Sejak kemarin, jagat dunia nyata dan dunia maya dihebohkan dengan penusukan yang dialami oleh Wiranto di alun-alun Menes, Pandeglang, Banten. Bahkan sampai sekarang, masih hangat diperbincangkan. Bukan saja karena Wiranto yang menduduki salah satu struktur terpenting dalam negara ini tapi juga pelakunya yang ditengarai terlibat dalam jaringan terorisme Internasional.
Tentu saja gempar. Banyak orang mempetanyakan, bahkan meragukan. Framing pemberitaan kemudian menjadi demikian tidak asik karena kembali terpolakan pada persoalan klasik. Itu-itu saja, dan begitu-begitu saja suaranya. Soal polarisasi yang tak akan pernah selesai, dan pada titik tertentu semakin mencurigakan banyak pihak, bahwa mungkin saja memang ada kelompok yang "mengompori", termasuk kemungkinan social tribalism.
Pasca kejadian, hingar bingar pemberitaan memenuhi ruang audio-visual kita. Satu sisi kita disadarkan akan pentingnya keamanan, terutama bagi para pejabat-pejabat negara. Ada persoalan intelijen yang perlu dipertanyakan, padahal mereka sudah memetakan jaringan terorisme dan radikalisme sedemikian rupa.
Selain itu, pengawalan yang lengah, tak waspada, dan keteledoran menjadi salah satu poin analisa. Bagaimana mungkin seorang Wiranto, Menko Polhukam, yang seharusnya mendapatkan pengamanan ketat justru bisa dengan mudah ditembus. Bagaimana kalau senjata yang digunakan bukan kunai, tapi bom atau tembak, misalnya. Selesai urusan. Jadi itu barang!
Tentu saja kenekatan jarak dekat yang dilakukan oleh pelaku tak luput dari pantauan. Entah apa yang memantik kekalapan Syahrizal Alamsyah alias Abu Rara serta istrinya, Fitri, bisa bertindak senekat itu. Jelas keduanya ingin membunuh, tak peduli lagi setelahnya mereka akan dihukum mati atau apapun yang penting tujuannya tercapai. Mau dibunuh di tempat sekalipun, mereka pasrah. Â
Usaha keduanya untuk menciptakan teror dan ketakutan telah berhasil. Bahkan, pada titik tertentu cukup berhasil ketika mampu melukai Wiranto. Kalau benar mereka adalah bagian dari jaringan terorisme, tentu usaha mereka tak sia-sia. Minimal, menciptakan ketakutan bagi pejabat lainnya. "Pak Wiranto saja yang tugasnya mengamankan negara, tidak aman. Apalagi dengan yang lainnya!". Begitu kira-kira.
Sampai saat ini masih tetap hingar, melahirkan tafsir yang bermacam-macam. Perang antara simpati dan emosi tak dielakkan. Tiba-tiba saja, banyak orang menjadi detektif dan ahli forensik, yang sedemikian asik mengeluarkan analisa-analisa, tentu berdasarkan informasi yang diterima. Tak mesti benar, yang penting sesuai dengan "selera".
Dari beberapa media mainstream, yang memuat keterangan beberapa pihak dan bisa diverifikasi, Wiranto mengalami dua luka tusuk, termasuk keterangan dari Dokter yang menangani pasca peristiwa. Setelah dipindahkan ke RSPAD, Wiranto dioperasi karena terdapat luka pada ususnya. Informasi ini diperkuat dengan statement Mahfud MD, yang menjenguknya.
Banyak yang mengungkapkan rasa sedih, simpati, dan dukungan pada Wiranto. Mereka beramai-ramai mengutuk perilaku sadis terhadap pejabat negara sekaligus mengutuk perilaku teror yang dilakukan oleh para pelaku. Di twitter, Wiranto menjadi trending topic.
Namun, menjadi semakin runyam ketika ada pihak-pihak tertentu yang mengatakan, bahwa penusukan itu adalah bagian dari sandiwara, drama, sinetron, dan akal-akalan. Tak hanya kalangan masyarakat bawah yang memercayainya, bahkan sekelas Hanum Rais juga ikut menyuarakan hal yang sama, bahkan ada analisa tujuannya. Sebagai penulis, mungkin daya imajinasinya yang sangat kuat menuntunnya menemukan potongan puzzle yang tak terlihat orang sakti sekalipun.
Aneh juga kalau sosok hebat sekelas Hanum Rais mengeluarkan pernyataan sangat tidak jelas seperti itu. Tapi tidak terlalu aneh juga sebenarnya, ketika kita ingat bagaimana ia "gagal total" mengindikasi memar di wajah Ratna Sarumpaet, dan menjadi bagian dari penyebar hoaks yang mengguncang itu. Meski akhirnya ia mengatakan "kehapus", tapi publik sudah paham apa yang sebenarnya ia cuitkan dan publik tahu mana informasi yang bisa dipercaya atau tidak. Persis seperti cuitannya kembali pasca insiden "kehapus" itu.
Entah darimana analisa itu kemudian muncul, tapi keberadaan video yang disebarkan oleh akun Opposite jelas semakin "membahagiakan" bagi pihak-pihak yang memang semula tak percaya dengan penusukan itu. Video hasil edit, dengan tambahan narasi, lalu ada slow-motionnya itu berhasil "mempertahankan ketidak-percayaan" sebagian masyarakat.
Padahal video itu bukan satu-satunya. Ada banyak versi yang beredar karena sebagian masyarakat yang hadir ketika itu juga ikut mengambil video. Ada satu versi, yang diambil dari sisi tepat di depan Wiranto saat turun dari mobil dan dapst dilihat dengan jelas, bahwa ada penusukan disana. Dilakukan dengan keras dan cepat ke daerah perut Wiranto yang akhirnya roboh. Sulit memercayai, bahwa itu adalah drama dan sandiwara.
Kelompok inilah yang mungkin lebih pantas dimasukkan kepada kelompok emosi, hilang segala empati dan simpati
Peristiwa ini menjadi semakin "lengkap" ketika muncul hoaks yang menyasar Wiranto dan keluarganya. Ada semaca pihak tersembunyi yang sedang melakukan social tribalism. Menyulut api untuk semakin menggaduhkan suasana di dunia medsos ketika tak lama pasca penusukan, muncul hoaks yang beredar secara massif, bahwa pelakunya adalah sosok berjenggot yang bersama Wiranto dalam sebuah foto keluarga.
Ya, betul. Foto yang tahun lalu viral itu dimunculkan kembali untuk menciptakan hoaks. Menantu Wiranto, dalam foto hoaks yang beredar, dianggap sebagai pelaku penusukan hanya karena kesamaan jidat dan jenggotnya. Padahal, tak sulit untuk mencari beritanya di internet, bahwa foto itu diambil pada saat proses pemakaman cucunya. Jadi foto itu benar-benar hoaks. Sudah terverikasi melalui laman website turnbackhoax.
Dari sisi pemilihan hoaksnya, orang-orang yang memilih foto itu justru sebenarnya melakukan "blunder" karena bukan semakin memojokkan Wiranto tapi justru membangkitkan ingatan banyak orang, bahwa keluarga Wiranto itu sangat demokratis dan Islami.
Anak tertuanya adalah seorang Jama'ah Tabligh yang sudah menuntaskan khuruj ke beberapa daerah termasuk ke India, Pakistan, dan Bangladesh. Anak perempuannya memakai cadar. Sementara anak bungsunya yang meninggal dan dimakamkan di Afrika Selatan, memutuskan untuk keluar dari UGM dan memilih berkuliah di Afrika Selatan dalam bidang Tafsir Hadis dan al-Quran. Sisi kehidupan yang tak banyak diketahui orang, jauh dari hingar bingar.
Bagian yang paling tak masuk akal dan menandakan hilangnya kewarasan dari sebagian masyarakat kita adalah ketika tertawa, bahagia, dan mendoakan orang yang sedang terkena musibah untuk semakin celaka. Susah dijangkau oleh akan sehat ketika hanya karena alasan tidak suka lalu kita berlaku sedemikian buruknya. Hal ini banyak sekali ditemukan di medsos, terutama di kolom-kolom komentar.
Susah mengukur tingkat kewarasan ketika musibah yang menimpa seseorang dirayakan melalui cacian dan nyinyiran.
Maka, bagi saya wajar ketika ada istri beberapa tentara yang akan diproses hukum karena membuat status "mengerikan" terkait penusukan Wiranto yang dianggap sandiwara, provokatif, dan sangat tidak pantas karena mendoakan Wiranto cepat meninggal. Suami mereka juga mendapatkan imbas. Selain dicopot dari jabatannya, suami-suami yang mungkin tak tahu menahu apa yang dilakukan istrinya itu juga akan ditahan selama 14 hari.
Kita ini masih manusia, Bro. Salam.
Mustafa Afif,
Kuli Besi Tua