Sesungguhnya baginda Nabi Ibrahim seorang yang terlalu banyak melakukan korban. Suatu ketika Baginda menyembelih korban sebanyak 1000 kambing, 300 lembu dan 100 unta, hingga masyarakat sekeliling bahkan malaikat kagum dan heran. Berkata Nabi Ibrahim: “Semuanya itu belum apa-apa lagi bagiku. Demi Allah, kalau aku dikurniakan anak lelaki, pasti dia juga akan kusembelih di jalan Allah dan aku korbankan dia untuk-Nya.”
Salah satu hakikat berkurban adalah mengejawantahkan kepekaan sosial kita pada lingkungan sekitar. Entah kita sebagai pribadi atau kelompok. Kalaulah kelapangan atas rezeki yang menghampiri kita bisa dirasakan orang lain,mmmmh betapa indahnya kebersamaan.
Kalau anak dan istri sedih kita tak lembur lagi,tengok sejenak mereka para suami yang tak bekerja.Kalau hari ini kita bisa tidur nyenyak betapa banyak mereka yang hidup dibawah jembatan. Kalau kita masih menikmati gulai daging, tentu disana juga masih banyak yang menikmati tempe tahu sebagai makanan favorit. Bahkan banyak juga saudara kita yang tidak bisa makan hari ini.
Berqurban bukan sekedar simbol, tapi mempunyai hakikat bahwa yang ada pada diri kita ada hak untuk dikeluarkan, ada hak orang lain dan berqurban merupakan naluriah individu dalam adab bermasyarakat. Membudayakan semangat berqurban sebagai cerminan bahwa "tangan diatas lebih baik dari tangan dibawah". Dengan semangat berqurban insya Allah budaya suap, sogok menyogok dan korupsi tergantikan dengan budaya taqarrub (mendekatkan) kepada Tuhan. Bukankah berqurban sebagai bentuk tunduk,taat dan pasrah pada Yang Maha Kuasa?? Wallahu'alan bishowab