Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Prabowo-Jokowi Wajib Melu Hanggondheli Indonesia

12 Juli 2014   18:18 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:33 785 1
Tiga bulan lalu, saya diwawancara dua wartawan dari salah satu media terkemuka di Jepang. Topik yang ditanyakan tentang "kesenjangan sosial ekonomi dan pemilihan Presiden 2014 di Indonesia".

Pertanyaan terakhir yang diajukan kepada saya, apakah kejadian di Thailand tidak akan terjadi di Indonesia? Saya menjawab bahwa secara sosiologis, kondisi di Thailand mirip di Indonesia. Pembangunan telah menciptakan orang-orang yang kaya dan sangat kaya, sementara mayoritas rakyat masih banyak yang hidup miskin dan kurang pendidikan.

Ketika Thaksin Sinawatra menjadi Perdana Menteri dan memberi pemihakan khusus (sprecial treatment) kepada mayoritas rakyat Thailand yang terdiri dari petani, nelayan dan buruh, maka dia mendapat dukungan masif dan kuat dari mereka, sehingga sulit dikalahkan dalam setiap pemilihan umum (pemilu) di negeri gajah itu.

Kondisi tersebut tidak disukai kelompok elit dan sebagian kelas menengah yang selama ini menikmati kemajuan dari hasil pembangunan di Thailand. Wujud ketidaksukaan itu, mereka menggalang dukungan publik dengan isu korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan melakukan demonstrasi besar-besaran yang secara tidak langsung didukung militer dan raja untuk menjatuhkan Thaksin Sinawatra. Thaksin Sinawatra jatuh dari kekuasaannya dan mengasingkan diri keluar negeri, tetapi dukungan rakyat jelata tidak hilang. Buktinya dalam pemilu berikutnya, partai yang didukung keluarga Sinawatra kembali memenangkan pemilu dan adiknya menjadi Perdana Menteri, kemudian digulingkan kembali dan kekuasaan diambil alih militer Thailand.

Kondisi di Indonesia Mirip, Lebih Kompleks

Kondisi di Indonesia dilihat dari aspek sosial ekonomi, mirip di Thailand bahwa pembangunan selama Orde Baru dan di era Orde Reformasi, telah menciptakan kesenjangan sosial ekonomi yang luar biasa. Pembangunan telah melahirkan kelompok kecil dari bangsa Indonesia yang kaya dan sangat kaya. Sementara mayoritas dari bangsa Indonesia, masih hidup miskin dan kurang pendidikan.

Kondisi demikian amat berbahaya. Saya tegaskan dalam wawancara itu, kalau muncul calon Presiden dalam pemilihan Presiden 2014 seperti Joko Widodo, yang dipersepsikan pro rakyat bawah (grass root) maka mayoritas rakyat jelata akan mendukungnya.

Pertanyaannya, apakah kelompok elit yang pernah berkuasa di era Orde Baru dan rezim yang sedang berkuasa akan menerimanya? Saya kemukakan, kalau tidak diterima dan dianggap berbahaya bagi kepentingan mereka, maka akan terjadi persoalan besar, karena akan terjadi pertarungan hebat antara mereka yang didukung rakyat jelata dengan kelompok elit yang memobilisr dukungan rakyat bawah untuk mendukung mereka melalui kekuatan uang.

Prabowo Vs Jokowi

Pemilihan Presiden 2014 di Indonesia yang diikuti dua pasangan capres dan cawapres ditinjau dari aspek sosial politik, dapat dipetakan pada dua kelompok besar. Pertama, Prabowo-Hatta, suka tidak suka merupakan representasi dari rezim Orde Baru karena Prabowo adalah Jenderal TNI Purnawirawan dan menantu Presiden Soeharto dan Hatta Rajasa merupakan besan Presiden SBY dan mantan Menteri Koordinator Perekonomian RI di era Presiden SBY. Hatta mengundurkan diri sebagai Menko Perekonomian RI karena mencalonkan diri sebagai calon Wakil Presiden RI.

Kelompok ini menjadi sangat kuat karena didukung gabungan dari sisa-sisa kekuatan rezim Orde Baru dan rezim yang sedang berkuasa, didukung partai-partai politik Islam dan berbagai organisasi kemasyarakatan yang berasaskan Islam (selain NU dan Muhammadiyah), didukung pula berbagai kelompok kepentingan dan etnis seperti Bamus Betawi, para Gubernur, Bupati dan Walikota, partai besar seperti Golkar, media massa yang bernaung di bawah Bakrie Group dan MNC Gorup, pengusaha besar, para tokoh politik, cendekiawan dan akademisi.

Sementara Joko Widodo dan JK, secara ideologis dikaitkan dengan rezim Orde Lama karena partai pengusung utama Jokowi-JK menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah PDI Perjuangan. Partai politik ini sering disebut sebagai anak kandung dari Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan dan dipimpin Bung Karno. Selain itu, visi misi dan program Jokowi-JK mengadopsi Tri Sakti Bung Karno yaitu berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam budaya.

Akan tetapi secara sosiologis tidak sepenuhnya tepat dikatakan bahwa Jokowi-JK sebagai reinkarnasi dari Orde Lama. Pertama, Jokowi-JK bukan bagian dari Orde Lama. Keduanya tidak pernah memegang kekuasaan di masa Orde Lama dan latar belakang keduanya adalah pengusaha, yang kemudian berkiprah di bidang politik.

Kedua, secara ideologis tidak menganut paham komunis yang anti Tuhan. Keduanya adalah Muslim yang taat dan nasionalis yang tulen.

Jokowi-JK didukung kuat masyarakat menengah ke bawah, yang merupakan terbanyak dari penduduk Indonesia. Alasannya, karena Jokowi telah memberi bukti nyata selama menjadi walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta yang dirasakan manfaatnya rakyat jelata. Begitu juga JK, telah memberi bukti nyata ketika menjadi Menteri Perdagangan, Menteri Koordinator Kesejahteraan Sosial dan Wakil Presiden RI.

Disamping itu, Jokowi-JK juga didukung banyak pakar, cendekiawan, aktivis lintas generasi, LSM, kelompok-kelompok masyarakat Islam kultural dan tradisional serta para purnawirawan.

Akan tetapi, selesainya pencoblosan 9 Juli 2014, ternyata belum berakhir pertarungan Prabowo-Hatta Vs Jokowi-JK. Jokowi-JK telah mengklaim sebagai pemenang pilpres berdasar Quick Count yang dilakukan 8 (delapan) lembaga kredibel dan independen. Begitu juga Prabowo-Hatta mengklaim sebagai pemenang pilpres berdasar hasil Quick Count dari tiga lembaga yang dibayar.

Untuk mencegah terjadinya huru-hara dari para pendukung Prabowo-Jokowi, maka saya mengutip satu kalimat dari butir-butir budaya Jawa yang baik untuk direnungkan dan diamalkan dalam menghadapi situasi yang berat pra dan pasca pengumuman hasil pemilihan Presiden RI 22 Juli 2914 yaitu: Rumangsa melu handarbeni. Wajib melu hanggondheli. Mulat sarina hangsara wani". Artinya "Merasa ikut mempunyai. Wajib ikut membela. Berani mawas diri".

Kita semua merasa ikut memiliki Indonesia, karena kita lahir, hidup dan akan mati di negeri ini, maka kita wajib menjaga, memelihara dan membela Indonesia agar tetap damai, tenteram dan bersatu.

Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK sebagai pemimpin dari kedua kelompok yang bersaing dalam pilpres, wajib ikut membela (melu hanggondheli), menjaga dan menciptakan suasana damai, tenteram dan bersatu dengan mengendalikan para pendudungnya. Selain Presiden SBY, TNI dan POLRI serta seluruh bangsa Indonesia tanpa kecuali.

Terakhir saya mengutip pula kalimat dari butir-butir budaya Jawa berikut ini "Aja mung kepengin menang dhewe kang bisa marakeke craheng negara lan bangsa, kudu seneng rerembugan njaga katentreman lahir-batin"
Artinya, Jangan hanya ingin menang sendiri yang dapat menyebabkan perpecahan negara dan bangsa, melainkan harus senang bermusyawarah demi menjaga ketentraman lahir-batin.

Wallahu a'lam bisshawab

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun