Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Musni Umar Partai Politik Islam Meredup, Apa yang Bisa Dilakukan?

7 Februari 2014   18:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:03 243 0
Dalam wawancara saya dengan wartawan Kompas Imam Prihadiyoko yang dimuat di Harian Kompas (16/2/2008) berjudul “Politik Aliran Tidak Akan Hilang” saya mengemukakan bahwa: “Politik aliran dalam pentas politik nasional tidak akan pernah hilang, meskipun saat ini ada keinginan kuat untuk menghilangkan politik aliran. Pasalnya, secara sosiologi, aliran-aliran itu memang masih hidup dalam kenyataan dan keyakinan masyarakat hingga saat ini”.

Akan tetapi, menjelang pemilu 2014, hasil survei yang dipublikasikan oleh berbagai media belum ada satupun yang memberitakan bahwa partai-partai politik Islam sangat diminati untuk dipilih publik.Bahkan terjadi kecenderungan mengalami penurunan dukungan dari masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

Tulisan ini akan mencoba mengkaji, mengapa partai politik Islam tidak menunjukkan gelagat akan memperoleh dukungan yang besar dari para pemilih dalam pemilu 2014 dan apa yang bisa dilakukan?

Faktor Internal Umat Islam

Umat Islam di Indonesia secara statistik,mayoritas beragama Islam. Akan tetapi ditinjau dari aspek sosiologis-ekonomi sangat lemah dan terjadi pula pemilahan kepada tiga golongan yaitu wong elit, wong gede dan wong cilik”.

Mereka yang tergolong wong elit secara ekonomi, jumlahnya sangat kecil dan bisa dihitung jari.Mereka juga tidak mau bergabung ke dalam partai politik Islam seperti PPP, PKS dan PBB karena dalam sejarah RI belum pernah ada partai politik Islam yangmenang dalam pemilu.

Padahal kalau mereka terjun ke dunia politik dan menjadi ketua umum partai politik adalah untuk kepentingan pragmatis yaitu menjadi penguasa politik, disamping penguasa ekonomi.Selain itu, mereka tidak ingin bisnis mereka terganggu.Maklum partai politik Islam, masih dipersepsikan lemah sehingga posisi tawarnya tidak sekuat dengan partai nasionalis sekuler yang sudah berpengalaman dalam kekuasaan.

Sementara wong gede yang tidak lain adalah kelas menengah (middle class), mayoritas adalah pegawai swasta, PNS dan kalangan intelektual.Mereka hanya bisa memberikan dukungan suara dalam pemilu, tetapi tidak bisa diharapkan mereka menyumbang dana ke partai politik.Juga perlu diketahui, dukungan mereka kepada partai politik Islam dalam pemilu sangat rasional dan dinamis.Kalau citra suatu partai politik Islam sedang turun, mereka akan memilih golput (golongan putih) alias tidak memilih atau mengalihkan pilihan mereka ke partai lain.

Sementara yang berprofesi sebagai pengusaha darikalangan muslim tidak besar jumlahnya. Mereka kalau terpanggil mau menyumbang dana ke partai politik Islam tidak dalam jumlah yang besar karena kemampuan mereka masih terbatas.

Terakhir adalah wong cilik. Mereka ini adalah yang terbanyak jumlahnya di Indonesia, tetapi mayoritas dari mereka tidak memegang ideologi. Mereka miskin dan kurang pendidikan, sehingga demokrasi bagi mereka identikdengan demokrasi perut, siapa yang memberi uang dan sembako yang lebih besar, dialah yang akan dipilih dalam pemilu.

Selain itu, mereka sangat mudah dipengaruhi oleh iklan kampanye di televisi. Siapa yang sering muncul iklannya di TV, partai politik itulah yang dianggap paling hebat dan akan dipilih,

Faktor Eksternal

Sebagaimana dikemukakan bahwa penduduk Indonesia adalah mayoritas muslim. Indonesia sudah merdeka secara politik pada 17 Agustus 1945.Akan tetapi, secara ekonomi belum merdeka.

Kekuatan luar yang menjajah ekonomi Indonesia, lebih suka bekerjasama bukan dari kalangan muslim santri.Itu sebabnya pada awal Orde Baru, di mana pembangunan ekonomi dilaksanakan,mereka yang diberi posisi penting di pemerintahan untuk memegang kendali ekonomi Indonesia adalah dari kelompok ekonom Berkeley yang loyalitasnya tidak diragukan oleh pemberi utang.Juga pemain dilapangan dalam pembangunan ekonomi adalah mereka yang dipastikan karena minoritas tidak akan melawan kepentingan mereka untuk terus menjajah ekonomi Indonesia.

Kepentingan eksternal di Indonesia, berkorelasi dengan kepentingan dalam negeri Indonesia yaitu Presiden Soeharto dan rezim Orde Baru, yang tidak ingin umat Islam yang sudah mayoritas jumlahnya, kuat pula dalam bidang ekonomi.

Oleh karena itu, yang diberi peluang untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi Indonesia adalah golongan dari etnis Tionghoa.

Politik ekonomi Presiden Soeharto dan rezim Orde Baru yang sama dengan politik ekonomi negara-negara yang memberi utang kepada Indonesia, telah menghasilkan Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim, tetapi minoritas secara ekonomi. Ini kesalahan besar dalam reformasi, karena ketidakadilan ekonomi tidak menjadi agenda utama.

Orde Reformasi sejatinya lahir untuk mengoreksi kesalahan rezim Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto, tetapi politik ekonomi sama sekali tidak dikoreksi.

Akibatnya, penguasaan ekonomi kelompok kecil daribangsa Indonesia yang merupakan buah dari skenario kepentingan global yang sebangun dengan kepentingan Presiden Soeharto dan rezimnya, semakin merajalela di era Orde Reformasi.

Faktor Partai Politik Islam

Tantangan yang dihadapi partai politik Islam, tidak hanya dari tingkat global dan dalam negeri Indonesia, tetapi juga kesalahan dari pimpinan partai politik Islam.Pertama, selalu menjadi bagian dari partai penguasa.Kalau partai penguasa dinilai rakyat gagal menjalankan pemerintahan seperti Partai Demokrat (PD) sekarang, mereka ikut gagal. Kalau sukses, mereka tidakmendapat kredit point dari rakyat.

Kedua, elit dan anggota parlemen dari parpol Islam berubah prilaku dan penampilan seperti para elit parpol nasionalis sekuler. Mereka hidup mewah yang sangat jauh berbeda penampilan mereka sebelum menjadi anggota parlemen. Akibatnya, kader, teman, pendukung, simpatisan dan rakyat jelata menjadi tidak simpatik dan menjauh dari partai mereka.

Ketiga, para elit dan anggota parlemen parpol Islam seperti halnya partai-partai nasionalis-sekuler, terlibat korupsi, sehingga nila setitik rusak susu sebelanga.

Keempat, parpol Islam hilang kepekaan sosial dan tidak ada keberanian memperjuangkan amanat penderitaan rakyat Indonesia.Mereka hanya berani demo masalah penderitaan rakyat Palestina, dan buta terhadap penderitaan rakyat Indonesia, akibat menjadi bagian dari kekuasaan.

Kelima, tidak ada fokus perjuangan.Mereka tidak tahu apa masalah utama yang dihadapi bangsa Indonesia yaitu ketidakadilan ekonomi.Kalau diperjuangkan dan berhasil akan memberi keuntungan bagi parpol Islam di masa depan.

Dampak ke Partai Politik Islam

Kondisi umat Islam yang sangat lemah di bidang ekonomi, ternyata berdampak luas ke seluruh aspek kehidupan umat Islam dalam berbangsa dan bernegara.

Mereka yang terjun ke dunia politik, untuk bisa survive (sukses) terpaksa harus korupsi, karena untuk meraih kekuasaan politik memerlukan dana yang sangat besar. Sebagai contoh, calon anggota legislatif dari Partai Gerindra, Aryo Djojohadikusumo, menegaskan bahwa
"Di dunia ini tidak ada demokrasi yang murah. Saya akan terbuka kepada kalian semua, biaya kampanye yang saya keluarkan minimal Rp 6 miliar", (Kompas.com, Minggu (26/1/2014).


Pertanyaannya, apakah ada calon anggota legislatif (caleg) dari partai politik Islam yang bisa menyiapkan dana sebesar itu?Kalaupun ada, mereka tidak akan mau mengeluarkan uang sebesar itu, karena kalau terpilih menjadi anggota parlemen, dalam lima tahun kalau tidak korupsi hanya bisa menerima gaji dan honor sekitar Rp 4,5 milyar.

Itu baru calon anggota parlemen, bagaimana calon Presiden, calon Wakil Presiden dan partai politik sebagai peserta pemilu yang ketua umumnya harus berkampanye di TV, Radio dan memasang baliho yang besar dibanyak tempat di seluruh Indonesia.

Dari mana partai politik Islam memperoleh dana yang sangat besar untuk melakukan kampanye seperti yang dilakukan partai-partai politik nasionalis-sekuler, supaya berimbang kampanyenya di TV.

Pada hal sulit mengharapkan donasi dari rakyat, karena kondisi ekonomi mayoritas rakyat Indonesia masih lemah, dan citra mereka sebagai parol Islam kurang baik di mata publik.

Apa yang Bisa Dilakukan

Tidak banyak yang bisa dilakukan parpol Islam menghadapi pemilu 2014, tetapi masih ada jalan ke Roma.Pertama, tobat kalau ada pimpinan atau kadernya terlibat korupsi, dengan meminta maaf kepada rakyat Indonesia, yaitu menyesali terjadinya tindakan korupsi, berjanji dan berkrar tidak akan mengulangi korupsi, dan akan melipat-gandakan perbuatan baik dengan membela dan memperjuangkan aspirasi rakyat Indonesia serta berjanji akan melakukan perubahan dan prilaku menjadi hidup sederhana dan mengutamakan rakyat dalam berpolitik.

Hal tersebut menurut saya sebagai sosiolog adalah cara yang bisa efektif untuk menarik dukungan publik yang besar karena selama ini tidak ada parpol lain yang pernah melakukannya.

Kedua,melipat-gandakan kegiatan kampanye dengan langsung menemuai rakyat di waktu pagi, siang, sore dan malam. Tiada jam dan waktu tanpa kampanye.Semua sarana dan prasarana media yang bisa manfaatkan untuk kampanye seperti media sosial harus digunakan secara maksimal.

Ketiga, pimpinan parpol Islam bersilaturrahim ke redaktur dan wartawan TV, koran dan media sosial yang menangani politik.

Keempat, pimpinan parpol Islam bersilaturrahim ke pimpinan Ormas Islam, pimpinan majelis ta’lim, ulama, kiai, tokoh masyarakat dan pengurus masjid.

Kelima, yakin dan percaya Allah akan menolong kalau sudah tobat nasuha (tobat yang sebenar-benarnya) dan bekerja sekeras-kerasnya.

Musni Umar adalah Sosiolog, Direktur Institute for Social Empowerment and Dewmocracy (INSED)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun