Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Anjing dan Rumitnya Rekonsiliasi

4 Juli 2019   16:21 Diperbarui: 4 Juli 2019   16:38 110 2
Dalam beberapa hari terakhir, bangsa ini sedang meributkan sebuah peristiwa yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara yang seharusnya, tapi kemudian menjadi gaduh luar biasa. Tentang seorang ibu, yang katanya pengidap schizofrenia paranoia, memasuki masjid dengan membawa anjing dan tanpa melepaskan alas kaki. Ibu itu pun sempat marah-marah, entah dinggap hal itu biasa saja atau karena memang "dirinya" sedang bermasalah, dan terlihat berdebat dengan pengurus masjid yang kemudian membuat gaduh, sebelum akhirnya masalah itu berujung pada penanganan Kepolisian setempat.

Di timeline twitter, di wall Facebook, di  instagram, di story dan broadcast Whatsapp, serta di pemberitaan beberapa media massa kasus itu kemudian heboh sedemikian rupa. Satu kasus tertentu, bisa jadi memang biasa-biasa saja, tapi kerap kali narasilah yang membuatnya luar biasa. Kata-katalah yang menjadikan sebuah peristiwa lebih terasa. Maka, saat rasa sudah mulai dimainkan, subjektivitas menjadi keniscayaan.

Ada banyak yang kontra, sebagaimana juga banyak yang membela dan menganggap respon yang diberikan terlaku lebay.

Bagi yang kontra, jelas tak bisa ditoleransi. Ayat dan hadisnya sudah tak perlu ditafsiri lagi. Selain soal alas kaki yang sudah pasti menyulut emosi, anjing itu najis mughalladah. Najis level paling tinggi. Sementara masjid itu suci, tempat ibadah. Diperparah dengan ekspresi dan kalimat-kalimat Ibu itu yang dianggap telah menista dan membuat yang dihadapannya semakin jengkel. Sudah tahu salah, ngeyel. Begitu kira-kira.

Semakin parah ketika video yang beredar dibumbui dengan narasi dan kalimat yang berpotensi semakin memecah belah seperti, "orang kafir sudah berani menginjak-injak tempat suci dan rumah Allah" atau sederet kalimat lain yang isinya sumpah serapah.

Sementara bagi kelompok lain yang sebaliknya, respon yang diberikan terlalu berlebihan, katanya. Mereka kemudian memberikan bantahan, sanggahan, atau beberapa peristiwa yang mestinya menjadi pertimbangan. Anjing, yang sebenarnya tidak tahu apa-apa, kemudian menjadi perbincangan. Ada yang mengirimkan video dimana anjing masuk masjid dan berlari-lari saat jamaah sedang melaksanakan shalat berjamaah. Beredar pula foto-foto anjing yang sedang berkeliaran di sekitaran Masjidil Haram.

Anjingnya Soekarno, Ketuk 1 dan Ketuk 2 juga ikut dibagikan. Termasuk soal anjing yang menjadi penyebab pelacur masuk surga, anjingnya Ashabul Kahfi, kisah-kisah para sufi yang berkaitan dengan anjing, dan sederet "penguat" lain yang sebagiannya, menurut saya, tidak kontekstual dan ngaco. Untuk apa? Untuk menjelaskan, bahwa respon kelompok lainnya itu berlebihan, over-reactive. Semakin membuat gaduh ketika sebagiannya membubuhi kalimat-kalimat bernada provokatif seperti "bawa anjing ke Masjid saja ribut. Kalian malah membawa bom ke geraja" dan yang sejenisnya.

Memang benar, kata-kata dan narasilah yang membuat peristiwa semakin purna!

Saya tidak mau masuk terlalu dalam soal perbedaan, pandangan tentang anjing dan posisinya dalam Islam, serta respon dari masing-masing kelompok yang saling bertentangan. Bagi saya, apapun alasannya, ibu itu tetaplah salah. Semakin parah ketika ia justru nyolot. Tapi kalau memang benar ia sedang mengalami masalah psikologis, tentu harus menjadi pertimbangan agar tak berat sebelah. Biarkan persoalan itu selesai sebagaimana seharusnya, sesuai dengan hukum dan pertimbangan lain yang sudah ada.

Menjadi menarik bagi saya, secara pribadi, ketika mau-tidak mau dan suka-tidak suka, kita masih dihadapkan pada kenyataan, bahwa rekonsiliasi itu bukan perkara sederhana. Peristiwa ini menunjukkan dengan terang benderang tentang rumitnya berdamai saat keadaan sedang tercerai berai oleh berbagai perbedaan. Peristiwa yang biasa, akan tetap menjadi luar biasa ketika dibumbui dengan perbedaan-perbedaan yang melekat sebelumnya. Peristiwa sederhana akan menjadi tak biasa ketika polarisasi masih menghantui kehidupan berbangsa kita.

Sepertinya, hal-hal semacam inilah yang akan tetap terjadi dan menghiasi bangsa ini. Beban perbedaan yang sedemikian kuat, akan menjadikan hal yang seharusnya remeh-temeh berubah gawat. Polarisasi yang sedemikian akut, akan menjadikan sesuatu yang seharusnya sederhana berubah menjadi ribut. Realitas ini ditopang dengan dunia medsos yang semakin liar. Sekali isu dilempar, dunia maya menjadi pasar. Siapapun ikut memberikan komentar. Tak ada lagi ahli atau yang hanya berkoar.

Apalagi, kondisi psikologis pasca Pilpres masih belum sepenuhnya pulih. Alih-alih akan pulih, situasi seperti itu mungkin saja akan tetap dipertahankan hingga batas yang tak ditentukan. Sebab setiap peristiwa yang terjadi, entah bagaimana alurnya, akan selalu dikaitkan dengan perbedaan-perbedaan pilihan yang sebelumnya sudah lama berkelindan.

Sejak kapan ini terjadi? Sejak beberapa tahun belakangan, saat bangsa ini, tetiba menjadi gagap kembali dalam merespon perbedaan yang sudah terbukti menjadi kekuatan namun berubah menjadi begitu menakutkan. Maka, menjadi tugas kita bersama sebagai anak bangsa untuk bisa meredam, bukan terus menerus "mempertahankan dendam", pada akhirnya.

Rekonsiliasi itu berat, Malih! (Baca juga artikel saya sebelumnya tentang rekonsiliasi: di Berharap Jakarta Lebih Buruh (Hanya) untuk Membully Anies: Absurd!)

Mustafa Afif
Bukan Ahli Hanya Kuli Besi

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun