Namaku Alya, anak kelima dari tujuh bersaudara. Sejak remaja hingga dewasa, aku bekerja sebagai asisten rumah tangga. Saat usiaku mencapai 24 tahun, aku menikah. Di desa, usia segitu dianggap sudah terlambat untuk menikah. Namun, sebenarnya aku belum siap, karena ada rasa trauma yang membekas akibat cerita teman dekatku yang sering menjadi korban kekerasan suaminya.
Aku pernah berkata kepada ibuku, "Bu, aku takut menikah. Aku takut nanti bernasib seperti temanku yang selalu dipukuli suaminya."
Namun, ibu menjawab lembut, "Tidak semua laki-laki seperti itu, Nak. Mudah-mudahan kamu dapat suami yang baik dan menjadi pegawai, ya. Amin."
Akhirnya, aku menerima lamaran Doni. Setahun setelah menikah, aku melahirkan anak perempuan pertama kami, Lina. Tapi sejak awal, aku merasa Doni kurang menyukai anak perempuan. Ketika aku mencari tahu lebih jauh, ternyata Doni sering berselingkuh. Hatiku sangat hancur, namun aku memaafkannya demi keluarga kami.
Tiga tahun kemudian, aku melahirkan anak kedua, seorang laki-laki. Namun, Doni tidak juga berubah. Perselingkuhan demi perselingkuhan terus terjadi hingga akhirnya, setelah tujuh tahun pernikahan, aku memutuskan untuk bercerai.
Pasca perceraian, hidupku penuh perjuangan. Aku kembali ke rumah orang tua, namun tinggal di sana tidaklah mudah. Adik ipar tinggal serumah, dan orang tuaku khawatir akan muncul fitnah. Aku sempat mencoba membuka lapak jualan, tapi dilarang oleh orang tua karena statusku sebagai seorang janda.
Akhirnya, aku menerima tawaran bekerja di perkebunan sawit mes mes manajer. Namun, pekerjaan itu tidak memperbolehkan membawa anak. Aku meninggalkan kedua anakku di rumah nenek dari pihak mantan suami. Tapi tiga bulan kemudian, aku diminta menjemput mereka karena neneknya tidak sanggup mengasuh.
Dengan segala keterbatasan, aku menemukan pekerjaan memasak untuk mandor di sebuah perkebunan sawit. Aku membawa anak-anakku dan tinggal bersama mereka di tempat kerjaku.
Waktu berlalu, aku bertemu seorang pria bernama Surya. Ia dikenalkan oleh adik mantan suamiku yang berkata, "Alya, Surya ini orangnya baik. Kalau kalian cocok, lanjut saja."
Akhirnya, kami menikah meski tanpa restu dari keluargaku. Namun, pernikahan kami tidaklah mudah. Aku ingin membawa Lina tinggal bersama, tetapi ayahku melarang. Alasannya membuat Surya marah, dan hubungan kami dengan keluarga semakin renggang.
Lina tetap tinggal bersama orang tuaku. Suamiku berkata, "Anggap saja Lina bukan anakmu. Suatu hari, dia pasti akan mencari ibunya sendiri." Kalimat itu selalu membuatku menangis, karena aku tak pernah bisa melupakan Lina.
Setelah setahun menikah, aku melahirkan anak ketiga, Zahra. Surya sangat bahagia. Namun, di balik kebahagiaannya, ia memiliki sisi gelap. Ketika marah, ia sering memukul atau melontarkan kata-kata kasar.
Aku bertahan meski sering merasa di ambang keputusasaan. Bahkan, pernah aku berdiri di tepi sumur, hampir melompat karena tak sanggup menahan beban. Tapi bayangan anak-anakku membuatku sadar.
Hingga suatu hari, di tengah perjalanan pulang dari rumah orang tuaku, Surya kembali marah besar. Di pinggir jalan, aku dipukuli habis-habisan. Dalam keadaan gelap, aku hampir menabrakkan diri ke mobil yang lewat. Tapi, tangisan Zahra di gendonganku menyadarkanku.
Kekerasan itu berlangsung selama bertahun-tahun. Aku tetap bertahan, berharap Surya akan berubah. Hingga akhirnya, berkat doa dan kesabaranku, Surya benar-benar berubah. Ia menjadi suami yang lembut, penuh cinta, dan sangat menyayangiku.
Kini, setelah semua badai berlalu, aku hidup bahagia bersama Surya dan anak-anakku. Aku percaya, Allah adalah sebaik-baiknya pemberi ujian sekaligus pelipur lara.