Pada hal Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah menyetujui pengangkatan Komjen Polisi Budi Gunawan sebagai Kapolri dan menyetujui pemberhentian Jenderal Sutarman, setelah sebelumnya Komisi III DPR RI melakukan Fit and Proper Test terhadap pengangkatan Komjen Polisi Budi Gunawan, sebagai tindak lanjut dari surat Presiden Jokowi kepada DPR RI yang menunjuk Komjen Polisi Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri.
Sehubungan DPR telah menyetujui pencalonan Komjen Polisi Budi Gunawan sebagai Kapolri, maka beberapa anggota DPR dari Komisi III telah mendesak Presiden Jokowi untuk segera melantik Komjen Polisi Budi Gunawan menjadi Kapolri.
Jika tidak dilakukan, maka bisa menjadi pintu masuk DPR untuk melakukan pemakzulan (impeachment} Presiden Jokowi. Sementara mayoritas masyarakat yang kemudian disuarakan Tim Independen. menolak keras pelantikan BG menjadi Kapolri karena telah ditetapkan tersangka korupsi.
Buah Simalakama
Kasus Komjen Budi Gunawan merupakan buah simalakama, yaitu sesuatu yang serba salah untuk dilakukan. Kalau dilaksanakan pelantikan BG, maka Presiden melanggar janjinya dalam kampanye pemilihan Presiden untuk memberantas korupsi, publik akan marah dan tidak akan percaya lagi kepada Presiden Jokowi karena ingkar janji.
Sementara, para anggota DPR RI dari komisi III terus menekan Presiden Jokowi supaya segera melantik Komjen Budi Gunawan.
Kondisi demikian sangat menyulitkan posisi Presiden Jokowi. Pertama, sebagai Presiden pilihan rakyat, Jokowi harus mendengar aspirasi rakyat yang telah memberi dukungan kepadanya, dan terpilih menjadi Presiden karena berkat dukungan rakyat.
Kedua, Presiden Jokowi harus sunguh-sungguh memperhatikan DPR yang telah memberi persetujuan kepada Komjen Polisi Budi Gunawan untuk menjadi Kapolri, sehingga bisa dipahami jika para anggota DPR mendorong pelantikan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri, terlepas memiliki motif yang bermacam-macam sesuai kepentingan masing-masing partai politik.
Ketiga, Tim Independen yang diketuai Prof Dr A. Syafii Maarif telah menyampaikan rekomendasi kepada Presiden Jokowi supaya tidak melantik Komjen Polisi Budi Gunawan menjadi Kapolri yang sudah ditetapkan tersangka korupsi.
Keempat, Komjen Polisi Budi Gunawan menurut pengacaranya Eggy Sudjana menolak mengundurkan diri sebagai calon Kapolri karena dalam UU Kepolisian tidak menetapkan bahwa seseorang yang sudah tersangka korupsi harus mengundurkan diri seperti halnya dalam UU Komisi Pemberantasan Korupsi.
Gunakan Law and Moral
Kisruh KPK Vs POLRI berawal dari pencalonan Komjen Polisi Budi Gunawan (BG) oleh Presiden Jokowi sebagai calon tunggal Kapolri.
Akan tetapi, 1 (satu) hari sebelum dilakukan Fit and Proper Test oleh Komisi III DPR RI, KPK telah menetapkan BG sebagai tersangka korupsi. Penetapan BG sebagai tersangka korupsi, tidak ditarik pencalonannya oleh Presiden Jokowi, sehingga Komisi III DPR RI tetap melakukan Fit and Proper Test terhadap Komjen Polisi Budi Gunawan. Hasilnya Komisi III DPR RI minus Fraksi Partai Demokrat menerima pencalonan Komjen Polisi Budi Gunawan secara aklamasi.
Berdasarkan hasil Fit and Proper Test Komisi III, maka dalam rapat paripurna DPR RI, Komjen Polisi Budi Gunawan ditetapkan sebagai calon Kapolri.
Secara hukum (law), tidak ada alasan untuk tidak melantik Komjen Polisi Budi Gunawan menjadi Kapolri setelah disetujui pencalonannya oleh DPR RI. Hal itu, jika berdasar pada prinsip pure of law, yang memisahkan hukum, moral dan norma. Pada hal dalam negara demokrasi, sejatinya harus diwujudkan hukum progresif, yaitu penerapan hukum berdasarkan moral dan norma yang tumbuh dan diperjuangakn oleh masyarakat, misalnya seorang yang sudah ditetapkan tersangka korupsi atau melakukan tindak pidana harus mundur dari jabatan (kedudukan) yang disandang.
Kelemahan para politisi atau pakar hukum, memisahkan hukum dengan moral dan norma di masyarakat, sehingga apa yang diperjuangkan masyarakat, tidak sesuai yang disuarakan para politisi dan para pakar hukum. Mereka tidak mempertimbangkan persoalan moral dan norma.
Akibat buruk dari penerapan pure of law, yang memisahkan hukum dengan moral dan norma, maka hukum menjadi servant of power (budak kekuasaan). Hukum dijadikan sarana untuk memaksa masyarakat, misalnya dalam kasus BG, Presiden dan masyarakat dipaksa untuk melantik BG menjadi Kapolri. Pada hal secara moral dan norma, tidak bisa diterima oleh masyarakat.
Kesimpulan
Penyelesaian KPK Vs POLRI khususnya kasus BG yang menjadi pemicu dan pemacu konflik kedua lembaga penegak hukum itu, suka tidak suka harus berdasarkan hukum, moral dan norma yang tumbuh dan sedang diperjuangkan oleh masyarakat sesuai asas negara demokrasi.
Pertama, KPK dan POLRI harus mengamalkan “fastabuqul khairaat” berlomba-lomba melaksanakan tugas dan tanggungjawab untuk kebaikan bangsa dan negara kita melalui memberantas korupsi di Indonesia.
Kedua, KPK dan PORI harus bersinergi dalam memberantas korupsi. Keduanya harus bersama-sama dan bekerjasama memerangi dan memberantas korupsi yang dimulai dari lingkungan masing-masing. Jika di kedua lembaga tersebut terdapat oknum yang korupsi, maka tidak boleh dilindungi dengan alasan apapun. Harus diproses secara hukum dengan adil dan transparan.
Ketiga, mereka yang sudah dinyatakan tersangka korupsi atau tersangka melakukan tindak pidana, harus diberhentikan dari jabatannya.
Keempat, siapapun yang sudah ditetapkan tersangka korupsi atau melakukan tindak pidana, tidak boleh dilantik untuk suatu jabatan tertentu misalnya anggota DPR, Gubernur, Kapolri dan lain sebagainya.
Kelima, dalam penerapan hukum, jangan hanya bertumpu pada hukum ansich (pure of law), tetapi harus selalu diperhatikan aspek moral dan norma seperti kepatutan, keadilan, kejujuran dan sebagainya yang disuarakan dan diperjuangkan oleh masyarakat.
Kalau hal-hal tersebut diamalkan, maka kisruh KPK Vs POLRI akan selesai secara permanen dan tidak akan terulang di masa depan.
Demikian pokok-pokok ini sebagai bahan diskusi dalam seminar yang bertajuk “KPK Vs POLRI, Mengapa dan Apa Solusinya” hari ini 29 Januari 2015 di Universitas Ibnu Chaldun (UIC) Jakarta.
Allahu a’lam bisshawab