Juga disiarkan hasil wawancara dengan Ibu Titin Suhartini, yang digugat anak kandugnya Princess Santang, supaya keluar dari rumah yang ditempati ibu kandung beserta 6 (enam) orang saudara kandungnya yang sebagian masih kecil. Saya menjadi narasumber sebagai sosiolog, dan seorang lagi pakar hukum.
Dalam tahun 2014 terjadi prahara anak durhaka yang membuat kita merinding karena banyak anak yang melakukan kepada orang tuanya diluar dari kebiasaan seperti menggugat orang tua ke pengadilan, mengusir dari rumah, menghina orang tua dengan mengatakan bodoh, orang kampung, mencacimaki ibu dan bahkan ada yang tega melaporkan ibunya ke polisi. Sebagian besar motifnya adalah ekonomi, ingin menguasai harta milik orang tuanya.
Kasus anak durhaka dengan sebutan “malin kundang”, melalui pemberitaan media terungkap banyak kasus serupa dihampir seluruh Indonesia, sehingga dapat dikatakan sebagai “puncak gunung es”, karena banyak sekali “malin kundang-malin kundang di abad 21, yang memggugat orang tua demi merebut hartanya.
Kasus menghebohkan di Tangerang-Banten, yang masih segar dalam ingatan karena mendapat liputan media yang luas dan sorotan tajam dari publik, yaitu nenek Fatimah (90 tahun) digugat 1 milyar oleh putrinya Nurhana dan mantunya Nurhakim. Anaknya menuduh ibu kandungnya berbohong dan menyerobot tanah yang ditempati sekarang.
Seperti Puncak Gunung Es.
Menurut nenek Fatimah, dia sudah membayar Rp 10 juta tanah yang ditempati, yang disaksikan suaminya yang sudah meninggal dan tiga anaknya. Atas pembayaran itu, maka mantunya Nurhakim menyerahkan sertifikat tanah atas namanya.
Hanya tidak punya bukti tertulis bahwa nenek Fatimah sudah membayar tanah yang ditempati, karena Nurhakim yang berpendidikan hukum dan mantan Kalapas di suatu Provinsi di Kalimantan, beranggapan tidak perlu ada kwitansi karena transaksi anak dan orang tua sendiri. Begitu juga sertifikat tanah atas nama Nurhakim yang diserahkan ke mertuanya, tidak perlu balik nama karena masih keluarga sendiri yaitu anak, mantu dan mertua.
Belakangan, Nurhana dan Nurhakim menuduh nenek Fatimah, yang tidak lain adalah ibu kandung sendiri dan mertuanya sudah berbohong, karena mengatakan sudah membayar harga tanah, pada hal belum. Buktinya tidak ada, sehingga menuntut untuk dikembalikan sertifikat tanah, dan meminta ganti rugi 1 milyar rupiah.
Untung saja dalam persidangan di PN Tangerang, hakim memenangkan nenek Fatimah. Tetapi, Nurhana dan Nurhakim tidak mau menerima, sehingga naik banding.
Begitu juga kasus di kota Bogor, Ibu Titin Suhartini, digugat oleh anak kandungnya Princess Santang di PN Bogor untuk keluar dari rumah yang ditempati, karena dalam sertifikat tanah yang tercantum adalah atas namanya dan bapaknya. Pada hal rumah itu adalah harta gono-gini yang diperoleh bapaknya dan ibunga sebelum bercerai. Sekarang rumah tersebut dihuni 6 (enam) adik-adiknya yang sebagian masih kecil.
Bukan saja Princess Santang menggugat ibu kandungnya di pengadilan, tetapi juga menghina sebagai orang kampung dan miskin. Selain itu, mencaci-maki, meneror dan mengusir ibu dari rumah melalui media sosial. Juga ibu Titin mengemukakan kepedihan dan penderitaan yang dialami karena suka dimarahi dan dipukuli suaminya tanpa alasan yang jelas, terutama setelah suaminya kawin lagi.
Ibu Titin mengungkapkan hal tersebut ketika diwawancara presenter Fifi Alyeda Yahya dalam program Sudut Pandang MetroTV yang disiarkan Sabtu, 3/1/2015 pukul 22.30 wib.
Bukan hanya dua kasus yang disebutkan diatas, tetapi juga terjadi kasus serupa di kota Malang, Tjokrohadi (92 tahun) dan isterinya Boedi Harti (86 tahun) digugat anak kandungnya Ani Hadi (64 tahun) dengan tuduhan kedua orang tuanya melakukan “wanprestasi” (ingjar janji) terhadap hibah harta warisan,
Di kota Makassar, terjadi kasus yang hampir serupa, Rendra Rizkiyansyah menggugat bapak yang bernama Rusman Rahman sebesar Rp 1,5 milyar karena merasa ditelantarkan selama 23 tahun lamanya.
Di DKI Jakarta, juga terungkap kasus yang menyedihkan dan memilukan, Marshanda, seorang artis melaporkan ibu kandungnya Riyanti Sofyan ke polisi karena sakit hati.
Ambil Pelajaran
Kasus malin kundang, anak yang durhaka terhadap orang tua, pasti lebih banyak yang terjadi di masyarakat yang tidak terungkap di media.
Hal tersebut harus menjadi pelajaran seluruh orang tua dan seluruh masyarakat untuk mencegah semakin membesar jumlah malin kundang-malin kundang di masa datang.
Pertama, semua ajaran agama mengajarkan supaya anak berbakti kepada kedua orang tua, berbuat baik, menolong, menyayangi, menghormati dan memberi nafkah kepada keduanya kalau miskin atau sudah tua.
Kedua, tradisi dan budaya masyarakat di semua suku bangsa di Indonesia, sangat menghormati dan memberi tempat yang tinggi serta mulia kepada kedua orang terutama ibu. Kalau muncul banyak kasus malin kundang, tidak terlepas dari pengaruh lingkungan dan pendidikan yang secara langsung ataupun tidak langsung sangat mempengaruhi prilaku anak, sehingga berorientasi pada materi dan hidup mewah. Dampaknya, ibu kandung atau kedua orang tua bisa digugat atau diperas anaknya demi merebut hartanya.
Ketiga, pendidikan akhlak dirumah dan di sekolah memberi pengaruh yang besar terjadinya prahara anak durhaka.
Allahu a’lam bisshawab