ini. Kesadaran dan partisipasi aktif dari warga dalam berbagai program lingkungan, seperti pengelolaan sampah dan penggunaan energi terbarukan, dapat memperkuat upaya mitigasi yang dilakukan oleh pemerintah. Melalui kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat, diharapkan dapat tercipta solusi yang lebih efektif dan berkelanjutan. Misalnya, inisiatif seperti penanaman pohon dan restorasi lingkungan dapat meningkatkan ketahanan kota terhadap bencana alam yang disebabkan oleh perubahan iklim.
Jika semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat, bersinergi dalam upaya ini, Jakarta tidak hanya dapat bertahan dari dampak perubahan iklim tetapi juga berkembang menjadi kota yang lebih hijau dan berkelanjutan. Dengan perencanaan yang matang dan implementasi kebijakan yang efektif, harapan untuk masa depan Jakarta yang lebih baik masih dapat terwujud.
Â
Referensi :
https://journals.unihaz.ac.id/index.php/georafflesia/article/view/3203 https://eprints2.undip.ac.id/id/eprint/18111/3/Bab%202.pdf https://www.antaranews.com/berita/4542206/jakarta-terancam-tenggelam-ini-penyebabnya
Â
Â
Â