Asa terhadap birokrasi yang bersih, berwibawa dan melayani masyarakat diperkuat dengan berbagai kebijakan yang disusun oleh pemerintah. Puncaknya dengan disahkannya Undang undang nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatus Sipil Negara (ASN) memberi harapan tinggi tidak hanya bagi "Abdi Negara" namun masyarakat secara keseluruhan. Dalam beberapa ulasan, pendapat, dan diskusi yang pada kesimpulannya Undang undang tersebut dapat mengurangi bahkan "menghilangkan" intervensi politik dari penguasa lokal (dibaca: Gubernur dan Bupati/Walikota) terhadap peran, tugas, dan fungsi "Abdi Negara" dalam hal ini Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang sejatinya harus memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam Undang undang Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN dinyatakan bahwa komponen dari ASN adalah PNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Perbedaan yang mendasar antara PNS dengan PPPK antara lain dalam hal: mendapatkan pensiun, kesempatan menduduki jabatan "struktural", dan "kontrak" kerja dengan pemerintah/negara. Bagi PNS sampai dengan saat ini mereka yang sudah pensiun masih mempunyai hak mendapatkan pensiun bahkan sampai bisa "dialihkan" ke istri atau suami, sedangkan bagi PPPK tidak ada hak tersebut. Untuk menduduki jabatan struktural seperti Pimpinan Tinggi, Administrator, dan Pengawas hanya bisa dijabat oleh PNS, sedangkan PPPK tidak. Ikatan kontrak kerja yang bisa disebut Surat Keputusan Pengangkatan menjadi pegawai, bagi begitu mendapatkan Surat Keputusan (SK) sebagai PNS maka akan berlaku sampai dengan yang bersangkutan berusia 56 tahun bagi JFU bagi JFT disesuaikan dengan peraturan yang mengaturnya ada 60 tahun, 65 tahun, bahkan 70 tahun, sedangkan bagi PPPK kontrak kerja hanya berlaku 1 tahun dan apabila dipandang masih dibutuhkan maka dapat diperpanjang dengan masa perjanjian 1 tahun.
Pada masa awal otonomi daerah bahkan sampai sekarang politisasi terhadap birokrasi bukan suatu hal yang langka. Hampir disetiap daerah kepala daerah yang petahana ketika perispan untuk ikut kembali dalam pilkada langsung (PILKADAL) sering bahkan bisa disebut "pasti" memanfaatkan jaringan birokrasi untuk mempertahankan kekuasaannya. Hampir semua analis, pengamat, pejabat, bahkan beberapa politisi (yang sebetulnya menikmati juga politisasi birokrasi) ramai - ramai menyuarakan agar dilakukan depolitisasi birokrasi. Maka pada ujungnya digagas dan disusunlah Undang undang tentang ASN. Semoga niatnya benar - benar tulus untuk mengembalikan PSN sebagai Abdi Negara bukan Abdi Politisi, amien.
Jangan sampai justru lahirnya Undang undang ASN ini malah melanggengkan praktik politisasi birokrasi dalam bentuk lain. Seperti memanfaatkan komponen PPPK untuk menampung para "tim suskses" dalam rangka membagi dan menikmati kue pembangunan di daerahnya hanya untuk kelompoknya sendiri tanpa mempedulikan pelayanan publik kepada masyarakatnya. Harapan saya semoga peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan dibawahnya sebagai bentuk operasionalisasi dari Undang undang ASN disusun benar - benar untuk mengawal depolitisasi birokrasi. Biarkanlah birokrat kembali kejalanya semula untuk mengabdi dan melayani masyarakat. Janganlah meraka (ASN khususnya PPPK) dijadikan alat politik untuk melanggengkan keuasaan.